Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (110): Pamer Kedigdayaan

23 November 2024   07:45 Diperbarui: 23 November 2024   07:52 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Tri Handoyo

Aksi Kanjeng Wotwesi bisa terus memangsa banyak korban, tidak lain dan tidak bukan adalah karena dia berhasil membuat orang terbius oleh citra spiritualis agamis yang dia bangun.

Citra sebagai seorang ahli ceramah, banyak menyumbang untuk pembangunan tempat ibadah, dan berjiwa sosial tinggi. Setidaknya itu yang diyakini sebagian besar orang. Ditambah citra sebagai seorang pengusaha yang cerdas dalam mengelola bisnisnya, yang sukses dalam urusan dunia sekaligus urusan akhirat.

Kanjeng Wotewsi bersama para pengikutnya siang itu tiba di lokasi bencana. Mereka yang datang paling awal, untuk menyalurkan sumbangan kepada para korban. Lebih cepat dibanding tokoh agama dan tokoh masyarakat di lokasi bencana itu sendiri. Kabar burung tersebar bahwa Kanjeng Wotwesi tahu lebih dulu akan datangnya bencana. Konon ia dapat kabar dari langit.

Sebuah bencana tanah longsor dan banjir bandang melanda desa di lereng Gunung Argopuro, menghancurkan berberapa rumah dan menelan korban penghuninya.

"Kita buat dapur umum di sini sampai warga bisa kembali ke rumah mereka!" Sambil memberi arahan kepada para pengikutnya, beberapa kali Kanjeng Wotwesi tampak mengusap mata. "Mari kita bantu perbaiki rumah-rumah yang rusak!"

Apakah semua itu gratis? Tentu tidak. Ia sejatinya sedang mengincar calon korbannya, yakni Raden Ajeng Semi Rengganis, seorang janda yang menjadi penguasa wilayah lereng Gunung Argopuro.

Raden Semi dipercaya oleh masyarakat sebagai murid tunggal Dewi Rengganis. Sosok siluman yang bermukim di puncak Rengganis. Dewi Rengganis konon adalah salah satu murid kesayangan Nyi Roro Kidul.

Selain sebagai pendekar yang disegani di kawasan timur Jawa, Raden Semi atau biasa dipanggil Eyang Semi, juga dikenal sebagai pengusaha yang sangat kaya raya. Kekayaannya berasal dari perkebunan kopi yang dimilikinya.

Gunung Argopuro, berada pada posisi di antara Gunung Semeru dan Gunung Raung. Argopura merupakan puncak tertinggi dari pegunungan Iyang. Puncak yang menjadi tantangan tersendiri bagi para pendaki karena dikenal memiliki jalur pendakian terpanjang di Jawa, selain juga menjadi tempat favorit bagi para pertapa.

Lereng Argopura memiliki ketinggian yang sangat cocok untuk tanaman kopi. Oleh karena itu, kendati hanya mengelola lahan sekitar tiga ribu hektar, Eyang Semi menjadi salah satu pengusaha kopi terbesar di wilayah timur Jawa.

Apa yang telah dilakukan Kanjeng Wotwesi dan rombongannya hari itu diharapkan bisa memikat hati Eyang Semi, janda berusia enam puluh tahun yang kaya raya dan masih terlihat cantik.

Pada lima tahun belakangan, bisnis kopi yang dirintis Eyang Semi telah tumbuh menjadi bisnis terbesar di Nusantara. Kopi Argopuro yang memiliki cita rasa khas dan unik itu sangat diminati hingga mancanegara.

Maka dari itu, Kanjeng Wotwesi dan Ki Dewan merancang suatu jebakan. Beruntung bagi mereka, terjadi bencana alam yang bisa menjadi alasan untuk mendekati Eyang Semi. Alasan yang sangat manusiawi.

Jebakan pertama yang dilakukan adalah mengutarakan betapa hebat Eyang Semi dalam mengelola usaha. Itu diulang-ulang dengan maksud membuat janda itu merasa besar kepala. Setelah besar kepala biasanya kewaspadaan akan lemah. Jebakan berikutnya mengutarakan dukungan dan ingin membantu membesarkan bisnis tersebut.

Beruntung bagi Eyang Semi, yang telah membangun bisnisnya sedemikian rupa hingga sulit untuk bisa diambil dengan caracara curang.

"Kami siap membantu tenaga kerja dan mendanai biaya perluasan lahan!" ujar Kanjeng Wotwesi.

"Kanjeng, saya bersedia mengembangkan bisnis ini dengan anda. Anda menjamin ketersediaan dana, sementara kami tetap sebagai tenaga ahlinya. Itu syarat utama. Tidak peduli berapapun dana yang nantinya anda kucurkan!"

"Ha..ha.., mana bisa begitu Raden Ajeng Semi. Itu tidak adil namanya!"

"Kalau anda tidak setuju tidak apa-apa! Maaf!"

"Ha..ha..ha.., baiklah. Karena ini sama Raden Semi, saya terima. Tapi ingat lho ya, ini hanya dengan anda saja, karena saya mengagumi anda. Tidak mungkin akan anda temui pengusaha yang mau bisnis dengan cara tidak adil seperti ini!"

"Saya tidak memaksa lho!"

"Memang betul. Ha..ha..ha..! Ini murni kehendak saya. Akan saya danai anda untuk membuka sepuluh ribu hektar lahan baru!"

Eyang Semi bangga karena merasa dirinya pintar, berhasil menaklukan seorang tokoh sekelas Kanjeng Wotwesi. Tapi sayangnya, dia puas terlalu dini. Kesepakatan kerja sama segera ditanda-tangani.

***

Di Lembah Gunung Pegat sedang ada acara pesta ulang tahun Kanjeng Wotwesi. Ulang tahun tepat ke tujuh puluh lima itu dirayakan dengan cukup meriah dan dihadiri tamu-tamu istimewa.

Dengan pandangan matanya, Eyang Semi yang menjadi salah satu tamu penting, menyapu ruangan luas itu dan diam-diam merasa sangat takjub. Sebuah ruangan yang telah dipenuhi berbagai macam hiasan. Lantainya diselimuti permadani warna kuning. Beberapa bagian masih menampakan dinding batu pegunungan yang terukir alami, diterangi cahaya lampu minyak yang menempel di berbagai sudut. Suara gamelan memenuhi ruangan.

Di situ sudah berkumpul sedikitnya seratus orang yang rata-rata berpakaian mewah. Ada orang-orang yang tampak sebagai pejabat kerajaan dan ada pula yang berpenampilan seperti seorang pendekar. Terselip keris-keris pusaka yang indah di baju mereka.

Semua tamu dipersilakan duduk di kursi-kursi empuk yang berjajar rapi, sementara Eyang Semi mendapat tempat duduk kehormatan di sebelah kiri sang tuan rumah.

Puluhan pelayan berbaju seragam sibuk menyiapkan berbagai jamuan dan cendera mata, yang terdiri dari beragam perlengkapan mengunyah sirih, dengan perkakas makan minum serba indah yang dipersiapkan secara khusus. Ditambahkan pula wewangian yang semerbak memenuhi udara.

Seorang pembawa acara tampil di atas panggung dan mengumumkan bahwa malam itu, selain memperingati hari kelahiran, juga sebagai malam penganugerahan gelar dari kerajaan atas sumbangsih Kanjeng Wotwesi bagi kemajuan kerajaan. Juru bicara mempersilakan Kanjeng Wotwesi dan seorang pejabat yang mewakili kerajaan untuk naik ke atas panggung. Para undangan menyambut dengan tepuk tangan meriah.

Sebagai pendiri Intijiwo yang kian hari kian jelas posisinya di belantara politik Nusantara, Kanjeng Wotwesi mendapat sanjungan di mana-mana. Posisinya sebagai mitra pemerintah kerajaan juga semakin kuat. Padahal dia sebetulnya melakukan apa yang disebut 'Politik Gincu'. Setiap kali berhadapan dengan berbagai pihak, ia bersikap 'Murah dimulut, mahal ditimbangan', artinya mudah sekali berjanji tetapi sulit untuk menepati.

Kanjeng Wotwesi tak pernah butuh kemajuan dan kajayaan kerajaan. Ia hanya butuh emas, emas dan emas, dan itu untuk dirinya sendiri. Itulah jalan lurus menuju kekuasaan dan kejayaan.

"Beliau bukan saja berhasil mendirikan sebuah usaha yang dinamai Intijiwo," papar si pembawa acara, "Tapi juga berhasil mencetak sejarah. Sebab Intijiwo yang awalnya merupakan tempat Pendidikan jiwa, kemudian menjelma menjadi badan usaha yang telah mencapai sukses luar biasa. Terbukti ajaran-ajaran Intijiwo berhasil mendidik generasi bangsa, yang berani, tangguh dan pantang menyerah!"

