Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (112): Obrolan Ringan

27 November 2024   05:02 Diperbarui: 27 November 2024   08:34 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang luar kota boleh meremehkan orang yang sarungnya diselempangkan di pundak, bertelanjang dada dan bercelana sebatas lutut serta tanpa memakai alas kaki. Namanya adalah Joko Lahar, lahir ke bumi bersamaan dengan muntahnya lahar Gunung Kelud. Dia memiliki posisi yang cukup tinggi di Padepokan Benteng Naga. Pemuda pendiam yang akan dengan suka cita menyapa siapa saja itu sesungguhnya adalah seorang pendekar pilih tanding. Belum ada cerita dia kalah dalam adu silat satu lawan satu.

"Siapakah pendekar yang paling Cak Har kagumi?" tanya seorang pengunjung warung.

"Pada masa Ki Demang Wiryo berkuasa, siapakah orang terhebat tenaga tendangannya? Siapakah sosok yang sangat ditakuti oleh para penjahat karena kekuatan kakinya setara dengan seratus kaki kuda? Siapa lagi kalau bukan Cak Woto, pemuda sederhana berjuluk Pendekar Kaki Malaikat!" jawab Cak Har.

"Apa alasannya, Cak? Kan banyak juga yang lebih hebat!"

"Ya banyak. Tapi Cak Woto itu awalnya hanya dikenal sebagai seorang remaja pincang, lemah dan sakit-sakitan. Tapi kemudian ia bisa merubah semua itu hingga akhirnya dikenal sebagai Pendekar Kaki Malaikat, yang namanya tidak pernah disebut oleh para penjahat tanpa merasa ciut nyalinya. Sementara masyarakat luas tidak pernah menyebut namanya tanpa mengenang jiwa sosialnya yang tinggi! Tentu saja aku juga sangat mengagumi Pendekar Kebokicak dan Pendekar Pedang Akhirat, tapi di antara aku dan Cak Woto memiliki kesamaan yang erat, yaitu sama-sama orang melarat. He..he..!"

Banyak yang berharap untuk bisa singgah ke warung itu, sebab orang akan tahu, warung  istimewa dan dirindukan para pendatang itu adalah tempat di mana orang bisa banyak menyerap ilmu pengetahuan, belajar untuk lebih santai menghadapi kehidupan dan terutama belajar rendah hati.

Cuaca mulai sedikit terselimuti mendung. Alih-alih jadi sendu, topik obrolan di warung asri itu justru semakin menghangat.

Menyantap jajanan sederhana terasa nikmat, terlebih lagi di kala hamparan padi di sekitar sawah mulai menguning. Menjelang musim panen selalu menyajikan panorama yang dijamin bakal membuat para pengunjung terlena.

Jombang adalah kota persinggahan para pedagang yang mulai ramai pada sekitar abad ke 14. Kota yang menghadirkan suasana kuno dengan bangunan gaya arsitektur dari jaman yang berbeda. Misalnya, bangunan candi-candi yang monumental, rumah kayu berukir klasik era Majapahit, rumah tembok mewah pra Kasultanan Demak, dan sebagainya.

Di antara para pengunjung warung ada dua orang murid Intijiwo. Mereka sedang ditugaskan untuk memata-matai dan mengumpulkan informasi mengenai Jombang. Siapa mengira ternyata kedua orang itu kini mengalami mual dan pusing. Itu sebetulnya diakibatkan oleh karena terlalu dalam menyerap semua ilmu pengetahuan yang sebetulnya menjadi obrolan ringan sehari-hari saja di warung itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun