Oleh: Tri Handoyo
Di ruang keluarga sebuah bangunan yang dikenal dengan nama Puri Naga. Huru-hara akibat dua gadis kecil tengah berlangsung. Benda-benda mainan kayu terserak, ruang yang lebih mirip dengan sebuah arena perang itu berantakan akibat sebuah pertarungan dasyat.
Rupanya Arum sudah bosan mengingatkan kedua putrinya itu. Ia sedang asik memberi pelajaran di depan belasan murid di pelataran dekat taman, mendiskusikan berbagai teknik pertahanan tangan kosong saat menghadapi lawan yang bersenjata.
Sementara itu, di tengah limpahan matahari yang menaungi Jombang, puluhan anak muda bertarung dengan pasangan masing-masing. Gerakan bertarung mereka terlihat seperti sedang menghayati gerak tubuh, sangat pelan. Entah sudah berapa lama waktu yang mereka gunakan untuk melatih jurus-jurus itu.
Si pelatih, dengan gerakan lamban memberi contoh buat para murid perguruan yang sudah tingkat tinggi itu. Â Bentuk badan mereka rata-rata cukup ideal, dan sangat lentur ketika harus berguling ke depan, ke belakang, dan kemudian ke samping. Mereka yang sudah mencapai tingkat akhir dilatih sendiri oleh guru besar padepokan, Lintang Si Pendekar Pedang Akhirat.
"Di mana Gala?" tanya Lintang saat berada di dekat putranya, Ghandi.
"Sejak habis subuh tadi dia masih berbaring di ranjangnya, Yah!" jawab Ghandi, "Gak tahu, apa mungkin agak kurang enak badan! Kemarin pulang dari warung agak malam. Ramai pengunjung katanya!"
"Baiklah, biar dia istirahat!" Ia dan Arum belakangan mengira Gala masih sedih bila menjelang hari peringatan meninggalnya kedua orang tuanya. Manggala tampak mulai suka menyendiri.
Di halaman tengah yang lebih luas, sebagian besar murid yang masih anak-anak sedang melatih jurus-jurus dengan kuat dan cepat. Seorang pelatih, Cak Lahar, mempraktekan pukulan cepat yang menyasar dada. Seorang murid yang dibuat contoh tidak memberikan reaksi tangkisan karena tidak sempat. Sekarang ia diberitahu agar waspada karena akan menerima pukulan. Kali ini tangan kanan murid bergerak cepat menangkis tempat kosong, karena arah pukulan pelatih ternyata ke kepala, mendorong dahi si murid secara tak terduga.
Si pelatih memberi contoh bahwa ia punya peluang untuk membanting tubuh muridnya hanya dengan dorongan telapak tangan dan kaki. Pelatih mempersilakan muridnya yang dengan berat badan 70 kilogram itu agar mempersiapkan diri bila akan dibanting. Meskipun sudah siap dengan pertahanan yang kokoh, hanya dalam hitungan detik, tubuh berat itu jatuh, punggungnya membentur tanah. Gedebuuuk!
"Dengan memindahkan beban berat tubuhmu ke tangan, dorong ke depan dengan gerakan natural," kata pelatih memperjelas teknik untuk memukul dan membanting lawan dengan cepat, "Dan silangkan kaki di belakang lawan!"
Irama gerakan tubuh dengan posisi langkah yang tepat sangat penting. Jurus yang disebut 'kosong-isi' itu akan bisa dirasakan dengan banyak praktik. Tangan kiri dan kanan dibuat kosong dan isi bergantian. 'Kosong-isi' kemudian dilatih lebih rinci antar ruas anggota tubuh.
"Beberapa jurus yang kita latih ini bisa dikatakan sebagai pelajaran dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan nyata, kita akan selalu dihadapkan pada berbagai tantangan dan rintangan, serta jebakan-jebakan! Setiap rintangan dalam kehidupan nyata, akan dapat diselesaikan dengan mudah apabila kita memiliki pengetahuan dan teknik yang tepat untuk mengatasinya!" kata si pelatih.
Dunia persilatan memang berisi banyak pelajaran hidup secara tidak langsung, walaupun yang tampak seperti orang belajar berkelahi.
***
Zulaikah, putri bungsu Guru Arum tampak berlari-lari ke taman puri sambil berseru, "Ibu! Ibu!" la muncul setelah melompati pagar tanaman dengan lincah.
