Oleh: Tri Handoyo
Semua saudara Raden Suncoko dan anak-anak mereka yang telah dewasa telah berkumpul sejak pagi tadi.
"Orang-orang tua kita adalah manusia yang gagah perkasa!" Seru Raden Suncoko membakar semangat, "Darah yang sama mengalir juga dalam urat nadi kita. Kita tidak menghendaki terjadinya pertumpahan darah, tapi saat ini kita tidak dalam keadaan damai! Harta kita telah dirampas dengan sewenang-wenang oleh para bajingan terkutuk!"
Kemarahan keluarga besar itu pun menggelegak. Mereka semakin percaya diri melihat Laskar Cabak berada bersama mereka.
"Kalau kita tidak selesaikan soal ini sekarang juga," Raden Suncoko melanjutkan, "Kehormatan leluhur kita akan ternoda. Kita tak akan pernah bisa menegakkan kepala dan menjadi bahan tertawaan orang! Hari ini juga kita akan siap berkorban nyawa demi menegakan kebenaran!"
Wajah Ki Genuk Gluduk tampak riang melihat anak cucu Raden Sutowo menemukan kembali jati diri mereka. "Dari alam kuburnya, almarhum sahabatku Raden Sutowo, akan bangga melihat kalian semua! Kalian memang anak-anak pemenang, bukan pecundang!"
Setelah menunggu hingga menjelang sore, dan tidak ada satupun pihak Intijiwo yang menemui mereka, maka pengusiran paksa benar-benar akan dilakukan. Mereka semua bergerak serentak mengikuti Raden Suncoko. Gerimis yang turun tidak sedikit pun menyurutkan semangat. Dengan gagah berani, bersenjatakan pedang, golok dan tombak, mereka beriring-iring menuju Pendopo Emas.
Ki Genuk Gluduk yang berjuluk Pendekar Cabak dan sekitar tiga puluh orang anak buahnya yang disebut Laskar Cabak berjalan di barisan belakang.
Cabak adalah nama burung nocturnal pemakan serangga. Burung yang dinilai aneh sebab bentuk kakinya yang begitu pendek. Keanehan yang lain adalah kicauannya menyerupai orang meratap atau mengeluh yang menusuk. "Cwiip" yang dikicaukan secara teratur saat terbang pada saat petang dan dini hari.
Bulu burung memiliki bagian yang tersusun saling mengunci, seperti genting atap rumah. Itu membuat burung menjadi aerodinamis sekaligus tahan air. Mereka juga punya tiga kelopak mata. Salah satu kelopak mata ini adalah selaput bening yang melindungi mata saat hujan
Terdapat sebuah mitos yang menyebutkan tentang kehancuran total kerajaan Edom, dan makhluk penghuni reruntuhannya adalah burung cabak.
Dua marga dari burung cabak terdapat di Nusantara dan empat spesiesnya ada di Jawa. Burung ini sangat sulit didekati, sehingga nyaris tidak ada orang yang bisa menangkapnya. Orang yang ingin melihat bentuknya harus menggunakan pakaian yang tidak mencolok, lalu dengan sabar menunggu dibalik tutupan pohon atau semak.
***
Ki Dewan ditemani beberapa anak buahnya datang di lokasi selepas Maghrib esok harinya. Beberapa orang pengurus padepokan menyambut di luar wilayah Pendopo Emas.
Dari atas kudanya, Ki Dewan menyimak cerita dari para pengurus padepokan. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun ia lalu memacu kuda menuju tempat di mana musuh telah menunggu. Rombongan yang hanya berjumlah belasan orang mendatangi pihak Raden Suncoko dengan menunjukan sikap siap meladeni pertarungan.
"Seperti sudah kuduga," kata Raden Suncoko sambil berdiri dengan gagahnya. "Coba lihat, mereka telah melanggar peraturan, tapi tak sangsi lagi, mereka memang tidak punya rasa malu. Mari kita beri hukuman para bajingan itu!"
Ki Dewan yang telah turun dari kuda justru menantang mereka untuk menjamahnya. "Ayo! Apa yang kalian tunggu?"
Pihak Raden Suncoko itu pun berduyun-duyun maju, tapi mereka bukan lawan yang berarti bagi Ki Dewan dan anak buahnya. Mereka diobrak-abrik dengan mudah. Ki Gunuk Gluduk pun kini mengambil alih. Sambil mendecapkan lidahnya ia memberi isyarat kepada Laskar Cabak.
"Cwiiirp!" Laskar Cabak menerjang ke tengah pertempuran. "Cwiiirp..! Cwiiirp..!" Itu cara mereka memberikan kode kepada rekannya.
Ki Genuk dihadang Ki Dewan yang telah siap menebaskan pedang dengan kedua tangannya, tapi orang tua itu terlalu cepat baginya, hingga tebasan itu terpental keras karena mengenai tangkisan golok.
