"Cak, sudah adakah informasi sementara mengenai pelakunya?" tanya Arum dengan mata tampak berkaca-kaca. "Tidak banyak bajingan jahanam yang berani melakukan tindakan gila ini! Mahesa dan Lastri adalah pendekar yang cukup tangguh!"
"Aku curiga pelakunya kelompok Ki Kalong Wesi!" jawab Ki Demang Japa, "Tapi ini baru dugaan!"
"Tapi memang hanya mereka yang punya kemampuan dan alasan untuk melakukan pembunuhan ini!" Lintang mendukung dugaan itu.
"Tapi sudah lama Ki Kalong dan kelompoknya tidak pernah muncul dan tidak pernah terdengar lagi sepak terjangnya!" timpal Arum, "Tapi aku setuju dengan dugaan itu!"
Penyelidikan sudah langsung dilakukan Ki Demang Japa sejak ia mendengar berita itu. Ia menyebar orang-orangnya untuk meminta dan mengumpulkan keterangan dari banyak tokoh persilatan di Jombang, kalau-kalau saja ada di antara mereka yang mendengar tentang Ki Kalong Wesi dan kelompoknya. Ada beberapa orang di antara mereka yang mengetahui tentang Ki Kalong Wesi yang memimpin kelompok 'Wong Langit', yang menurut desas-desus tinggal di sebuah puncak bukit di tengah hutan.
Menyaksikan kematian Mahesa, Lastri dan puluhan muridnya, yang sekarang jenazah mereka sedang dikebumikan oleh penduduk desa, merupakan hal yang sangat mengguncangkan hati.
Di sebuah area pemakaman, tampak kuburan yang puluhan jumlahnya dan masih baru. Meremang bulu tengkuk Lintang dan Arum melihat kuburan-kuburan itu. Bukan karena merasa ngeri, karena mereka adalah pendekar papan atas yang tidak kenal rasa takut akan sesuatu. Yang membuat ngeri adalah saat membayangkan detik-detik kematian sepasang suami istri yang terkenal saling mencintai itu.
Peristiwa itu menggemparkan Jombang, karena sudah pasti akan berbuntut panjang. Siapa mereka yang begitu berani mengganggu Benteng Nusa? Dunia persilatan menanti-nanti datangnya kejadian dahsyat akibat serangkaian pembantaian itu, karena pasti akan timbul pembalasan yang jauh lebih dasyat.
Usai pemakaman, seorang perempuan tua menuntun bocah kecil yang sedang menangis, membawa kepada Lintang dan Arum. Dia adalah Manggala, yang selamat karena sebelum orang tuanya keluar menghadapi musuh, ibunya membisikan agar ia sembunyi di dalam kandang ayam di belakang rumah.
Lintang dan Arum merasa bertambah sedih ketika melihat Manggala. Ia tidak tega mendengar tangis bocah kecil yang begitu menyayat hati.
"Gala! Anakku tidak boleh cengeng! Laki-laki pantang menangis!" kata Lintang lembut sambil jongkok menatap wajah mungil di depannya.