Arum yang sedang melatih menghindari bacokan pedang nyaris tidak mempedulikan anaknya. Ia menangkap tangan muridnya, lalu mengambil alih senjata.
"Ibu!" panggil Zulikah lebih kencang sambil menghapus keringat di dahi dengan punggung tangan.
"Ada apa sih teriak-teriak?"
"Ibu, aku lihat Mas Gala keluar dari kamar ibu sambil bawa kitab!" cerus gadis kecil itu cepat.
"Hm.., jangan tergesa-gesa, kamu bilang apa tadi?"
"Aku lihat Mas Gala mencuri kitab!"
"Ikah, kamu masih ingat apa hukuman bagi pembohong?"
"Ini betul, aku melihatnya, bu!"
Kabar itu membuat muka Arum memucat, seolah-olah kehilangan darah. Pedang dilemparkan ke arah batang pohon hingga tembus. Kejadian itu membuat semua murid termasuk Zulaikah mengkerut ketakutan.
"Lari cepat! beritahu ayahmu!" Suara Arum menggelegar menggetarkan dada.
Arum tidak mengerti apa yang membuat Gala sampai berani mencuri kitab pusaka. Ia sangat yakin pasti ada orang yang telah menghasutnya.
***
Di sebuah tempat yang telah disepakati untuk bertemu dengan Ki Dewan, Gala yang telah berhasil mencuri kitab pusaka berkhayal menjadi orang yang paling sakti lalu mengobrak-abrik Padepokan Benteng Nusa. Kepingan masa silam yang kelam itu masih tersimpan rapi di dalam benaknya.
"Selamat pagi, Gala!" Ki Dewan muncul diikuti Ki Jangkar.
"Selama pagi, Ki!" Gala langsung menunjukan kitab pusaka curiannya.
"Hebat! Kamu memang luar biasa!" puji Ki Jangkar sambil menepuk punggung dengan lembut.
Tanpa curiga sedikit pun, Gala tiba-tiba merasakan suatu benda menembus dada sebelah kirinya dan mengenai jantung. Sakit bukan main, tapi ia tidak sempat berteriak. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibandingkan pengingkaran akan sebuah kepercayaan. Ia roboh, berkelojotan sebentar, dan tidak lama kemudian menghembuskan nafas terakhir.
***
Intijiwo, ajaran Kanjeng Wotwesi, telah mengundang rasa penasaran masyarakat luas. Rahasia suksesnya begitu memesona. Mulai dari rakyat kecil sampai golongan bangsawan papan atas. Tentu saja sukses yang oleh kebanyakan orang dipersempit dalam arti bergelimang materi.
Raden Suncoko adalah salah seorang bangsawan pengagum Kanjeng Wotwesi, dan ia telah lama masuk radar pengintaian. Bukan sebuah kebetulan, itu semata-mata karena Raden Suncoko adalah putra sulung Raden Sutowo yang pernah menjadi musuh bebuyutan Kanjeng Wotwesi.
Orang kepercayaan Kanjeng, Ki Dewandaru, ditugaskan khusus untuk mendekatinya. Itulah awal peristiwa yang terkenal dengan sebutan 'Kasus Pendopo Emas'.
Pendopo Emas berada di wilayah yang sangat luas, dan menjadi kediaman Raden Suncoko beserta lima belas saudara beserta anak cucunya.
Ketika memasuki tempat itu, terasa oleh Ki Dewan yang saat itu ditemani Ki Jangkar, bahwa pendopo itu bukan sekedar tempat tinggal biasa. Kelihatan dari tembok tanah tebal yang mengelilinginya dan lebih mirip sebuah benteng. Pintu gerbangnya juga boleh dikatakan cukup megah, kendati sudah tua dan sudah sangat memerlukan perbaikan. Tapi setidaknya sisa-sisa kemegahan itu masih terlihat jelas. Saksi bisu akan puncak perang antara pihak Raden Sutowo melawan pihak Kanjeng Wotwesi, sekitar dua puluh tahun silam.
Ki Dewan orang yang tampan. Dadanya bidang dan besar, memberikan kesan lelaki sejati. Sedangkan Ki Jangkar agak sedikit lebih pendek. Matanya yang lebar dan kedua tangannya yang cenderung bergerak ketika berbicara, mencerminkan kepribadian yang periang dan selalu bersemangat. Mereka berdua adalah orang yang mampu menipu sambil menatap tulus mata calon korbannya.
Ki Dewan mengatakan, "Pemimpin besar kami, Kanjeng Wotwesi, sangat tertarik dengan Pendopo Emas yang terkenal ini, dan beliau berkenan mengundang Raden Suncoko berserta keluarga untuk berkunjung ke tempat beliau!"
Raden Suncoko kegirangan mendengar kesempatan langka itu. Tanpa banyak pertimbangan, pada hari yang ditentukan, ia dan keluarganya dijemput dengan tiga kereta kuda terbaik milik Kanjeng Wotwesi.
Di sepanjang jalan yang memakan waktu hampir empat hari, Ki Dewan selalu menyelipkan puji-pujian akan kehebatan pemimpinnya. "Ambilah contoh ajaran dari Kanjeng yang sebetulnya sederhana tapi menjadi kekuatan dasyat. Yaitu, kejujuran, murah hati, ramah, dan menepati janji. Tidak ada yang rahasia. Kita semua pasti pernah mendengarnya. Yang membuat dasyat adalah dampak yang dihasilkannya!"
Mendekati kawasan lembah Gunung Pegat, mereka disambut padang rumput yang melandai ke utara dan memberikan pemandangan indah. Para petani biasa menggiring lembu dan kambingnya untuk merumput di sana. Rombongan beristirahat sambil menikmati jamuan yang telah dipersiapkan di rumah makan milik Intijiwo.
Ki Jangkar giliran menyanjung pemimpinnya. Dia menunjuk sana-sini sambil mengatakan bahwa semua itu bukti akan kehebatan Kanjeng dalam mengelola bisnis. Tidak hanya itu, tapi juga tentang ajaran Intijiwo yang mencerminkan betapa tingginya ilmu dan keimanan Sang Pemimpin.
Pada masa abad 15, jalan utama yang berkelok-kelok membelah lautan persawahan dan perkebunan serta menyusuri rangkaian perbukitan itu bagaikan tiada ujung. Perjalanan yang sangat melelahkan. Akan tetapi, bagi para musafir yang muncul dari celah Bukit Lalijiwo, sering kali terkagum-kagum melihat sebuah kampung yang cukup besar.
Kampung yang diberi nama Sujiwo itu sebetulnya lebih tepat disebut pemukiman mewah daripada sebuah kampung yang sesungguhnya. Rumah-rumah berjajar rapi di sepanjang sisi kanan-kiri jalan. Bangunan yang lebih besar dan lebih bagus mengambil tempat di tengah dataran terbuka. Jika dilihat secara keseluruhan, jumlah rumah-rumah itu cukup memadai untuk menjadi sebuah desa.
Kampung Sujiwo memiliki daya tarik bagi para musafir untuk singgah. Tidak sedikit pejabat yang datang dari berbagai tempat luar daerah untuk berkunjung dan menginap sampai beberapa hari. Tidak hanya suasana dan pemandangan yang menyenangkan, melainkan juga penginapan dan toko-tokonya pun bisa dibanggakan.
Rombongan kereta kuda masuk ke kompleks puri yang merupakan pemukiman paling elite. Bangunan puri-puri itu dihuni para petinggi Intijiwo. Hunian yang sangat memikat para bangsawan kaya untuk tinggal di sana. Ki Jangkar menunjuk ke kanan dan kiri sambil menyebutkan nama orang-orang hebat yang tinggal di kompleks yang dijaga sangat ketat itu.
Rombongan kereta kuda menyebrangi jembatan pendek menuju ke sebuah taman dengan pemandangan yang asri, dimana berdiri bangunan paling megah di tengahnya.
"Tempat inilah disebut 'Puri Intijiwo'!" kata Ki Dewan dengan bangga.
Di dalamnya terkesan luas, namun tetap menegaskan sebuah kemegahannya. Saat itu disampaikan bahwa Sang Pemimpin sedang tidak berada di rumah. Beliau memang orang yang sangat sibuk. Para tamu diantar ke ruang khusus untuk dijamu dengan berbagai hidangan. Bau makanan daging burung bangau dan daging rusa mengambang di udara.
Menjelang senja, mereka beristirahat di ruang tamu yang mewah. Saat itu tak seekor pun binatang malam terdengar bersuara. Kedamaian di dalam puri hanya terpecahkan oleh belaian angin musim semi yang sejuk.
Barulah setelah Raden Suncoko dan keluarganya mulai terbuai, ada informasi bahwa Kanjeng Wotwesi sudah datang. Ia muncul tidak dengan cara masuk melewati pintu, melainkan turun melayang dari lantai atas, penuh wibawah.
Ki Dewan dan Ki Jangkar bangkit dan mencium tangan Kanjeng Wotwesi, kemudian memperkenalkan tamu mereka. Kanjeng Wotwesi menyambut dengan ramah dan senang hati.
Raden Suncoko berasal dari keturunan bangsawan yang cukup kaya raya, tapi merasa kecil dibandingkan dengan Kanjeng Wotwesi.
Setelah cukup berbasa-basi, tuan rumah mengutarakan alasan kenapa mengundang Raden Suncoko. "Raden, wilayah Pendopo Emas milik Raden berada di lokasi yang sangat strategis. Oleh karena itu terus terang saya berminat membelinya!"
"Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya Kanjeng, tapi kami tidak menjualnya!" jawab Raden Suncoko kikuk.
"Sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan dengan sebaiknya!"
"Mohon maaf, Kanjeng!"
"Baiklah!" sambil menampakan senyum lebar, Kanjeng berkata, "Bagaimana kalau saya menawarkan kerja sama. Saya akan bangun lokasi bisnis di tempat anda dan kita bagi sama rata hasilnya? Bagaimana Raden?"
"Hmm.., tapi saya tidak bisa mengurus bisnis. Jadi tidak ingin repot. Saya ingin menikmati sisa umur ini dengan santai saja. Sekali lagi mohon maaf, Kanjeng!"
"Wah itu tidak tepat, Raden. Saya tahu Raden punya lima belas saudara kandung. Harus dipikirkan jika suatu saat nanti mereka akan meminta pembagian harta warisan. Pasti itu. Jika sekarang bukan mereka, pasti anak cucu mereka kelak yang akan menuntut. Jadi apa yang anda sebut menikmati sisa umur dengan santai itu kurang tepat! Betul tidak?"
"Iya betul juga, Kanjeng!"
"Bagaimana kalau begini saja, Raden, wilayah Pendopo Emas itu saya perkirakan setara dengan nilai sepuluh ribu kilogram emas. Saya akan memberikan seribu batang emas yang masing-masing seberat satu kilogram sebagai uang muka kepada anda. Nanti biar saya yang akan membangun tempat-tempat pusat belanja lengkap dengan penginapan, rumah makan, tempat rekreasi, dan lain-lain. Keyakinan saya, kalau nanti sudah jadi, aset itu nilainya akan menjadi seratus ribu kilogram emas. Setelah dipotong modal saya, sisanya akan kita bagi sama rata. Pendapatan dari kerja sama ini bisa dinikmati Raden sampai anak cucu selamanya!"
Raden Suncoko tanpa sadar melongo mendengar semua itu, tak berdaya menyembunyikan isi hatinya, dia bergumam, "Seratus ribu kilogram emas?!"
"Iya benar! Sebagai tanda jadi, anda akan saya beri seribu kilogram dulu! Bagaimana?"
"Seribu kilogram?!"
Belakangan perdagangan Kerajaan Demak maju pesat, terlihat dari aktivitas kegiatan ekspor produk ke wilayah lain. Sebagian besar perdagangan melalui pelabuhan-pelabuhan yang menjadi tempat transit kapal-kapal yang hendak ke Selat Malaka dan sebaliknya. Yang terbanyak melalui Pelabuhan Jepara.
Komoditas terbanyak yang diekspor adalah dari hasil pertanian, terutama beras, kemudian yang lainnya seperti madu, lilin, garam, dan kayu jati. Melalui kegiatan tersebut, kehidupan ekonomi masyarakat di sekitar Demak pun menjadi jauh lebih baik.
"Wilayah Pendopo Emas cukup strategis dan berpotensi akan berkembang dengan pesat!" papar Kanjeng Wotwesi meyakinkan. "Perkiraan saya itu tidak akan lama lagi!"
Dengan kondisi percaya, terpesona, dan sekaligus merasa rendah diri seperti itu, kalau saja disodorkan perjanjian dengan penuh tipu muslihat sekalipun, seringkali orang akan mengabaikannya. Apalagi Kanjeng Wotwesi terkenal sangat saleh dan kaya raya, jadi kemungkinan berkhianat sama sekali tidak mungkin. Rasanya mustahil.
