"Kematian hanya sekali, maka pilihlah mati di jalan Allah!" suaranya menggelegar, "Mari kita gempur orang-orang sesat itu dengan jiwa gagah berani. Bukan dengan jiwa rapuh. Karena tidak ada balasan bagi para pembela agama Allah kecuali surga!"
Rencana pertempuran itu sudah ramai dan tajam dibicarakan jauh hari, Pertempuran paling akbar yang mempertaruhkan harkat dan martabat, antara Kyai Wotwesi yang agamis melawan Raden Sutowo yang spiritualis. Keduanya berebut untuk menjadi yang paling berpengaruh di wilayah itu.
Semangat pihak Kyai Wotwesi bertambah berkobar-kobar manakala dihembuskan informasi bahwa ratusan pasukan berkuda dan bersenjata lengkap tiga hari yang lalu sudah berangkat dari Daha menuju ke barat. Itu mereka anggap sebagai bagian dari rencana. Nantinya Blora akan langsung dikepung, dinyatakan dalam keadaan darurat. Lalu Ki Sutowo yang dituduh telah berkhianat akan ditangkap. Bahkan, ia dan pendukungnya pasti akan langsung dihukum mati tanpa melalui proses pengadilan.
Seorang kepercayaan juga melaporkan bahwa ia melihat sendiri Pasukan Adipati Jayakusuma sudah mencapai perbatasan wilayah Blora. Sesuai rencana, pasukan itu yang nanti juga akan bergabung untuk menggempur Raden Sutowo.
Kyai Wotwesi memimpin langsung pergerakan pasukannya menuju pendopo. Setelah sekitar satu jam berhasil mengepung, sambil berteriak-teriak "Bunuh Ki Sutowo! Bantai para pengikutnya!" tapi mereka belum berhasil mendobrak pertahanan lawan.
Di belakang pagar, berdiri barisan pemuda berwajah ganas. Mereka semua menggenggam tombak, siap menancapkan ke dada siapa pun yang berani menerobos masuk. Tombak adalah senjata andalan mereka yang paling ditakuti para musuh. Di barisan belakang, Raden Sutowo dan pengikut setianya menggenggam pedang tinggi-tinggi, siap menebaskan ke leher musuh yang cukup nekad mendekat. Pasukan itu tidak berbicara sepatah kata pun. Itu berarti mereka bermaksud hanya berbicara dengan tombak. Ketegangan kian memuncak.
Dapat dimaklumi, Raden Sutowo memang sudah memiliki pengikut dari pelbagai lapisan masyarakat sejak seperempat abad terakhir, sehingga ketika Kyai Wotwesi memploklamirkan diri akan menyerangnya, itu langsung dianggap seperti kambing yang mengusik macan tidur. Para pengikut Raden Sutowo segera mempersiapkan diri menjawab tantangan itu. Gerombolan kambing dipersilakan menyerang, dimana sang raja hutan sudah menunggu dengan tidak sabar.
Kebanyakan pengikut Kyai Wotwesi memang berani menyerbu pihak Raden Sutowo karena tergiur oleh iming-iming surga dan jebakan isu palsu. Entah dari mana datangnya. Ternyata tidak ada dukungan pasukan yang disebut-sebut. Mereka kecewa. Semua rencana yang dihembus-hembuskan itu tidak pernah terjadi. Fanatik memang buta. Ternyata mereka kemudian bisa dipukul mundur oleh pasukan lain. Kini sudah lebih ratusan orang terbunuh, sementara puluhan sisanya terluka dan tertangkap.
Pihak Kyai Wotwesi telah kalah. Ia tahu betul itu. Ki Genuk Gluduk, yang dikiranya sekutu, ternyata telah bergabung dengan pasukan Ki Sutowo. Ketika diserang pasukan Ki Genuk, jalan pertempuran pun berubah. Kyai Wotwesi kemudian kehilangan satu per satu orang andalannya, Ki Ukasa, Ki Bongkil, dan Ki Subangkit. Maka sempurnalah kekalahannya.
Kyai Wotwesi tidak pernah tahu bahwa Ki Genuk Gluduk, orang yang dianggapnya sebagai komandan Komando Jihad itu, adalah salah seorang kepercayaan Raden Sutowo. Dia bahkan beberapa bulan sebelumnya tampak mondar-mandir di kediaman Raden Sutowo.
Pasukan berkuda dari Daha rupanya tidak menuju Blora. Tidak pernah sampai di Blora. Hanya dalam waktu setengah hari pertempuran sudah dapat dipastikan siapa yang sejak saat itu akan berkuasa penuh di tanah Blora. Dialah Raden Sutowo yang perkasa.