Ki Dewan kini mengincar kaki Ki Genuk, dengan segenap kekuatan pedang itu mendecit di kegelapan, tapi tidak terdengar suara benturan. Manusia cabak itu telah melenting ke udara, dan turun menerjang dengan kekuatan dasyat. Ki Dewan merasa seakan berhadapan dengan bayangan. Inilah musuh terlincah yang pernah dihadapinya.
Pihak Raden Suncoko kini berada di atas angin. Mereka berhasil terus mendesak hingga lawan terus mundur.
Ki Genuk, berhasil mendaratkan sebuah tendangan yang membuat tengkorak Ki Dewan seperti gegar otak dan pedangnya terlempar. Pendekar tua itu mendapat kesempatan lagi, sehingga Ki Dewan hanya bisa berkelit dan terus berkelit.
Orang tangan kanan Kanjeng Wotwesi itu terlalu menganggap remeh pihak Raden Suncoko. Anak buahnya satu persatu dipaksa terkapar di atas tanah. Ketika ada peluang untuk melarikan diri, ia pun lari, tapi dikejar oleh Ki Genuk.
"Jangan biarkan seorang pun lolos!" teriak Raden Suncoko lantang.
Ki Genuk sendiri tidak pernah membiarkan musuhnya lolos. Itu tidak akan pernah. Hatinya takkan setengah-tengah untuk menghabisi setiap musuhnya. Itulah makhluk ekstrem yang sifat primitif dan liar mengalir dalam darahnya. Sifat yang seolah tak kenal cahaya peradaban.
Di saat sangat genting, di mana leher Ki Dewan nyaris ditebas golok Ki Genuk, tiba-tiba golok itu terpental tanpa tahu apa sebabnya. Semua orang terperanjat, karena beberapa detik kemudian tampak sosok bertopeng gedek berdiri melindungi Ki Dewan.
"Iblis Muka Gedek!" teriak orang-orang nyaris serentak.
Kemudian sosok lain muncul di belakang Ki Dewan seperti siluman. Dia adalah Kanjeng Wotwesi.
Kubu Raden Suncoko terpaku di tempat. Untuk sementara, waktu seolah berjalan lambat.
"Darahku mendidih memikirkan bagaimana anak perempuanku dulu berakhir dengan begitu mengenaskan!" seru Kanjeng di timpah rintik gerimis. Orang-orangku kalian bantai dan kemudian kalian rampas semua harta benda dan tanahku!"
Setelah Kanjeng selesai berkata demikian, tubuh Iblis Muka Gedek berkelebat, berputaran cepat bukan main sehingga Ki Genuk dan para anak buahnya hanya melihat bayangan berkelebatan. Mereka menyambut dengan serangan ganas. Mereka seolah-olah melawan bayangan, menusuk, menyabet dan menikam setiap bayangan secara ngawur, karena lawan tidak dapat dilihat dengan jelas, seperti iblis.
Si Iblis itu tak tahu pasti jumlah lawannya. Yang jelas puluhan golok dan tombak bergantian berhasil ia hindari. Namun demikian, dalam sekejap mata serangan lain kembali menyusul.
Ada juga serangan yang tepat mengenai tubuhnya. Ketika beberapa serangan para pengeroyok tak dapat dielakkan, maka terpaksa diterima dengan tubuhnya. Andaikata ia tidak memiliki kekebalan, dapat dipastikan akan celaka. Tubuhnya memang tidak terluka, tapi menerima sabetan dan bacokan senjata masih tetap menimbulkan sedikit rasa sakit.
Si Iblis akhirnya mengeluarkan tongkat bambu pusaka, membalas dengan serangan maut. Sejumlah besar tombak, golok dan pedang berantakan, terbang ke udara dan jatuh berserakan. Pada detik-detik berikutnya, terdengar susul-menyusul jeritan orang mengaduh. Ada yang patah lengannya, ada yang tulang kering kakinya mencuat keluar, ada yang hidung dan mulutnya pecah, ada yang kepalanya bocor. Puluhan tubuh malang-melintang di tanah. Tanpa ampun Si Iblis Muka Gedek mengejar mereka yang mencoba kabur.
"Jangan biarkan seorang pun lolos!" balas Kanjeng Wotwesi berteriak. Ia sendiri akan memastikan benar bahwa tak ada sepenggal nafas pun tertinggal.
Riwayat Raden Suncoko, Ki Genuk Gluduk dan Laskar Cabaknya yang melegenda, tamat hari itu juga. Di halaman depan Pendopo Emas, hanya menyisahkan kesunyian.
***
Kejengkelan membuat mata perempuan tua yang biasanya tersembunyi di antara keriput dan kantung mata itu terbuka lebar. "Kamu membunuh orang lagi?"
