Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (97): Pendekar Sejati

27 Oktober 2024   05:12 Diperbarui: 27 Oktober 2024   09:43 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

"Sebenarnya Raden Ghandi saat ini masih sakit!" bisik Gandung alias Ghozali Si Raja Belut kepada Manggala putra Mahesa. Ia jelas berniat mengadu domba dalam kedok memberikan motivasi. "Tengkuknya masih lebam, jadi tenaganya pasti masih lemah! Hari ini kamu pasti menang, Gala!"

Ghandi sedang berhadapan dengan Manggala yang usianya setahun di bawahnya. Kedua bocah kecil itu sudah biasa berhadapan dalam setiap latihan sabung, akan tetapi hari itu ada kesengajaan untuk mengadu domba kedua bocah itu agar bertarung mati-matian.

Gala menerjang dengan jurus paling ampuh dari semua jurus yang jarang dikuasai oleh murid di tingkatannya, yaitu jurus Mendepak Ombak Menuai Buih. Jurus itu dilakukan dengan sambaran kaki mengarah pada kaki lawan, akan tetapi itu merupakan tipuan belaka, karena jurus itu secara berputar disusul dengan kedua tinju cepat ke arah dada. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya.

Akan tetapi, alangkah kaget Gala melihat Ghandi sepertinya tidak terpancing tipuan itu, namun ketika pukulannya mengarah dada, Ghandi sudah meloncat ke samping sehingga jurus itu pun tidak ada gunanya sama sekali.

Selagi meloncat, tidak hanya untuk memunahkan jurus lawan, melainkan membalas dengan tendangan kipas ke arah kepala, sehingga Gala yang tidak menduga itu langsung tersungkur ke tanah.

Semangat Gala membara. Ia cepat bangun, mengerahkan seluruh kekuatan untuk kembali menerjang. Ghandi sengaja berlaku lambat hingga Gala sudah menyeringai kegirangan. Akan tetapi mendadak tubuhnya terlempar. Terdengar suara keras, Tanpa dapat dihindarkan lagi oleh Gala yang pada saat tubuhnya sedang melayang dalam usahanya menendang, tahu-tahu kaki Ghandi sudah sangat cepat menghadang.

Gala segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk menahan, akan tetapi tendangan itu hebat bukan main, dia terlempar dan terbanting ke atas tanah sampai bergulingan, sejauh tiga meter. Bocah berumur tujuh tahun itu mencoba bangkit lagi, tapi dadanya terasa nyeri, lalu ambruk dan muntah darah segar.

Gandung berlari cepat memberikan pertolongan. Dari jarak dekat ia diam-diam memukul dada Manggala hingga bocah itu tidak sadarkan diri. "Cepat bawa ke 'acaraki'! Ayo cepat!" Acaraki adalah ruang semacam klinik kesehatan.

Dua orang kemudian menggotong tubuh Manggala menuju ke ruang pengobatan, dan di antara murid-murid ada yang berlari mengabarkan kejadian itu kepada Lastri, ibu Manggala.

Raden Ghandi hanya mundur selangkah dan merasa tengkuknya nyeri. Diam-diam ia mengeluh. Memang tadinya ia sengaja hendak mengukur kondisi tubuhnya. Tenaganya sebagian sudah pulih, tetapi ternyata pengerahan energi yang besar itu membuat luka dalam itu kambuh kembali.

Di pihak lain, Gandung heran setengah mati. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa Raden Ghandi masih mempunyai tenaga sehebat itu. Ia lebih berharap bahwa putra Lintang itu yang terluka, karena akibat yang ditimbulkannya pasti akan jauh lebih dasyat. Putra kesayangan Sang Guru Besar dikalahkan oleh putra seorang guru biasa, itu adalah suatu peristiwa yang akan membawa dampak besar.

Tak tega melihat muka Manggala karena tadi terlihat pucat, lebih pucat dari muka mayat, Ghandi berlari pulang. Ia memberitahukan kepada ibunya dan meminta maaf.

Arum segera datang dan mencoba membantu mengobati Manggala. Ia kaget setelah melihat ada lebam biru kehitaman di dada bocah itu, lebam tinju tangan ukuran orang dewasa. "Kenapa ada lebam tangan orang dewasa?"

