Begitu acara ceramah selesai. Ki Dewan segera memberi perintah beberapa anak buah untuk berangkat ke Blora, ke tempat istri mendiang Raden Suncoko. Kebenaran mengenai pengakuan Ki Suro harus diusut tuntas.
Keesokan harinya, istri mendiang Raden Suncoko minta dipertemukan dengan puteranya. Ia tidak akan percaya sebelum melihat langsung puteranya itu. Ia kemudian dibawa ke sebuah ruangan di Puri Intijiwo.
"Benarkah dia anakmu!" tanya Kanjeng Wotwesi dingin.
Tubuh perempuan tua itu menggigil menyaksikan puteranya yang babak belur. Ia tidak sanggup lagi untuk tidak menumpahkan air mata.
"Berarti benar dia anakmu. Dia harus dihukum mati!"
"Akan saya lakukan apa saja untuk Kanjeng, tapi saya minta, ampuni anak saya!" tangis ibu yang tampak kejiwaannya terguncang hebat. "Putera saya ini memang agak mengalami gangguan jiwa! Dia sakit!"
"Nyawa harus ditebus dengan nyawa!" sahut kanjeng datar.
"Saya mohon belas kasihan, Kanjeng! Saya mohon!"
Kanjeng Wotwesi diam. Matanya terpejam erat, seperti bangunan suci tempat bersemayam Ratu Jiwo yang keramat. "Itulah satu-satunya kelemahanku, tidak ada sedikit pun belas kasihan buat musuh-musuhku!"
Istri mendiang Raden Suncoko menggigil mendengar kesadisan manusia itu. Jadi, kalau orang yang dianggap terhormat dan mulia saja bisa menjadi begitu buas dan ganas, kehidupan dunia ini tentunya luar biasa jahat.
Setelah mengaku bahwa kelemahannya adalah tidak ada belas kasihan terhadap musuh-musuhnya, ia menambahkan, "Bahkan aku menikmati penderitaan musuh-musuhku!"