"Tapi itu berita yang menyebar secara luas!"
"Berita tentang pembantaian yang dilakukan orang-orang Ki Demang terhadap Laskar Rimba menyebar luas di tengah masyarakat, dan tidak ada satu pun pihak berwajib yang menangkap pelakunya dan dijebloskan ke dalam penjara!" celetuk Mahesa ingin mematahkan argumen Cak Saidi.
"Orang-orang Ki Demang itu membasmi gerombolan perampok yang sering meresahkan rakyat, meskipun Laskar Rimba berdalih hanya merampok pejabat-pejabat korup dan kemudian membagikan sebagian hasil rampokannya itu kepada fakir miskin, tapi itu tetap kejahatan!"
"Cak Said, pada saat bapakku dipukuli dan aku diseret paksa, di manakah pihak yang berwajib? Pada saat aku disekap, mau diperkosa dan mau dibunuh, di manakah pihak yang berwajib?" tanya Lastri bernada protes, "Di mana mereka saat rakyat kecil tertindas?"
Cak Saidi diam membisu dan akhirnya pergi meninggalkan mereka berdua. "Terserah kalianlah!"
Mahesa menggenggam tangan Lastri seolah-olah mengatakan bahwa dirinya memahami dan mendukung sikap gadis itu. Lastri diam membisu untuk beberapa saat, tapi tiba-tiba teringat sesuatu yang membuat wajahnya tampak tegang. Ia teringat suara seseorang sewaktu di pesanggrahan yang mengatakan bahwa ia dan Mahesa adalah murid Benteng Nusa.
Lastri berpaling kepada Mahesa dan tangannya menggenggam tangan kekasihnya itu. Mahesa menatapnya sambil mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkan gadis itu.
"Cak Mahes ingat, waktu di pesanggraan ada orang yang berteriak kalau kita murid Benteng Nusantara?"
Mahesa mengorek-korek gudang ingatan di dalam memori otaknya. "Ah..iya, aku ingat sekarang. Itu suara Saidi kan? Hm.., rupanya dia penyusupnya! Sesuatu yang sulit dipercaya!"
"Ya! Tidak salah lagi!" Lastri tampak gembira mengetahui rahasia orang yang sok patuh dengan hukum itu. Cak Saidi ternyata hanyalah seorang pengkhianat yang selama ini mereka cari.
Mereka kemudian secara terpisah mengumpulkan informasi dari murid-murid padepokan mengenai Cak Saidi, sebagai bukti-bukti pendukung yang menguatkan dugaan mereka itu.