Dua orang murid yang dimintai keterangan tidak ada yang tahu. Semua murid yang berada di lokasi hanya menyaksikan bahwa Manggala pingsan setelah kena tendangan kaki Raden Ghandi.

Lastri tidak mungkin melampiaskan kemarahannya kepada putra gurunya, apalagi kepada gurunya. Ia hanya pasrah dengan memendam kemarahan itu sekuat tenaga. "Maaf, Mbak, saya akan membawa Gala pulang ke kampung halaman saja!" katanya tanpa memandang ke arah Arum sedikitpun. "Biar dia menjalani perawatan di desa!" Ia langsung membereskan barang-barangnya yang akan dibawa.

Lintang dan Mahesa yang sedang berada di pendopo kademangan segera diberitahu, sehingga mereka pun secepatnya pulang.

Setelah menyaksikan kondisi putranya yang masih pingsan, Mahesa pun tidak mampu menahan kemarahannya. "Kenapa bisa sampai begini? Siapa yang tadi membawa ke sini?"

Dua orang murid maju dengan wajah penuh ketakutan, "Kami yang tadi membawanya, Guru!"

Mahesa menatap wajah mereka satu per satu. "Jelaskan kepada saya, kenapa ada lebam tinju ukuran tangan orang dewasa di dada Gala?"

Mereka berdua hanya diam seribu bahasa.

"Jawab!"

"Maaf, Guru, kami benar-benar tidak tahu mengenai itu!"

Mahesa hampir saja menghajar kedua murid itu tapi Lintang segera menengahi.

"Kalian berdua!" kata Lintang dengan nada berat hati, "Terpaksa kami pulangkan saat ini juga, sampai kasus ini terungkap!"

"Salah satu dari kalian pasti ada yang melakukan pemukulan. Kalian pengkhianat!" maki Mahesa.

Ada retakan serius di tulang dada Manggala dan itu menyebabkan luka di jantung. Retakan itu bisa jadi diakibatkan oleh tendangan kaki yang kemudian diperparah oleh tinju yang meninggalkan lebam biru kehitaman.

Lastri tetap memaksa suaminya untuk membawa pulang anak mereka ke kampung halamannya. Mereka mohon ijin kepada kedua guru mereka untuk pindah ke desa dengan alasan demi proses penyembuahan Manggala. Sebelumnya mereka memang sudah mendapat hasutan tentang persaingan di antara putra-putra mereka.

Lastri memiliki warisan sebidang pekarangan di samping rumah orang tuanya. Dari dulu memang sudah pernah terlintas di benaknya rencana untuk mendirikan padepokan silat di tempat itu, di sebuah desa yang tentram dan damai, jauh dari kota.

Kini impian mendirikan perguruan itu benar-benar terwujud. Itulah sejarah padepokan yang pertama kali memiliki cabang. Cabang Padepokan Benteng Nusa yang baru buka itu diserbu banyak pemuda desa. Mereka berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk menjadi murid.

***

Pidato Mahesa Wijaya di depan murid-muridnya, "Kami mendirikan padepokan ini dengan niat untuk menyebar-luaskan ilmu silat agar warisan leluhur ini tetap lestari. Semoga ilmu tersebut dipergunakan demi menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang tertindas dan menumpas kebatilan! Sebelum latihan, mari kita baca ikrar. Apa kalian semua siap?"

"Siap!" Serentak puluhan murid berteriak dengan penuh semangat.

"Baik. Tirukan ikrar yang akan saya bacakan. Ikrar Benteng Nusa!"

"Ikrar Benteng Nusa!" Suara puluhan murid yang menirukan ucapan Mahesa begitu menggetarkan orang-orang yang menonton di pinggir pekarangan.

"Satu, siap menjadi pribadi yang berbudi pekerti luhur.

Dua, siap mencintai dan menghormati sesama.

Tiga, siap selalu berpikir positif, kreatif dan dinamis.

Empat, siap menjunjung tinggi kebenaran, kejujuran dan keadilan.

Lima, siap berjiwa ksatria yang bertanggung jawab dan teguh dalam menghadapi segala ujian."