Tepuk tangan terdengar bergemuruh seperti sedang terjadi badai, mengguncangkan bangunan dan segala isinya.

"Nama Kanjeng Wotwesi akan dikenang abadi sebagai seorang pendekar besar sekaligus pengusaha terkaya di Nusantara!"

Lembah Gunung Pegat pun berubah menjadi festival perayaan. Sorak-sorai pengikut Intijiwo tak ada hentinya, bernyanyi, menari, dan menyalahkan kembang api.

Kemudian pembawa acara mendaulat Kanjeng Wotwesi untuk berkenan menceritakan secara ringkas tentang perjalanan hidupnya.

Kanjeng Wotwesi berkisah, "Saya waktu muda belajar banyak dari Eyang Cokrojoyo, atau yang lebih dikenal dengan nama Kanjeng Sunan Geseng, yang saya anggap sebagai guru pertama saya. Bahkan saya sudah mengenalnya sebelum beliau menjadi murid Kanjeng Sunan Kalijaga!"

Terdengar banyak suara decak kagum dari para tamu undangan. Nama-nama yang disebut itu bukan orang sembarangan.

"Untuk menambah pengetahuan akan ilmu kanuragan, saya melanjutkan belajar di padepokan yang didirikan oleh salah satu murid Kanjeng Sunan Bonang! Jurus-jurus silatnya dinamai seperti huruf hijaiyah!"

Dari silat ciptaan Kanjeng Sunan Bonang itu, Kanjeng Wotwesi banyak belajar mengenai strategi pertahanan. Di kemudian hari Kanjeng Wotwesi mendirikan padepokan miliknya sendiri dan cukup terkenal di masa akhir 1500-an.

Kanjeng Sunan Bonang dianggap jenius soal strategi pertahanan, namun menunggu serangan balik lawan cukup berbahaya dalam pertempuran hidup mati. Itulah kenapa Kanjeng Wotwesi mengembangkan strategi pertahanan lebih jauh. Suksesnya sebagai pendekar silat dikarenakan ia telah meciptakan teknik baru yang disebut 'memanfaatkan serangan lawan'.

Strategi yang menitikberatkan pada penguasaan olah pernafasan itu kemudian dikembangkan lagi dan dipadukan dengan jurus-jurus sihir yang ia pelajari dari menantunya, Ki Kalong Wesi. Aliran baru ciptaannya itu akhirnya justru didominasi dengan jurus-jurus penyerangan.

Satu lagi cara Intijiwo untuk membius lawanlawannya selain dengan pamer kemewahan, yaitu royal memberikan berbagai hadiah disertai pujipujian. Semua itu untuk membuat lawan-lawannya merasa rendah diri atau hilang kewaspadaannya.

Setelah merasa rendah dan lengah, mereka akan dengan mudah digiring untuk menanda-tangani perjanjian yang berat sebelah, sebelum akhirnya dilahap mentah-mentah.

Si pembawa acara lalu mengumumkan dengan suara lantang agar semua tamu berkenan mengikuti acara selanjutnya, acara yang dinamakan sebagai 'Atraksi Laskar Intijiwo', dan semua tamu pun bertepuk tangan dengan wajah penasaran. Ini yang lebih penting, yakni pamer kedigdayaan.

"Atraksi tersebut hanya bermaksud sebagai hiburan semata. Tidak ada sedikit pun niat kami untuk pamer maupun menyombongkan diri!" Demikian Kanjeng Wotwesi menambahkan dan kemudian turun dari panggung sambil menghampiri Eyang Semi yang masih duduk. "Raden Ajeng Semi, merupakan suatu kehormatan bagi saya karena anda berkenan meluangkan waktu untuk hadir dan mengikuti acara sampai puncaknya!"

Eyang Semi mengangguk dengan anggun dan membalas, "Saya juga berterima kasih dan merasa terhormat atas undangan ini, Kanjeng!"

Kiranya tempat itu dikelilingi puncak-puncak bukit lain, sehingga tidak akan kelihatan dari jauh. Di sekeliling tepinya terdapat tanaman bunga-bunga dalam pot-pot indah, kemudian di bawah pot terdapat rumput hijau seperti permadani. Di atas langit-langit dibiarkan terbuka, karena cuaca cukup terang, sehingga yang menjadi hiasannya adalah bulan dan bintang-bintang. Sinar bulan tampak suram karena kalah dengan cahaya lampu minyak yang banyak jumlahnya.

