Suara yang kuat bercampur tenaga dalam itu bergema dan membuat semua orang memandang dengan sikap hormat. Saat itu timbul getaran aneh yang terasa mendebarkan jantung. Bahkan para pendekar yang berada dalam kerumunan pun mengakui bahwa tenaga dalam yang mereka kerahkan untuk meredam getaran itu jauh kalah kuat. Kekaguman mereka terhadap Kanjeng pun semakin bertambah.
"Bawa dia ke sini!" perintah kanjeng, "Kita adalah kumpulan orang beriman yang harus bersikap penuh welas asih. Soal membunuh itu gampang. Tapi kita selidiki dulu, siapa dibelakangnya!"
Ki Renggo tersenyum getir menanggapi ucapan kanjeng. Seperti pepatah yang mengatakan, orang beriman tidak akan pamer dirinya beriman, orang welas asih tidak akan menyebut dirinya welas asih. Mereka yang berlaku demikian adalah orang yang haus akan pengakuan orang lain, dan meragukan keimanan dan sikap welas asih mereka sendiri.
"Beri dia kesempatan untuk mengutarakan alasannya!" imbuh kanjeng dengan sikap arif.
Penyerang gelap itu diminta berdiri untuk menyampaikan alasannya.
Ki Renggo kaget setelah tahu bahwa penyerang itu ternyata orang yang pernah dicurigainya sebagai penyusup. Dugaannya ternyata tidak meleset. Penyusup yang sangat sembrono.
"Ayo cepat ngomong!" bentak seorang petugas keamanan.
Lelaki penyusup berusia di awal tiga puluhan itu berkata, "Banyak orang di dunia ini yang dalam beragama hanya ikut-ikutan saja, oleh karena itu sampai akhir hayatnya mereka tetap tidak tahu soal inti spiritualitas agamanya, sama sekali tidak tahu menahu soal Tuhannya. Sehingga mereka hanya sibuk 'petentang-petenteng' dengan simbol-simbol agama!"
"Huss.., bicara apa kamu itu?" bentak beberapa orang petugas geram.
"Katakan saja siapa kamu, kenapa mau membunuh kanjeng? Gak usah sok bicara mau ngajari soal agama!"
"Saya Suro, putera almarhum Raden Suncoko! Pewaris sah Pendopo Emas yang kalian rampas!"