Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (87): Belajar Beradab

13 Oktober 2024   05:45 Diperbarui: 13 Oktober 2024   06:05 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

"Aksi balasan Laskar Rimba kembali memakan korban," kata Ki Demang menahan murka. Ia baru saja menerima kabar bahwa Kedua Pendekar Jeliteng ditemukan tergeletak tak bernyawa di pinggiran hutan dekat pesanggrahan.

"Kita jadi semakin yakin," sahut Si Iblis Betina, "Mereka benar-benar menyatakan perang, dengan menebarkan kematian dan membuat teror di tengah masyarakat!"

"Dan tidak mungkin sisa-sisa Laskar Rimba mampu melakukan serangkaian pembantaian!" imbuh Ki Demang, "Pasti mereka dapat bantuan dari padepokan-padepokan kubu mereka!"

Di pelosok-pelosok desa terpencil, petugas-petugas penarik pajak yang dilakukan oleh murid-murid Padepokan Macan Abang, mulai sering mendapat serangan. Kelompok penyerang tidak dikenal itu sebetulnya ada yang dilakukan oleh Mahesa dan Lastri, tapi tidak jarang pula merupakan inisiatif dari warga desa sendiri.

Ki Demang meyakini segala kekacauan di wilayah kekuasaannya belakangan ini dilakukan oleh gerombolan Laskar Rimba, sebaliknya pendukung Laskar Rimba mengatakan bahwa semua masalah sebetulnya bersumber dari pihak Ki Demang. Di tengah serunya perdebatan siapa yang menjadi sumber masalah, Ki Demang mulai melakukan pengejaran kepada anggota Laskar Rimba bagaikan kesetanan. Tidak sedikit orang yang ditangkap dan dihukum di tempat lantaran dituduh anggota Laskar Rimba.

Cak Japa dulu pernah bersahabat dengan Ki Demang, sahabat lama dari masa lalu. Persahabatan mereka timbul tenggelam dalam beragam jenis kepentingan sosial. Namun, karena perbedaan wilayah kegiatan, juga perbedaan tajam dalam prinsip dan pandangan politik, mereka tidak selalu berada di satu titik-temu. Sampai akhirnya malah bertolak belakang di saat Kubu Ki Demang berpihak kepada Daha di bawah Dyah Ranawijaya, sementara Cak Japa berada di kubu berpihak kepada Majapahit, dan kini berpihak kepada Demak.

Perbedaan itu belum membuat mereka sampai bentrok, namun saling menjauh dan tidak lagi berkomunikasi. Malam itu, mereka berdua sengaja mengadakan pertemuan untuk membicarakan persoalan kekacauan yang belakangan terjadi di tengah masyarakat.

Tokoh-tokoh penting dari kedua kubu diundang untuk pembicaraan lebih detail dalam mencari solusi, demi terciptanya ketentraman bersama.

Pendekar Cebol jelas keberatan jika harus berdamai dengan Laskar Rimba. "Ah, Laskar Rimba itu julukan yang terlalu muluk untuk maling kecil seperti mereka. Barangkali ada anggotanya yang hadir di sini, kalian itu memiliki kemampuan apa sampai berani bermusuhan dengan Macan Abang? Bercerminlah terlebih dahulu, apakah maling kelas teri macam kalian ini cukup patut untuk menantang Macan Abang?"

"Tidak ada kata damai menghadapi bekas pasukan Majapahit itu!" Si Iblis Betina yang mengenakan jubah merah berteriak lantang,"Orang-orang biadab itu harus dibantai semuanya sampai habis! Titik!"

"Maaf, kenapa harus begitu, Nyai?" tanya Cak Japa

"Aku pernah diperkosa oleh belasan prajurit Majapahit, dan ditelantarkan begitu saja di tengah hutan. Sementara suamiku dibunuh dengan cara dicincang! Itulah sebabnya aku bertekad untuk membantai mereka sampai habis!"

Cak Japa menggeleng-gelengkan kepala. "Maaf, apakah yang memperkosa dan menyebabkan kematian suami Nyai itu adalah orang-orang anggota Laskar Rimba?"

"Memang bukan! Akan tetapi mereka sama-sama prajurit Majapahit!"

"Hm.., anda teracuni oleh nafsu dendam kesumat yang salah alamat. Apakah oleh karena anda diperkosa oleh oknum prajurit Majapahit, lantas anda harus memusuhi dan mambantai semua bekas prajurit Majapahit? Begitukah pemahaman anda? Kalau misalnya ada seorang murid Kera Putih yang bersalah, belum tentu semua anggota Padepokan Kera Putih juga bersalah, apalagi sampai guru padepokannya pun juga dianggap salah, lantas anda menganggap musuh yang harus dibantai?"

