"Saya tidak memaksa lho!"
"Memang betul. Ha..ha..ha..! Ini murni kehendak saya. Akan saya danai anda untuk membuka sepuluh ribu hektar lahan baru!"
Eyang Semi bangga karena merasa dirinya pintar, berhasil menaklukan seorang tokoh sekelas Kanjeng Wotwesi. Tapi sayangnya, dia puas terlalu dini. Kesepakatan kerja sama segera ditanda-tangani.
***
Di Lembah Gunung Pegat sedang ada acara pesta ulang tahun Kanjeng Wotwesi. Ulang tahun tepat ke tujuh puluh lima itu dirayakan dengan cukup meriah dan dihadiri tamu-tamu istimewa.
Dengan pandangan matanya, Eyang Semi yang menjadi salah satu tamu penting, menyapu ruangan luas itu dan diam-diam merasa sangat takjub. Sebuah ruangan yang telah dipenuhi berbagai macam hiasan. Lantainya diselimuti permadani warna kuning. Beberapa bagian masih menampakan dinding batu pegunungan yang terukir alami, diterangi cahaya lampu minyak yang menempel di berbagai sudut. Suara gamelan memenuhi ruangan.
Di situ sudah berkumpul sedikitnya seratus orang yang rata-rata berpakaian mewah. Ada orang-orang yang tampak sebagai pejabat kerajaan dan ada pula yang berpenampilan seperti seorang pendekar. Terselip keris-keris pusaka yang indah di baju mereka.
Semua tamu dipersilakan duduk di kursi-kursi empuk yang berjajar rapi, sementara Eyang Semi mendapat tempat duduk kehormatan di sebelah kiri sang tuan rumah.
Puluhan pelayan berbaju seragam sibuk menyiapkan berbagai jamuan dan cendera mata, yang terdiri dari beragam perlengkapan mengunyah sirih, dengan perkakas makan minum serba indah yang dipersiapkan secara khusus. Ditambahkan pula wewangian yang semerbak memenuhi udara.
Seorang pembawa acara tampil di atas panggung dan mengumumkan bahwa malam itu, selain memperingati hari kelahiran, juga sebagai malam penganugerahan gelar dari kerajaan atas sumbangsih Kanjeng Wotwesi bagi kemajuan kerajaan. Juru bicara mempersilakan Kanjeng Wotwesi dan seorang pejabat yang mewakili kerajaan untuk naik ke atas panggung. Para undangan menyambut dengan tepuk tangan meriah.
Sebagai pendiri Intijiwo yang kian hari kian jelas posisinya di belantara politik Nusantara, Kanjeng Wotwesi mendapat sanjungan di mana-mana. Posisinya sebagai mitra pemerintah kerajaan juga semakin kuat. Padahal dia sebetulnya melakukan apa yang disebut 'Politik Gincu'. Setiap kali berhadapan dengan berbagai pihak, ia bersikap 'Murah dimulut, mahal ditimbangan', artinya mudah sekali berjanji tetapi sulit untuk menepati.