"Siapa yang bilang?"
"Berita soal Iblis Muka Gedek membantai puluhan orang ramai di luar sana. Jangan dikira Mbok tidak tahu bahwa itu adalah kamu, Le!"
"Tapi aku cuma membela diri, Mbok?"
Mbok Cipluk menghela nafas panjang. "Kamu masih ingat? Kamu pernah berjanji untuk tidak membunuh orang lagi?"
"Iya, Mbok! Tapi salahkah jika aku harus melindungi diriku!"
Ia ingat janji itu, bahkan masih segar dalam ingatannya, tapi ketika sedang dalam pertarungan, dia tidak ingat apa-apa lagi. Hanya satu yang ada dalam pikirannya, yaitu menghabisi musuh secepat mungkin. Meskipun setelah itu penyesalan selalu menggumuli perasaannya. Ia sendiri tidak mengerti mengapa timbul kemarahan yang tak terkendali dan baru akan merasa puas setelah melepaskan pukulan-pukulan maut untuk membunuh setiap musuhnya.
"Melindungi diri tidak berarti harus membunuh bukan?"
"Iya Mbok!" Tubuh gagah yang telah mengguncang dunia persilatan itu pun seperti tidak bertulang seketika. Matanya meredup dan menatap lantai.
"Iya apa, Le?"
"Tidak harus membunuh!"
"Jangan marahi dia!" sahut Kanjeng Wotwesi yang tanpa disadari oleh mereka berdua telah muncul di ruangan itu.
Mbok Cipluk memberanikan diri berkata, "Maaf Kanjeng, saya mohon dengan hormat agar Kanjeng tidak melibatkan Klebat dengan perkelahian-perkelahian yang membuat dia harus membunuh orang!"
"Aku melibatkan Klebat?"
Mbok Cipluk menunduk dengan tubuh gemetar.
"Dia berhak menuntut balas atas kematian ibunya tahu!"
"Maaf, Kanjeng, saya khawatir pengaruh-pengaruh buruk akan membuatnya semakin terjerumus dalam kesesatan!"
"Apakah aku yang kamu maksud sebagai pengaruh buruk itu?" potong Kanjeng dengan nada tinggi dan mata terbelalak, "Dan membela kehormatan keluarga kau sebut kesesatan?"
"Maaf atas kebodohan saya, tapi bukan Kanjeng yang saya maksud!"
"Kau pikir aku bodoh apa? Ingat, Mbok, kamu itu bukan siapa-siapa. Hanya seorang pembantu. Dia bukan darah dagingmu. Dia adalah cucuku. Akulah kakeknya, yang berhak mengatur kehidupannya!"
"Sudah Eyang, jangan diteruskan!" potong Klebat membela Mbok. "Aku yakin mbok bermaksud baik. Aku yang salah!"
Kanjeng mengalah. Ia tidak suka dengan perempuan tua yang lancang dan dianggap bisa jadi penghalang besar dalam meraih impiannya. Penghalang yang justru berada dalam rumah sendiri. Ia langsung merancang rencana untuk menyingkirkan pembantu tidak tahu diri itu.
***
Setelah beberapa hari diam-diam menyalin Kitab Pusaka Sakti Mandraguna, Ki Dewan menyerahkan kitab itu kepada Kanjeng Wotwesi. Tentu ia mendapat imbalan yang sangat besar atas prestasinya itu.
Kanjeng tampak senang, tapi hanya membaca sampul sekilas dan langsung menyimpannya dalam lemari khusus. Bagi dia bukan isi kitab itu yang penting, tapi karena kitab itu merupakan salah satu pusaka yang menjadi rebutan para pendekar kelas atas. Ia bahkan sedikit pun tidak tertarik membuka-buka halamannya, atau bisa jadi ia berpikir bahwa dirinya sudah sakti tanpa harus belajar dari kitab itu.
Seperti yang diduga oleh Ki Dewan. Itulah kenapa dia menyalinnya. Ia memang sangat cerdik dan berniat mempelajari sendiri isi kitab itu di setiap saat ada kesempatan.
Kanjeng Wotwesi menangkap sesuatu yang mencurigakan dari pancaran wajah Ki Dewan. Ia bertanya dengan nada bercanda, "Kamu tidak menyobek beberapa halamannya kan?"
"Ah tidak mungkin, Kanjeng. Saya orang yang menghormati benda-benda pusaka. Tidak mungkin saya berani merusaknya. Bisa kualat saya. Silakan anda periksa kitab itu, Kanjeng!"
"Baik. Aku percaya!" Lantas Kanjeng mendekatkan tubuhnya dan setengah berbisik. "Aku ingin Mbok Cipluk disingkirkan, untuk selamanya!"