Tidak sampai satu bulan, kabar adanya padepokan baru itu menyebar ke desa-desa lain, sehingga banyak pemuda dari luar desa yang akhirnya tertarik untuk ikut bergabung. Kini cabang Benteng Nusa itu sudah memiliki murid dua ratus orang lebih.

Ada informasi yang sampai ke telinga Mahesa dan Lastri bahwa Padepokan Benteng Nusa di Jombang mulai merasa tersaingi dengan adanya cabang yang ternyata tumbuh sangat pesat. Mereka menganggap bahwa tanpa mendompleng nama besar Benteng Nusa, padepokan baru itu tidak mungkin bisa seperti itu.

Sementara itu, di Jombang tersebar informasi yang sampai ke telinga Arum dan Lintang bahwa padepokan Mahesa berniat memisahkan diri, dan mereka sudah menyiapkan nama pengganti untuk padepokannya, yaitu Padepokan Benteng Sejati. Mahesa dan Lastri mengaku mereka mewarisi ilmu silat yang murni dari Mpu Naga Neraka.

Mahesa dan Lastri kabarnya sudah tidak lagi menyebut Lintang dan Arum dengan sebutan guru. Di depan orang-orang mereka berani menyebut namanya saja, tidak peduli sikap itu dianggap sebagai bentuk durhaka.

Padepokan Benteng Sejati tidak lagi mau dikait-kaitkan dengan Padepokan Benteng Nusa. Bahkan Mahesa dan Lastri juga tidak bergabung dengan organisasi Ikatan Pendekar Jawa di bawah pimpinan Lintang Kejora.

***

Malam itu begitu mencekam. Tiba-tiba terdengar suara beberapa langkah kaki kuda memasuki pekarangan. Tidak lama kemudian ada suara seseorang yang meminta Mahesa agar keluar.

Mahesa yang baru akan tidur mengintip dari cela daun pintu. Tampak belasan orang di atas kuda berjajar di halaman depan rumah. Lastri terbangun dan ikut mengintip. Betapa terkejut mereka ketika mengenali beberapa wajah di antara tamu-tamu tak diundang itu. Ada mantan demang Ki Wiryo dan putranya, Warsito. Kemudian mereka juga mengenali Pendekar Golok Maut, Ki Bajul Brantas dan Pendekar Cebol. Sedangkan sisanya tidak mereka kenal.

"Mau apa mereka malam-malam datang ke sini?" tanya Lastri dengan cemas. "Apa mereka mau balas dendam?"

"Ya, aku pikir pasti begitu!" jawab Mahesa, "Lastri, ingat kamu sedang hamil, lebih baik selamatkan dirimu dan Gala! Pergilah ke guru dan tunggulah aku di sana. Aku akan lebih leluasa menghadapi mereka dari pada harus melihat kalian ikut terancam bahaya!"

"Pergi ke guru?" tanya Lastri dan ada nada penyesalan di sana.

"Iya!"

"Cak Mahes menyuruh aku pergi? Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu. Biar mati asal bersamamu," kata Lastri dengan nekat. "Aku tidak mungkin membiarkanmu menghadapi bahaya sendirian. Bahaya ini harus kita hadapi bersama! Kau adalah suamiku. Andai kamu membawahku ke jurang neraka sekali pun, aku akan tetap menyertaimu! Mari kita lawan mereka sampai tetes darah penghabisan!"

Kata-kata itu segera membakar semangat Mahesa. Dia merasa bangga, ternyata Lastri benar-benar seorang istri setia dan telah membulatkan tekat untuk mati bersama. Mereka membangunkan Gala dan menyuruh anak kecil itu untuk bersembunyi.

Saat itu ada dua orang murid padepokan yang mencoba menghampiri dan menanyakan apa maksud kedatangan tamu-tamu asing itu, tapi tanpa ada jawaban, seorang meloncat turun dari kuda dan langsung menyerang. Kedua murid itu menjerit roboh dalam waktu sangat singkat.

Begitu mendengar suara keributan, sekitar tiga puluh murid yang memang tinggal di asrama padepokan segera berhamburan keluar untuk membantu teman mereka. Masing-masing membawa senjata seadanya. Pertempuran berlangsung sengit.

