***
Seperti biasanya, setiap hari Arum dan Lintang bangun pagi-pagi, mengawasi para murid yang sedang berlatih silat, menengok dan melihat orang-orang yang bekerja merawat tanaman di ladang, istirahat, melatih murid-murid lagi, malamnya mereka berlatih sendiri, kemudian meditasi dan tidur. Demikianlah kegiatan rutin mereka setiap hari.
Tapi di pagi buta itu mereka tampak tergesa-gesa meninggalkan padepokan. Sekitar satu jam sebelumnya, Cak Lahar, salah seorang pelatih, tampak tergesa-gesa mendatangi mereka di teras puri. "Assalamualaikum!"
"Wa alaikum salam!" jawab keduanya serentak.
"Ada apa, Cak?" tanya Arum, ia menangkap ada sesuatu yang sangat genting.
"Mohon maaf, Guru, ada seorang warga dari desa Guru Mahesa yang datang mengabarkan kalau padepokan mereka diserbu dan dihancurkan orang!"
"Apa? Kapan kejadiannya?"
"Tadi malam! Menurut kabar, Ki Mahesa dan Nyi Lastri meninggal dunia!"
Saat itu juga, Lintang dan Arum langsung meluncur ke lokasi. Ketika memasuki suasana baru, pemandangan baru, udara baru, semuanya itu akan menumbuhkan kuncup kebahagiaan yang tadinya layu oleh rutinitas, tapi sekarang tidak. Tidak ada senyum menghiasi bibir, tidak ada sinar mata berseri-seri, tidak ada canda tawa, semua telah direnggut oleh suasana penuh duka nestapa.
Ketika sampai di rumah duka, mereka melihat Ki Demang Japa sudah berada di lokasi. Terdengar suara tangisan beberapa orang di antara pelayat.
"Jenazah-jenazah sedang dimandikan!" kata Ki Demang Japa dengan wajah sedih.