Ki Dewan langsung tanggap maksud dan tujuan pimpinannya itu. Tanpa banyak bertanya lagi dia menjawab tegas, "Siap laksanakan, Kanjeng!"
Itulah yang paling disukai kanjeng dari Ki Dewan. Ia orang yang sangat setia dan patuh menjalankan setiap perintah.
***
Keesokan paginya ia berpamitan pada Klebat, "Mbok hanya ingin pulang sebentar, menengok rumah!"
"Kasihkan saja rumah itu pada tetangga, Mbok! Atau jual saja!"
"Huss.., sekalipun itu gubug reot tapi itu peninggalan orang tua! Sampai kapan pun Mbok ingin merawatnya!"
"Apa aku harus ikut?"
"Tidak usah, Le. Kamu di sini saja menemani eyang. Mbok sudah ada yang ngantar!"
"Mbok marah sama aku?" Ia menyesal kalau mengenang betapa sepak terjangnya seringkali mendatangkan keributan. "Maaf kalau perbuatanku selama ini membuat mbok sedih."
"Tidak. Kamu justru yang membuat hidup mbok selama ini begitu menyenangkan. Mbok hanya ingin kamu jadi orang baik, Le!"
Klebat mengantar perempuan tua itu sampai di luar jembatan. Entah kenapa ia merasa seolah-olah tidak akan bisa bertemu lagi dengan pengasuh yang sangat disayanginya itu. "Cepat kembali ya, Mbok!" teriaknya saat kereta perlahan-lahan bergerak meninggalkannya.
Mbok Cipluk melambaikan tangan sambil menyunggingkan senyum lebar. Matanya berkaca-kaca. Ia yang merawat Klebat sejak bayi seperti anaknya sendiri. Ia menyadari bahwa dirinya hanya seorang pembantu. Tapi kemudian ada orang yang mengungkit-ungkit bahwa dia bukan siapa-siapa dan itu membuatnya benar-benar tersinggung.
Beberapa menit sebelumnya, Ki Dewan tampak meninggalkan rumah. Ia lalu menyamar sebagai penjahat kelas teri dan berdiam di pinggir perbatasan desa menunggu calon korban. Ia bisa saja menyuruh anak buahnya membunuh Mbok Cipluk. Itu bukan persoalan besar. Tapi ia ingin memastikan dengan matanya sendiri  bahwa perempuan itu benar-benar disingkirkan untuk selamanya.
Menyingkirkan penghalang ataupun potensi musuh adalah hal yang lumrah bagi kelompok Intijiwo. Memang tidak semua orang bisa ditundukan dengan mudah. Ada orangorang yang berprinsip kuat dan mencoba melakukan perlawanan dengan gigih. Jika cara halus tidak berhasil ditempuh, Intijiwo tidak segansegan melenyapkan mereka dengan cara serangan gelap. Serangan gelap yang bertujuan untuk menyingkirkan musuh dengan cara membunuhnya. Terutama musuh dalam selimut. Ada sederet nama orang-orang dalam sendiri yang ditemukan meninggal tidak wajar. Itu hal yang lumrah.
***
Hujan deras mengguyur Lembah Gunung Pegat. Ketika pikirannya tertuju kepada Alya, Si Peri Anggun dari Jombang, hujan jadi tak berarti lagi. Tidak pernah terbayangkan olehnya kenapa harus menderita semata-mata karena gadis itu. Seorang gadis yang membuat otaknya dipenuhi gambaran baru tentang bagaimana seharusnya menjadi seorang lelaki yang baik.
Sekembalinya dari tempat yang dijuluki kota beriman itu, ia mulai sering dilanda rasa kesenduan yang aneh. Ia bertanya-tanya dalam hati kenapa demikian. Tinggal sendirian di dalam kamar bukanlah hal baru baginya. Apalagi di sekitar puri selalu ada beberapa orang yang berjaga-jaga. la memiliki segala yang menyenangkan di rumah. Namun kini ia merasa lebih sepi daripada sewaktu tinggal di desa terpencil hanya berteman dengan Mbok Cipluk.
Bayangan Alya dan anak-anak melekat dalam memorinya. Anak-anak yang selalu tampak ceria dan bahagia, yang membuat ia ingin dilibatkan dalam permainan mereka. Orang yang bahagia memang cenderung akan menjadi orang baik hati. Demikian juga sebaliknya. Ia tidak pernah punya kenangan bermain bersama anak-anak.
Sambil rebahan bertopang dagu menghadap taman di dekat jendela, ia menjengkali perasaannya, sebelum akhirnya sampai pada satu kesimpulan. Ia merasa kesepian. Orang-orang di kawasan lembah yang selalu bersikap ramah dan baik hati tidak dapat meredakan perasaan kesepian yang sedang ia rasakan. Apalagi tidak ada Mbok Cipluk, puri megah itu hanya menyisahkan kesunyian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H