Tidak terasa butiran-butiran air mata bening menetes turun membasahi pipi Lastri. Jari-jemari tangannya saling meremas dengan jari-jemari tangan Mahesa. Di saat menghadapi ancaman maut itu, sepasang suami istri itu merasa betapa indahnya jalinan cinta kasih mengikat hati masing-masing. Hati mereka megatakan ada firasat buruk, lalu mereka menyerahkan nasib di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Mereka berdua segera membuka pintu dan melompat keluar dengan pedang siap di tangan. Pedang di tangan kanan Mahesa mulai bergetar. "Bismillah, jangan khawatir, Lastri, aku pasti akan melindungimu. Mereka tidak akan mampu mengganggu sehelai rambutmu tanpa melangkahi mayatku!"

Saat itu murid-murid padepokan yang baru berlatih beberapa bulan sudah terdesak hebat. Sebagian telah tergeletak tak bernyawa. Mahesa dan Lastri segera menerjang di tengah pertempuran untuk menolong murid-murid mereka. Terbakar pula semangat murid-murid begitu menyaksikan kedua guru mereka mengamuk hebat.

Malam itu bulan tidak muncul karena tertutup mendung tebal. Alam seakan-akan memberi sinyal bahwa pada malam itu akan terjadi peristiwa hebat dan bumi akan bermandikan darah manusia. Tidak lama kemudian air hujan menyiram permukaan bumi, seperti ditumpahkan dari langit, disertai angin ribut dan petir.

Mereka yang bertempur di halaman mulai terengah-engah dan sukar bernapas karena serangan air hujan pada muka mereka. Air hujan itu seperti kerikil kecil menghantam wajah.

Mahesa dikeroyok oleh Pendekar Golok Maut, Ki Bajul Brantas dan Pendekar Cebol. Sedangkan Lastri dikeroyok oleh Warsito, Dewan dan Ki Wiryo. Pertempuran yang sangat tidak seimbang.

Pedang Mahesa, meskipun bukan senjata pusaka, namun bergerak liar dan telah mampu mengimbangi senjata-senjata lawannya. Dengan ilmu pedang akhirat, Mahesa ternyata berhasil meredam keganasan para pengeroyok dan sebaliknya mereka yang menjadi kaget setengah mati. Kemampuan silat Mahesa kini telah mengalami kemajuan sangat pesat.

Apa lagi pekiknya yang mengandung tenaga dalam, benar-benar menambah ampuhnya setiap serangan. Bunga api berpijar ketika senjata-senjata saling bertemu, di tengah siraman hujan dan kilat yang menyilaukan mata. Alangkah ngerinya hati Pendekar Golok Maut ketika tiba-tiba pedang di tangan Mahesa begitu bertemu, terus saja menyelinap dari samping dan langsung mengirim tusukan ke arah dadanya.

Pendekar Golok Maut secepatnya menjatuhkan diri ke kiri dan bergulingan. Ia terlambat bergerak, sehingga pundaknya terasa sakit menerima goresan pucuk pedang. Hanya goresan sedalam kuku. Dengan cepat pedang Mahesa kini berbelok menyabet perut Ki Bajul Brantas, Ki Bajul menangkis dan goloknya terlepas dari tangan. Tenaga Mahesa amat besar dan pada saat itu ia membacok kepala Pendekar Cebol yang tadi sudah dua kali terkena tendangan sehingga tenaganya kini berkurang. Ketika menghindar kepalanya selamat, tapi tanpa dapat dielakan lagi, lengannya terserempet pedang dan menciptakan luka panjang yang cukup nyeri.

Di sisi lain, Lastri sangat kewalahan menghadapi Warsito yang begitu bernafsu ingin menghabisinya. Hebat sekali ilmu pemuda itu, kedua tangannya telah digembleng dengan keras, gerakannya cepat dan penuh tenaga dalam. Sekali lawan kena cengkeraman tangannya, pasti dagingnya robek dan tulangnya remuk. Baju Lastri sudah terkoyak di sana-sini.

Ketika wanita itu fokus pada serangan Warsito sambil menangkis pedang Dewan, tahu-tahu punggungnya terkena tendangan keras Ki Wiryo dan ia terhuyung-huyung nyaris jatuh. Sebelum posisinya siap dia kembali menerima pukulan Warsito, membuat ia tersungkur, sempat muntahkan darah segar, namun dia menekan dada dan segera bangkit untuk kembali menerjang lawan-lawannya.

