Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (112): Obrolan Ringan

27 November 2024   05:02 Diperbarui: 27 November 2024   08:34 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ya.., itu pada dasarnya merupakan naluri jenius orang Jawa!"

Kini semua mata beralih ke Mbah Kadir, dan menyiapkan wadah di hati untuk menerima sebuah ilmu.

"Ada ungkapan 'Manungsa kang ngetung sabarang kalir nganggo angka iku titah kang wasis. Manungsa kang ngerti ana ngendi anggone jangkah iku titah kang lantip. Manungsa kang ngerti panjangkahning urip, ngerti sangkanparaning dumadi iku titah kang waskita'. Itu semua dipertautkan dengan ilmu hikmah, ilmu nilai, ilmu tentang rasa, yang dipraktekkan bahwa 'Ngelmu iku kalakone kanthi laku'! Hanya orang Jawa yang dalam keadaan apa pun, masih selalu bisa mengatakan untung, kendati baru saja mengalami musibah yang berat!"

"Betul, Mbah. Itu menandakan rasa syukur yang sudah mencapai Tingkat sempurna!"

"Benar. Tidak boleh sampai ada kata keluhan, apalagi umpatan!"

"Kenapa dulu para leluhur kalau berdoa, meskipun tidak fasih, tapi seringkai makbul, Mbah?" tanya seorang pemuda.

"Sebab sewaktu berdoa para leluhur kita itu memohon dengan hati yang bersih. Memohon dengan penuh kerendahan jiwa. Tidak sebatas ucapan saja, akan tetapi benar-benar dihayati!"

Suasana menjadi hening. Semua pengunjung tampak menyimak dengan seksama.

"Mudah-mudahan akalmu tidak terjungkal ketika tahu bahwa para leluhur dulu kalau berdoa mintanya hanya satu, 'selamat'. Itu yang paling penting. Di mana saja, mau di rumah, di pasar, di hutan, di gunung, di laut, mintanya sama, 'selamet'. Itu lebih efektif dan efisien."

Semua pengunjung, tanpa dikomando, tampak mengangguk-anggukan kepala.

"Kenapa kok cuma minta selamat? Kok gak minta istana di surga? Kok gak minta rejeki berlimpah ruah? Kok bukan minta puluhan bidadari yang keperawanannya abadi? Atau minta musuh-musuhnya yang dibenci semuanya mati? Karena pengendalian diri leluhur kita dulu sudah sangat sempurna. Kalau terjadi sesuatu yang menimpa mereka, mereka akan lebih memilih untuk 'mulat sarira' atau intropeksi. Bukan cari kambing hitam. Tidak mengkambinghitamkan setan, tidak menuding alam, tidak menyalahkan bangsa lain atau agama lain. Mereka juga menyikapi segala perubahan alam yang kadang tak terduga dengan wajar-wajar saja. Tidak menganggap bencana alam itu azab sebab Allah murka gara-gara banyak perselingkuhan dan perjudian misalnya. Itulah kenapa yang diminta hanya 'selamat'. Cukup! 'Bismillah.. sluman slumun slamet' itu mantra orang Jawa yang kejeniusannya telah benar-benar mengendap!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun