Mendekati kawasan lembah Gunung Pegat, mereka disambut padang rumput yang melandai ke utara dan memberikan pemandangan indah. Para petani biasa menggiring lembu dan kambingnya untuk merumput di sana. Rombongan beristirahat sambil menikmati jamuan yang telah dipersiapkan di rumah makan milik Intijiwo.
Ki Jangkar giliran menyanjung pemimpinnya. Dia menunjuk sana-sini sambil mengatakan bahwa semua itu bukti akan kehebatan Kanjeng dalam mengelola bisnis. Tidak hanya itu, tapi juga tentang ajaran Intijiwo yang mencerminkan betapa tingginya ilmu dan keimanan Sang Pemimpin.
Pada masa abad 15, jalan utama yang berkelok-kelok membelah lautan persawahan dan perkebunan serta menyusuri rangkaian perbukitan itu bagaikan tiada ujung. Perjalanan yang sangat melelahkan. Akan tetapi, bagi para musafir yang muncul dari celah Bukit Lalijiwo, sering kali terkagum-kagum melihat sebuah kampung yang cukup besar.
Kampung yang diberi nama Sujiwo itu sebetulnya lebih tepat disebut pemukiman mewah daripada sebuah kampung yang sesungguhnya. Rumah-rumah berjajar rapi di sepanjang sisi kanan-kiri jalan. Bangunan yang lebih besar dan lebih bagus mengambil tempat di tengah dataran terbuka. Jika dilihat secara keseluruhan, jumlah rumah-rumah itu cukup memadai untuk menjadi sebuah desa.
Kampung Sujiwo memiliki daya tarik bagi para musafir untuk singgah. Tidak sedikit pejabat yang datang dari berbagai tempat luar daerah untuk berkunjung dan menginap sampai beberapa hari. Tidak hanya suasana dan pemandangan yang menyenangkan, melainkan juga penginapan dan toko-tokonya pun bisa dibanggakan.
Rombongan kereta kuda masuk ke kompleks puri yang merupakan pemukiman paling elite. Bangunan puri-puri itu dihuni para petinggi Intijiwo. Hunian yang sangat memikat para bangsawan kaya untuk tinggal di sana. Ki Jangkar menunjuk ke kanan dan kiri sambil menyebutkan nama orang-orang hebat yang tinggal di kompleks yang dijaga sangat ketat itu.
Rombongan kereta kuda menyebrangi jembatan pendek menuju ke sebuah taman dengan pemandangan yang asri, dimana berdiri bangunan paling megah di tengahnya.
"Tempat inilah disebut 'Puri Intijiwo'!" kata Ki Dewan dengan bangga.
Di dalamnya terkesan luas, namun tetap menegaskan sebuah kemegahannya. Saat itu disampaikan bahwa Sang Pemimpin sedang tidak berada di rumah. Beliau memang orang yang sangat sibuk. Para tamu diantar ke ruang khusus untuk dijamu dengan berbagai hidangan. Bau makanan daging burung bangau dan daging rusa mengambang di udara.
Menjelang senja, mereka beristirahat di ruang tamu yang mewah. Saat itu tak seekor pun binatang malam terdengar bersuara. Kedamaian di dalam puri hanya terpecahkan oleh belaian angin musim semi yang sejuk.
Barulah setelah Raden Suncoko dan keluarganya mulai terbuai, ada informasi bahwa Kanjeng Wotwesi sudah datang. Ia muncul tidak dengan cara masuk melewati pintu, melainkan turun melayang dari lantai atas, penuh wibawah.