"Tidak! Lastri, demi menyelamatkan anak kita, kita harus tetap hidup!" teriak Mahesa sambil mencoba mendekati Lastri. Pedang yang tergenggam erat-erat di tangannya sudah siap untuk melindungi istrinya yang terdesak itu. "Kita tidak boleh kalah!"

"Cak Mahes, maafkan aku!" kata Lastri. Namun di dalam hati ia tetap berdoa semoga suaminya itu mampu bertahan dalam pertarungan yang memang sangat berat sebelah. "Aku sudah tidak kuat!"

"Lastri, kita berdua pasti mampu mengalahkan pengecut-pengecut ini!"

Ketika pedang Dewan menyambar dari samping, Mahesa menangkis sambil menyelinap maju dan tahu-tahu pedangnya sudah melanjutkan tenaga benturan itu dan berubah menjadi tusukan ke arah lambung. Dewan dapat menangkis pula namun ia terpaksa dibuat terhuyung-huyung mundur beberapa jengkal. Mahesa berdiri di samping Lastri, dikepung enam orang.

Harus dipuji juga keuletan Mahesa, pedangnya yang digerakkan dengan tenaga besar menyambar-nyambar ganas. Lastri yang terluka itu mulai lambat gerakan-gerakannya, tapi wanita yang sedang hamil muda itu tidak mau menyerah mentah-mentah, dan terus nekat untuk bertarung mati-matian.

Saat itu pedang Mahesa berhasil menyabet perut Pendekar Cebol sampai membuat ia tanpa ampun lagi harus minggir. Namun di saat bersamaan sebuah cengkeraman Warsito mengenai dada Lastri dan wanita itu roboh dengan luka menganga.

Mahesa mencoba mendekati tubuh istrinya yang tergelak sekitar tiga meter darinya, tapi ia sekarang dikepung lima orang. Repot juga, apa lagi perasaannya diliputi kegelisahan karena Lastri tampaknya tidak bergerak lagi. Tidak mungkin untuk membantu istrinya karena dia sendiri sedang dihujani serangan-serangan maut.

Mahesa menyerang Ki Wiryo. Mantan demang itu cepat menangkis dan inilah kesalahannya, karena kehebatan serangan Mahesa hanya sebagian saja terletak pada sambaran pedang itu, sedangkan sebagian lagi terletak pada tangan kirinya yang secepat kilat sudah mengirim pukulan maut ke arah pinggang. Ki Wiryo terbanting. Warsito mencoba melindungi ayahnya, tapi ia ceroboh karena pedang Mahesa telah menusuk deras dan berhasil menembus lehernya hingga tembus. Pendekar Cakar Macan itu jatuh dan tidak mampu bangkit untuk selamanya.

Mahesa punya kesempatan meloncat mendekati tubuh istrinya. "Lastri..! Lastri..!" panggilnya berulang kali. Ia memeriksa tubuh yang telah dingin dan sudah tak ada lagi denyut nadinya. "Lastriii..!" Geledek menggelegar memecah langit.

Terdengar suara seperti benda roboh. Mahesa menengok ke belakang, rupanya rumahnya telah dihancurkan. Ia tahu nasib anaknya yang pasti sudah tidak tertolong lagi, pergi ke langit bersama ibunya. Akan tetapi ia berlari menuju rumah dan mengejar orang-orang yang telah merobohkannya.

Mahesa menggunakan potongan-potongan kayu untuk menyerang mereka. Orang-orang itu berlarian menghindar dari sambaran balok kayu yang berterbangan. Mahesa lalu mencari anaknya di antara tumpukan kayu. "Gala..!" panggilnya sambil terus membongkar tumpukan puing-puing kayu.

"Minggir semua!" terdengar suara keras di antara rintik hujan, "Dia sekarang bagianku!"

Mahesa berpaling dan terkejut ketika melihat siapa orang yang mengatakan itu. Dia adalah Ki Kalong Wesi. Meskipun diliputi kemarahan yang memuncak, tapi Mahesa tidak mau bertindak gegabah. Dia pun maklum bahwa semua muridnya sudah tewas. Padepokan yang baru seumur jagung itu telah sirna. Kini tinggal dia seorang diri menghadapi belasan orang lawan.