"Bicaramu ngaco!" potong Si Iblis Betina.

"Apa bedanya? Menyalahkan orang lain itu memang sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan. Semua orang bisa melakukannya. Cobalah tengok diri sendiri dan mencari kesalahan sendiri, itu baru seorang manusia sejati!"

***

Setelah menguasai isi kitab pusaka, tibalah waktunya kini Arum dan Lintang kembali ke padepokan. Mereka gembira melihat kondisi pembangunan puri yang hampir selesai, berdiri megah dan menjulang tinggi di antara bangunan-bangunan di sekitarnya. Akan tetapi ada kabar berita yang cukup mengagetkan pula. Salah satunya adalah mengenai orang-orang Ki Demang yang menyerbu Laskar Rimba, yang mengakibatkan tewasnya Ki Unggul Weling dan semua anggotanya. Kemudian bentrokan antara Macan Abang dengan Padepokan Kera Putih, serta meninggalnya Ki Lurah Panji, suami Roro Ajeng.

Hari itu juga Arum dan Lintang berkunjung ke rumah Ajeng. Mereka hendak mengucapkan turut belasungkawa. Sudah lama mereka tidak saling berkomunikasi. Hubungan mereka semakin memburuk manakala Ajeng dan padepokannya memisahkan diri dari Ikatan Pendekar Jawa dan bergabung dengan Persaudaraan Pendekar Pribumi, organisasi tandingan.

Rumah berhalaman luas itu tampak sepi. Arum mengetuk pintu dan mengucapkan salam beberapa kali. Setelah waktu berlalu cukup lama, di saat Arum dan Lintang hendak pergi, terdengar suara alas kaki beradu dengan lantai berjalan mendekat ke arah pintu.

Ketika pintu terbuka Ajeng sangat terkejut. Ia lalu menubruk, memeluk dan tangisnya pecah di pundak Arum. "Maafkan aku!" ucapnya di sela isak tangis. "Maafkan aku!"

"Mbak, aku juga minta maaf!" balas Arum dan matanya sembab. "Aku turut berbelasungkawa atas perginya Ki Panji!"

Mereka duduk di ruang tamu, lalu Ajeng bercerita, bahwa sebelum Ki Panji ditemukan tewas terbakar, suaminya itu pernah cerita mengenai dua orang murid Padepokan Benteng Nusa yang membuat kekacauan dan akhirnya berkelahi dengan para keamanan Pesanggrahan Seribu Kembang. "Di malam naas itu, suamiku bilang akan menghadiri pertemuan untuk membicarakan persoalan itu!"

"Murid Benteng Nusa?" tanya Arum menegaskan.

"Betul. Kedua orang itu kabarnya mau menginap, tapi karena bukan suami istri, maka dilarang. Mereka marah dan kemudian membuat kekacauan. Kabarnya lagi, mereka adalah Mahesa dan Lastri!" pungkas Ajeng.

Sebelum pulang Arum berjanji akan mengusut tuntas kasus itu. "Ini menyangkut nama baik padepokan!" katanya tegas. "Jika mereka bersalah, aku sendiri yang akan menghukumnya!"

"Terima kasih, Dik Arum!"

"Sama-sama, Mbak!"

"Aku percaya bahwa padepokanmu sangat menjunjung adab, dan mereka berdua telah menghancurkannya!"

Tapi banyak pertanyaan yang timbul dalam benaknya. Mengapa Cak Saidi, seorang murid Benteng Nusantara, ikut dalam pertemuan dengan Ki Panji dan orang keamanan pesanggrahan? Kenapa pertemuan itu diadakan di tempat terpencil di tengah perkebunan pisang? Ada enam kerangka manusia yang ditemukan tewas terbakar, dari enam itu ada seorang yang identitasnya masih misterius. Kemudian, Kedua Pendekar Jeliteng yang menggantikan keamanan pesanggrahan akhirnya menyusul tewas juga. Sementara Laskar Rimbalah yang menjadi kambing hitam atas serangkaian pembunuhan itu.

Setibanya di padepokan, Arum memanggil Mahesa dan Lastri, menggali informasi dari mereka berdua tentang terjadinya bentrokan dengan petugas keamanan pesanggrahan.

Lastri menceritakan semuanya tanpa ada sesuatupun yang disembunyikan. Dengan polosnya ia menceritakan juga bahwa dia yang membunuh orang-orang jahat itu, karena mereka merencanakan akan menyerang padepokan.

"Aku sudah terlanjur berjanji kepada Mbak Ajeng untuk menghukum pelaku pembunuh suaminya!" kata Arum berusaha tegar, "Bagaimana pun juga aku harus menepati janji itu!"

"Saya siap menerima hukuman, Guru Putri!" kata Lastri dengan sikap pasrah.

"Biar saya yang menggantikan untuk menerima hukuman itu!" sahut Mahesa, dengan berani ia berdiri melindungi Lastri.

"Bagus!" Arum segera melancarkan serangan, sebuah jurus yang disebut Pukulan Naga Pamungkas, yang biasa digunakan jika dalam keadaan sudah terdesak dan tidak ada jalan keluar lagi. Walau pun berbahaya sekali bagi yang diserang, namun tidak kurang berbahayanya bagi si penyerang itu sendiri, karena sekali dapat dielakkan atau ditangkis, kedudukannya menjadi lemah, sehingga bakal mudah dirobohkan lawan yang mampu menghindari pukulan tersebut.

Betapa kaget Arum ketika melihat muridnya itu sama sekali tidak berniat mengelak. Betapa pun marahnya, tapi perasaan sayang di hatinya masih lebih besar. Karena itu, melihat sikap Mahesa yang hanya memejamkan mata menanti kematian, Pendekar Naga Jelita itu menjadi tidak tega, perasaan marahnya lantas menguap lenyap.

Arum tadinya sengaja menyerang dengan pukulan itu karena ia sudah tahu bahwa Mahesa memiliki kepandaian untuk menghindarinya, sehingga ia memperhitungkan bahwa Mahesa pasti akan dapat selamat, atau bahkan akan berbalik menyerangnya. Jika itu yang terjadi, maka ia akan lebih tidak ragu-ragu lagi untuk menjatuhkan hukuman.

Mahesa rela menghadapi hukuman mati demi Ayu Lastri, orang yang paling dicintainya. Adakah cinta kasih dan pengorbanan yang lebih besar dari itu?

Arum mengalihkan serangan maut itu ke sebuah pot bunga yang berjarak lima meter darinya. Pot itu hancur berkeping-keping. Pinta Arum lirih tanpa memandang ke arah Mahesa dan Lastri. "Pergilah kalaian dari sini!"

Mereka berdua membungkuk, memberikan penghormatan. "Terima kasih, Guru!"

***

Senja di ufuk barat merambat pelan mendekati waktu maghrib, seperti biasa Cak Japa sedang menyampaikan wejangan-wejangannya. "Sungguh betapa hebat dan agungnya kedudukan orang yang mencintai Baginda Rasulullah. Dengan cinta itu maka semua makhluk akan mencintainya pula! Siapa yang mencintai Rasulullah maka ia akan mencintai sunahnya. Salah satunya adalah mencintai wewangian!"

Tampak di antara jamaah pengajian itu ada Lintang, yang menjadi salah seorang jamaah setia pengajian. Panjang lebar Cak Japa memaparkan bab wewangian yang membuat jamaah hanya manggut-manggut.

"Ada orang yang ziarah kubur, misalnya kuburan orang tuanya atau gurunya, dan ia membawa kemenyan atau dupa atau wewangian lainnya, kemudian membakarnya sehingga di sekeliling area kuburan itu menjadi harum, kira-kira bagimana hukumnya dalam pandangan Islam? Boleh atau tidak?"

"Boleh!" jawab sebagian orang ragu-ragu.

"Jika niatnya membakar kemenyan atau membawa minyak wangi itu tujuannya untuk 'Tathayyub', atau membuat tempat itu menjadi harum, maka hukumnya boleh. Rasulullah senang dengan wewangian, dengan sesuatu yang harum-harum, dimana saja, baik itu pada tubuh beliau, pada pakaian atau ruangan-ruangan, dan juga di tempat-tempat yang beliau kunjungi. Kalau memang situasinya bisa dibuat menjadi harum, maka beliau lakukan itu!"

Para jamaah merasa hatinya tenteram mendengar penjelasan itu. Karena di luar mulai ada pihak yang menuding hal itu sebagai perbuatan sesat.

"Nah, karena di Jawa minyak wangi itu langka dan mahal, maka orang-orang kemudian menggantinya dengan bunga-bunga yang berbau harum. Tentu saja ini hukumnya boleh, bahkan dianjurkan! Jadi kembali kepada niat! Belajar agama Islam itu bukan belajar menjadi orang Arab, melainkan belajar menjadi orang beradab!"

Asih Larasati membawa jajanan Klepon yang masih hangat ke langgar, disambut suka cita jamaah, khususnya anak-anak yang sedang bermain di pelataran sambil menunggu Mahgrib.

"Hore..! Klepon..! Klepon..!" teriak anak-anak riang. Makanan berbentuk bulat dengan ditaburi parutan kelapa itu adalah salah satu makanan favorit khas masyarakat Jawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun