Saat itu ada dua orang murid padepokan yang mencoba menghampiri dan menanyakan apa maksud kedatangan tamu-tamu asing itu, tapi tanpa ada jawaban, seorang meloncat turun dari kuda dan langsung menyerang. Kedua murid itu menjerit roboh dalam waktu sangat singkat.
Begitu mendengar suara keributan, sekitar tiga puluh murid yang memang tinggal di asrama padepokan segera berhamburan keluar untuk membantu teman mereka. Masing-masing membawa senjata seadanya. Pertempuran berlangsung sengit.
Tidak terasa butiran-butiran air mata bening menetes turun membasahi pipi Lastri. Jari-jemari tangannya saling meremas dengan jari-jemari tangan Mahesa. Di saat menghadapi ancaman maut itu, sepasang suami istri itu merasa betapa indahnya jalinan cinta kasih mengikat hati masing-masing. Hati mereka megatakan ada firasat buruk, lalu mereka menyerahkan nasib di tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Mereka berdua segera membuka pintu dan melompat keluar dengan pedang siap di tangan. Pedang di tangan kanan Mahesa mulai bergetar. "Bismillah, jangan khawatir, Lastri, aku pasti akan melindungimu. Mereka tidak akan mampu mengganggu sehelai rambutmu tanpa melangkahi mayatku!"
Saat itu murid-murid padepokan yang baru berlatih beberapa bulan sudah terdesak hebat. Sebagian telah tergeletak tak bernyawa. Mahesa dan Lastri segera menerjang di tengah pertempuran untuk menolong murid-murid mereka. Terbakar pula semangat murid-murid begitu menyaksikan kedua guru mereka mengamuk hebat.
Malam itu bulan tidak muncul karena tertutup mendung tebal. Alam seakan-akan memberi sinyal bahwa pada malam itu akan terjadi peristiwa hebat dan bumi akan bermandikan darah manusia. Tidak lama kemudian air hujan menyiram permukaan bumi, seperti ditumpahkan dari langit, disertai angin ribut dan petir.
Mereka yang bertempur di halaman mulai terengah-engah dan sukar bernapas karena serangan air hujan pada muka mereka. Air hujan itu seperti kerikil kecil menghantam wajah.
Mahesa dikeroyok oleh Pendekar Golok Maut, Ki Bajul Brantas dan Pendekar Cebol. Sedangkan Lastri dikeroyok oleh Warsito, Dewan dan Ki Wiryo. Pertempuran yang sangat tidak seimbang.
Pedang Mahesa, meskipun bukan senjata pusaka, namun bergerak liar dan telah mampu mengimbangi senjata-senjata lawannya. Dengan ilmu pedang akhirat, Mahesa ternyata berhasil meredam keganasan para pengeroyok dan sebaliknya mereka yang menjadi kaget setengah mati. Kemampuan silat Mahesa kini telah mengalami kemajuan sangat pesat.
Apa lagi pekiknya yang mengandung tenaga dalam, benar-benar menambah ampuhnya setiap serangan. Bunga api berpijar ketika senjata-senjata saling bertemu, di tengah siraman hujan dan kilat yang menyilaukan mata. Alangkah ngerinya hati Pendekar Golok Maut ketika tiba-tiba pedang di tangan Mahesa begitu bertemu, terus saja menyelinap dari samping dan langsung mengirim tusukan ke arah dadanya.
Pendekar Golok Maut secepatnya menjatuhkan diri ke kiri dan bergulingan. Ia terlambat bergerak, sehingga pundaknya terasa sakit menerima goresan pucuk pedang. Hanya goresan sedalam kuku. Dengan cepat pedang Mahesa kini berbelok menyabet perut Ki Bajul Brantas, Ki Bajul menangkis dan goloknya terlepas dari tangan. Tenaga Mahesa amat besar dan pada saat itu ia membacok kepala Pendekar Cebol yang tadi sudah dua kali terkena tendangan sehingga tenaganya kini berkurang. Ketika menghindar kepalanya selamat, tapi tanpa dapat dielakan lagi, lengannya terserempet pedang dan menciptakan luka panjang yang cukup nyeri.