Mahesa menggunakan ujung pedang untuk mengungkit sebuah balok kayu yang cukup besar di depannya dan kemudian menendangnya ke arah Ki Kalong Wesi. Kakek Iblis itu meloncat, jungkir balik di udara dan kemudian menendang balik balok kayu itu. Sekuat tenaga. Mahesa meloncat ke samping untuk menghindar, balok kayu yang cukup berat itu meluncur deras menghantam tumpukan puing-puing kayu dan menimbulkan suara benturan sangat keras. Puing-puing kayu berhamburan seperti tersapu angin puting beliung.

'Lastri, Manggala.., tunggu, aku akan susul kalian!' batin Mahesa dan langsung melompat menerjang Ki Kalong Wesi dengan jurus pamungkas Pedang Akhirat. Meskipun ajian yang diwarisi dari Guru Lintang itu belum sempurna, tapi itu sudah sangat mematikan. Tapi sekali serangan itu luput, dia akan langsung terancam karena dalam keadaan menyerang, kedudukan pertahanannya sendiri pun menjadi lemah.

Terdengar bentakan-bentakan hebat dan suara nyaring beradunya pedang kedua orang itu. Kiranya mereka sudah mempergunakan seluruh tenaga untuk mengadu senjata. Akibatnya, kedua pedang itu rusak parah, dan ujungnya yang patah terlempar sampai belasan meter jauhnya.

Memang harus diakui bahwa tingkat pengalaman bertarung Ki Kalong Wesi masih jauh lebih unggul dibandingkan Mahesa, akan tetapi dalam hal ilmu silat, mereka berdua sebetulnya memiliki keistimewaan masing-masing dan boleh dikatakan setingkat.

Kini pertempuran dilanjutkan dengan dua pasang tangan kosong. Akan tetapi, sambaran angin pukulan kedua pihak membuktikan bahwa pertempuran tangan kosong itu tidak kalah hebatnya dibandingkan pertandingan dengan senjata.

Setiap pukulan yang dilancarkan adalah pukulan maut yang mengandung tenaga dalam tingkat tinggi. Angin pukulan membuat puing-puing kayu di sekelilingnya ikut berserakan.

Setelah puluhan jurus, tiba-tiba kedua orang itu berhenti dan tubuh mereka mundur ke belakang, berdiri saling pandang dengan muka mengerikan. Ki Kalong Wesi sudah tidak tersenyum lagi, mukanya yang bopeng itu basah oleh air hujan, mulutnya menyeringai. Muka Mahesa pucat, napasnya tersengal-sengal dan matanya berapi-api penuh kemarahan.

Ki Kalong Wesi memberi tanda kepada orang-orangnya dan melarang mereka mendekati Mahesa. Dalam hati ia mengagumi daya tahan murid Lintang Kejora yang sangat luar biasa itu. "Biarkan dia! Jangan lukai tubuhnya! Dia sudah terluka parah!" Itu adalah bentuk penghormatan yang bisa ia lakukan terhadap seorang pendekar sejati.

Mahesa masih berdiri tegak dengan kedua kaki dipentang. Tiba-tiba dia memegang ulu hatinya dan muntah-muntah. Gumpalan darah beberapa kali menyembur keluar dari mulutnya. Ia benar-benar kehabisan tenaga, lalu jatuh dan bertumpuh dengan kedua lutut. Dia berusaha menghapus darah di bibirnya dengan ujung lengan baju, lalu bergumam perlahan, "Lastri.., Manggala.., tunggulah aku!" Tubuhnya roboh, dan nyawanya telah melayang pergi.

Hujan mulai redah. Angin yang tadi berhembus dan bermain-main di antara dedaunan sekarang berhenti. Bunga-bunga kamboja berguguran. Sunyi senyap, seakan-akan seluruh alam semesta ikut menyatakan bela sungkawa atas kematian sepasang suami istri yang hidupnya dulu pernah menggemparkan dunia persilatan. Mahesa Wijaya, pendekar sejati itu telah pergi untuk selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun