"Saya harap nantinya anda akan lebih sering untuk berkunjung ke sini!"
Di sana-sini tampak asap dupa yang mengepul dan mendatangkan rasa tenteram yang menyenangkan. Tidak jauh di dekat panggung terdapat satu kelompok pemain gamelan, yang pada saat itu memainkan musik dengan lembut, sehingga membuat suasana menjadi semakin syahdu.
Di sebelah kanan, di pinggir ruang itu, terdapat bangunan yang agaknya diistimewakan. Lantainya bertilam permadani dan dihiasi dengan kelambu kain sutera. Â Bangunan kecil itu seperti tempat untuk pemujaan 'dewa', seperti yang biasa dipergunakan untuk tempat arca yang dipuja orang di dalam kuil. Akan tetapi yang menakjubkan bukan main adalah kenyataan bahwa bangunan itu terbuat dari emas dan terukir indah. Sulit dibayangkan betapa mahalnya membuat bangunan seperti itu.
Sesaat kemudian alunan irama gamelan berubah, dan bersamaan dengan itu, dari belakang panggung yang agaknya tembus ke tempat lain, tampak belasan orang gadis berlari-larian naik ke panggung.
Gadis-gadis muda dan cantik itu mengenakan gaun tari panjang yang tipis sehingga membuat tubuh mereka nampak terbayang. Rambut yang hitam panjang dibiarkan tergerai lepas di belakang punggung. Dihiasi bunga-bunga putih. Dua tangan mereka menyangga tempat dupa yang terbuat dari emas pula. Belasan penari itu membuat gerakan yang lemah gemulai dan menggairahkan, mengikuti irama gamelan.
Di saat semua tamu tertuju pada pertunjukan tarian, pada saat yang sama ternyata digunakan untuk persiapan atraksi yang sebenarnya. Persiapan itu dikerjakan dengan cepat oleh para anggota Intijiwo, dan sebentar saja, begitu para penari turun, telah terhampar bara api dari arang sepanjang dua meter, dan tidak jauh dari sana terdapat kuali besar berisi minyak yang dipanaskan sampai mendidih. Tamu yang duduknya cukup dekat dari panggung masih bisa merasakan betapa panasnya bara api itu.
Sepuluh pemuda anggota Intijiwo berlari kecil menaiki panggung. Mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi, terbukti gerakan lari mereka hampir tidak menimbulkan suara. Sambil menari mereka menggores-goreskan pedang pada perut dan dada mereka yang telanjang. Setelah itu mereka menghampiri bara api dan dengan kaki telanjang menari di atasnya, sambil saling membacokkan golok ke teman di sebelah mereka.
Tidak lama kemudian, mereka berjalan menghampiri kuali yang penuh dengan minyak mendidih dan mengoles-oleskan minyak panas itu ke tubuh mereka. Layaknya anak-anak yang sedang bermain air dengan gembira. Minyak panas itu diguyurkan ke kepala. Sungguh luar biasa. Asap mengepul dari tubuh, akan tetapi tidak sampai membuat kulit mereka melepuh.
Atraksi seperti ini bukanlah hal baru bagi para tamu yang hadir, apalagi bagi pendekar seperti Eyang Sumi, namun selalu saja masih mendatangkan kengerian. Apalagi bagi para pengusaha murni, membuat kepercayaan mereka akan hal-hal aneh dan ajaib menjadi semakin tebal.
Sedangkan bagi Kanjeng Wotwesi, sepuluh pemuda itu adalah contoh kecil pengikut Intijiwo yang hanya merupakan senjata semata. Dengan biaya sedikit, senjata manusia itu mau berperang tanpa rasa takut. Mereka juga dapat dibuang dengan mudah. Digunakan bila diperlukan dan dimusnahkan bila tak lagi diperlukan. Bagi anggota yang dipandang membangkang, mereka akan di kubur berdiri dalam lubang seperti sumur seukuran tubuh. Sumur kuburan yang sangat dalam itu terletak di kamar tidur Kanjeng Wotwesi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H