Rumah berhalaman luas itu tampak sepi. Arum mengetuk pintu dan mengucapkan salam beberapa kali. Setelah waktu berlalu cukup lama, di saat Arum dan Lintang hendak pergi, terdengar suara alas kaki beradu dengan lantai berjalan mendekat ke arah pintu.
Ketika pintu terbuka Ajeng sangat terkejut. Ia lalu menubruk, memeluk dan tangisnya pecah di pundak Arum. "Maafkan aku!" ucapnya di sela isak tangis. "Maafkan aku!"
"Mbak, aku juga minta maaf!" balas Arum dan matanya sembab. "Aku turut berbelasungkawa atas perginya Ki Panji!"
Mereka duduk di ruang tamu, lalu Ajeng bercerita, bahwa sebelum Ki Panji ditemukan tewas terbakar, suaminya itu pernah cerita mengenai dua orang murid Padepokan Benteng Nusa yang membuat kekacauan dan akhirnya berkelahi dengan para keamanan Pesanggrahan Seribu Kembang. "Di malam naas itu, suamiku bilang akan menghadiri pertemuan untuk membicarakan persoalan itu!"
"Murid Benteng Nusa?" tanya Arum menegaskan.
"Betul. Kedua orang itu kabarnya mau menginap, tapi karena bukan suami istri, maka dilarang. Mereka marah dan kemudian membuat kekacauan. Kabarnya lagi, mereka adalah Mahesa dan Lastri!" pungkas Ajeng.
Sebelum pulang Arum berjanji akan mengusut tuntas kasus itu. "Ini menyangkut nama baik padepokan!" katanya tegas. "Jika mereka bersalah, aku sendiri yang akan menghukumnya!"
"Terima kasih, Dik Arum!"
"Sama-sama, Mbak!"
"Aku percaya bahwa padepokanmu sangat menjunjung adab, dan mereka berdua telah menghancurkannya!"
Tapi banyak pertanyaan yang timbul dalam benaknya. Mengapa Cak Saidi, seorang murid Benteng Nusantara, ikut dalam pertemuan dengan Ki Panji dan orang keamanan pesanggrahan? Kenapa pertemuan itu diadakan di tempat terpencil di tengah perkebunan pisang? Ada enam kerangka manusia yang ditemukan tewas terbakar, dari enam itu ada seorang yang identitasnya masih misterius. Kemudian, Kedua Pendekar Jeliteng yang menggantikan keamanan pesanggrahan akhirnya menyusul tewas juga. Sementara Laskar Rimbalah yang menjadi kambing hitam atas serangkaian pembunuhan itu.