Eyang Semi tidak bosan-bosannya memperhatikan sekeliling. Sungguh merupakan tempat tersembunyi yang indah sekali.

"Saya belum pernah tahu kalau ada tempat seindah ini!" kata Eyang Semi.

Kanjeng Wotwesi terseyum bangga. "Ini pertama kalinya anda ke sini?"

"Betul!"

"Saya harap nantinya anda akan lebih sering untuk berkunjung ke sini!"

Di sana-sini tampak asap dupa yang mengepul dan mendatangkan rasa tenteram yang menyenangkan. Tidak jauh di dekat panggung terdapat satu kelompok pemain gamelan, yang pada saat itu memainkan musik dengan lembut, sehingga membuat suasana menjadi semakin syahdu.

Di sebelah kanan, di pinggir ruang itu, terdapat bangunan yang agaknya diistimewakan. Lantainya bertilam permadani dan dihiasi dengan kelambu kain sutera.  Bangunan kecil itu seperti tempat untuk pemujaan 'dewa', seperti yang biasa dipergunakan untuk tempat arca yang dipuja orang di dalam kuil. Akan tetapi yang menakjubkan bukan main adalah kenyataan bahwa bangunan itu terbuat dari emas dan terukir indah. Sulit dibayangkan betapa mahalnya membuat bangunan seperti itu.

Sesaat kemudian alunan irama gamelan berubah, dan bersamaan dengan itu, dari belakang panggung yang agaknya tembus ke tempat lain, tampak belasan orang gadis berlari-larian naik ke panggung.

Gadis-gadis muda dan cantik itu mengenakan gaun tari panjang yang tipis sehingga membuat tubuh mereka nampak terbayang. Rambut yang hitam panjang dibiarkan tergerai lepas di belakang punggung. Dihiasi bunga-bunga putih. Dua tangan mereka menyangga tempat dupa yang terbuat dari emas pula. Belasan penari itu membuat gerakan yang lemah gemulai dan menggairahkan, mengikuti irama gamelan.

Di saat semua tamu tertuju pada pertunjukan tarian, pada saat yang sama ternyata digunakan untuk persiapan atraksi yang sebenarnya. Persiapan itu dikerjakan dengan cepat oleh para anggota Intijiwo, dan sebentar saja, begitu para penari turun, telah terhampar bara api dari arang sepanjang dua meter, dan tidak jauh dari sana terdapat kuali besar berisi minyak yang dipanaskan sampai mendidih. Tamu yang duduknya cukup dekat dari panggung masih bisa merasakan betapa panasnya bara api itu.

Sepuluh pemuda anggota Intijiwo berlari kecil menaiki panggung. Mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi, terbukti gerakan lari mereka hampir tidak menimbulkan suara. Sambil menari mereka menggores-goreskan pedang pada perut dan dada mereka yang telanjang. Setelah itu mereka menghampiri bara api dan dengan kaki telanjang menari di atasnya, sambil saling membacokkan golok ke teman di sebelah mereka.

Tidak lama kemudian, mereka berjalan menghampiri kuali yang penuh dengan minyak mendidih dan mengoles-oleskan minyak panas itu ke tubuh mereka. Layaknya anak-anak yang sedang bermain air dengan gembira. Minyak panas itu diguyurkan ke kepala. Sungguh luar biasa. Asap mengepul dari tubuh, akan tetapi tidak sampai membuat kulit mereka melepuh.

Atraksi seperti ini bukanlah hal baru bagi para tamu yang hadir, apalagi bagi pendekar seperti Eyang Sumi, namun selalu saja masih mendatangkan kengerian. Apalagi bagi para pengusaha murni, membuat kepercayaan mereka akan hal-hal aneh dan ajaib menjadi semakin tebal.

Sedangkan bagi Kanjeng Wotwesi, sepuluh pemuda itu adalah contoh kecil pengikut Intijiwo yang hanya merupakan senjata semata. Dengan biaya sedikit, senjata manusia itu mau berperang tanpa rasa takut. Mereka juga dapat dibuang dengan mudah. Digunakan bila diperlukan dan dimusnahkan bila tak lagi diperlukan. Bagi anggota yang dipandang membangkang, mereka akan di kubur berdiri dalam lubang seperti sumur seukuran tubuh. Sumur kuburan yang sangat dalam itu terletak di kamar tidur Kanjeng Wotwesi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun