Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (97): Pendekar Sejati

27 Oktober 2024   05:12 Diperbarui: 27 Oktober 2024   09:43 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terdengar suara seperti benda roboh. Mahesa menengok ke belakang, rupanya rumahnya telah dihancurkan. Ia tahu nasib anaknya yang pasti sudah tidak tertolong lagi, pergi ke langit bersama ibunya. Akan tetapi ia berlari menuju rumah dan mengejar orang-orang yang telah merobohkannya.

Mahesa menggunakan potongan-potongan kayu untuk menyerang mereka. Orang-orang itu berlarian menghindar dari sambaran balok kayu yang berterbangan. Mahesa lalu mencari anaknya di antara tumpukan kayu. "Gala..!" panggilnya sambil terus membongkar tumpukan puing-puing kayu.

"Minggir semua!" terdengar suara keras di antara rintik hujan, "Dia sekarang bagianku!"

Mahesa berpaling dan terkejut ketika melihat siapa orang yang mengatakan itu. Dia adalah Ki Kalong Wesi. Meskipun diliputi kemarahan yang memuncak, tapi Mahesa tidak mau bertindak gegabah. Dia pun maklum bahwa semua muridnya sudah tewas. Padepokan yang baru seumur jagung itu telah sirna. Kini tinggal dia seorang diri menghadapi belasan orang lawan.

Mahesa menggunakan ujung pedang untuk mengungkit sebuah balok kayu yang cukup besar di depannya dan kemudian menendangnya ke arah Ki Kalong Wesi. Kakek Iblis itu meloncat, jungkir balik di udara dan kemudian menendang balik balok kayu itu. Sekuat tenaga. Mahesa meloncat ke samping untuk menghindar, balok kayu yang cukup berat itu meluncur deras menghantam tumpukan puing-puing kayu dan menimbulkan suara benturan sangat keras. Puing-puing kayu berhamburan seperti tersapu angin puting beliung.

'Lastri, Manggala.., tunggu, aku akan susul kalian!' batin Mahesa dan langsung melompat menerjang Ki Kalong Wesi dengan jurus pamungkas Pedang Akhirat. Meskipun ajian yang diwarisi dari Guru Lintang itu belum sempurna, tapi itu sudah sangat mematikan. Tapi sekali serangan itu luput, dia akan langsung terancam karena dalam keadaan menyerang, kedudukan pertahanannya sendiri pun menjadi lemah.

Terdengar bentakan-bentakan hebat dan suara nyaring beradunya pedang kedua orang itu. Kiranya mereka sudah mempergunakan seluruh tenaga untuk mengadu senjata. Akibatnya, kedua pedang itu rusak parah, dan ujungnya yang patah terlempar sampai belasan meter jauhnya.

Memang harus diakui bahwa tingkat pengalaman bertarung Ki Kalong Wesi masih jauh lebih unggul dibandingkan Mahesa, akan tetapi dalam hal ilmu silat, mereka berdua sebetulnya memiliki keistimewaan masing-masing dan boleh dikatakan setingkat.

Kini pertempuran dilanjutkan dengan dua pasang tangan kosong. Akan tetapi, sambaran angin pukulan kedua pihak membuktikan bahwa pertempuran tangan kosong itu tidak kalah hebatnya dibandingkan pertandingan dengan senjata.

Setiap pukulan yang dilancarkan adalah pukulan maut yang mengandung tenaga dalam tingkat tinggi. Angin pukulan membuat puing-puing kayu di sekelilingnya ikut berserakan.

Setelah puluhan jurus, tiba-tiba kedua orang itu berhenti dan tubuh mereka mundur ke belakang, berdiri saling pandang dengan muka mengerikan. Ki Kalong Wesi sudah tidak tersenyum lagi, mukanya yang bopeng itu basah oleh air hujan, mulutnya menyeringai. Muka Mahesa pucat, napasnya tersengal-sengal dan matanya berapi-api penuh kemarahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun