Ki Kalong Wesi memang bukan seorang dewa. Ia hanya pendekar jahat yang sangat sakti. Kalau bertarung tanpa ada sedikit pun rasa emosi. Itu karena pengalaman bertarungnya jauh melampaui kebanyakan pendekar. Itu sebabnya Kyai Wotwesi dan pasukannya harus berfikir panjang untuk menghadapinya.
"Selama ini pertarungan mengajarkan bahwa semua itu semacam hiburan yang menyenangkan. Ha..ha..!" Tanpa menunggu lama lagi, Ki Kalong Wesi segera melampiaskan kemarahannya kepada orang-orang yang mengepungnya.
Seorang lelaki perkasa meluncur menyibak belukar, setengah melompat menuruni lereng. Kedua lengannya yang dilingkari gelang Akar Bahar mengayunkan golok ke arah kepala. Dengan sorot mata tajam menatap langsung kepada penyerang yang rapuh di hadapannya, Ki Kalong Wesi secepat kilat melancarkan tendangan. Tepat bersarang di dada. Lelaki perkasa itu terlempar cukup jauh, memuntahkan darah, lalu ambruk tidak bergerak lagi.
Lelaki lain yang bertubuh tinggi besar, terbungkus kulit binatang, menyusul mengirim serangan ganas dengan golok besar dan berat. Segala sesuatu pada dirinya bernada kerasnya perjuangan untuk hidup.
Ki Kalong Wesi membiarkan golok lawannya menyerangnya dua kali, dia pun mengerti bahwa lawan itu tidak dapat digolongkan sebagai seorang pendekar yang sudah matang. Karena itu dia pun ingin menghentikan perkelahian itu secepatnya. Pada waktu orang itu kembali hendak menyabetkan golok yang ke tiga kalinya, Ki Kalong Wesi sudah menyelinap ke samping dan tinjunya melayang ke arah leher dengan keras. Bug...! Orang itu tersungkur dan tidak pernah bangun lagi karena tulang lehernya patah.
Lelaki lain segera menyusul. Dengan teriakan keras ia mengangkat pedang hendak membacok, tapi tiba-tiba tubuhnya seperti tertahan oleh kekuatan dahsyat. Pedangnya terhenti di atas kepala lalu terlepas dan jatuh. Kedua kakinya terkulai dan bertekuk lutut. Rupanya tinju kanan Ki Kalong Wesi telah memasuki dadanya dan meremas jantung. Lelaki itu pun roboh tanpa sempat berteriak lagi, matanya terbuka memandang kosong ke arah wajah pembunuhnya.
Kyai Wotwesi tidak tahan melihat semua itu. "Ini balasanmu kepada orang yang menerimamu sebagai menantu?" Ia memang sudah tua. Rambutnya sudah memutih semua. Tapi dia belum lamban. Masih sangat kuat dan ilmunya silatnya tidak bisa dianggap remeh.
"Ini balasanmu kepada orang yang tangannya dulu membantumu memperoleh kekuasaan?" timpal Kalong Wesi.
Mereka berdua sudah siap untuk saling melancarkan serangan maut, tapi kemudian seolah-olah ada energi besar yang membuat tubuh keduanya terpental.
"Berhenti!" suara lantang di sela isak tangis dari seorang bocah kecil membuat mereka berdua tersadar. Itulah energi besar yang tadi menahan mereka.
Ki Kalong Wesi berpaling kepada putranya. "Klebat, Ayah sangat mencintaimu. Jaga dirimu baik-baik!"