Singkat cerita, Raden Suncoko beserta lima belas saudaranya setuju untuk menanda tangani perjanjian kerja sama. Yang terjadi kemudian adalah Pihak Kanjeng Wotwesi ternyata mengingkari janji dan keluarga besar Raden Suncoko kehilangan seluruh tanahnya.
***
Wilayah Pendopo Emas dengan cepat menjelma menjadi komplek perumahan mewah, lengkap dengan bangunan pasar, berbagai toko, restauran dan tempat wisata. Di area yang luas itu juga berdiri cabang padepokan Intijiwo, di mana sebagian besar murid-muridnya merupakan karyawan yang bekerja di wilayah itu. Akan tetapi, sejak menyerahkan Pendopo Emas, keluarga besar Raden Suncoko belum pernah menerima pembagian keuntungan sesuai perjanjian.
Tidak terhitung berapa kali pihak Raden Suncoko menanyakan mengenai hak itu secara baik-baik, tapi jangankan mendapatkan haknya, bertemu dengan kanjeng pun sulit bukan main. Mereka hanya ditemui pimpinan rendahan pengelola padepokan.
Pihak Raden Suncoko yang telah dibuat jatuh mentalnya, tidak berdaya melakukan perlawanan. Isi perjanjian yang telah ditandatangani membuat mereka secara hukum kalah.
Satu-satunya jalan terakhir yang bisa mereka harapkan adalah minta bantuan Paman Genuk Gluduk. Ki Genuk Gluduk adalah seorang pendekar yang dulu pernah membantu Raden Sutowo mengusir Kanjeng Wotwesi dari tanah Blora.
Raden Suncoko dengan wajah berduka mengadu, "Maaf, baru sekarang kami terpikirkan untuk meminta bantuan paman! Perlu waktu lama bagi kami untuk menyadari bahwa kami telah ditipu mentah-mentah. Kami kehilangan warisan terbesar yang dengan susah payah dikumpulkan oleh Romo Sutowo. Semua diambil Intijiwo dengan cara yang sangat rapi tanpa melanggar hukum!"
"Aku sudah dengar desas-desus mengenai ini. Tapi aku tidak suka mencampuri urusan orang lain, kecuali dimintai bantuan!" kata Ki Genuk yang merupakan ketua perkumpulan Laskar Cabak. Ia pendekar yang bisa dimintai tolong urusan pertempuran dengan bayaran yang sangat pantas.
Keesokan harinya Raden Suncoko dengan ditemani Ki Genuk Gluduk mendatangi Padepokan Intijiwo. mereka memaksa untuk bisa dipertemukan dengan Kanjeng Wotwesi.
"Kalau besok dia tidak datang menemui kami," ancam Ki Genuk Gluduk, "Jangan salahkan apabila kalian kami usir dari sini!"
Pemimpin padepokan cabang itu tidak melayani sikap kasar Ki Genuk. Dengan tenang dia berkata, "Maaf, permintaan Raden nanti akan kami sampaikan kepada Ki Dewan. Kebetulan tangan kanan Kanjeng Wotwesi itu akan berkunjung ke sini besok!"
"Aku sudah bosan mendengar omong kosong kalian! Ini adalah pengingkaran terakbar yang pernah terjadi!" bentak Raden Suncoko mulai memberanikan diri. "Pokoknya besok kalian harus angkat kaki dari tanah kami! Kesabaran kami sudah habis!"
"Maaf, itu sangat tidak manusiawi, Raden!"
"Kau sebut diri kalian manusia?" Raden meludah ke lantai. "Dengar, aku tahu betul perkumpulan bajingan macam apa kalian itu!"
"Hati-hati..! Jangan sembarangan bicara!"
"Kenapa? Kalian memang bajingan!"
"Itu fitnah terhadap pemimpin besar kami Kanjeng Wotwesi!"
Mendengar nama itu disebut sempat membuat Raden Suncoko kembali ciut nyalinya. "Bukan Kanjeng Wotwesi yang kumaksud, tapi orang-orang bawahan seperti kamu, seperti Ki Dewan dan Ki Jangkar. Tanpa malu mengambil hak orang lain!"
"Semua yang anda ucapkan akan kami catat dan pasti akan kami laporkan ke pemimpin kami!"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI