Oleh: Tri Handoyo
Cak Saidi, 'Si Tilik Sandi' Ki Demang yang disusupkan di Padepokan Benteng Nusa, menemui Lastri untuk menceritakan mengenai berita yang belakangan sedang ramai dibicarakan orang.
"Kamu sudah dengar orang-orang di luar bilang kalau ada murid perempuan padepokan kita yang membuat kerusuhan di Pesanggrahan Seribu Kembang, Lastri?"
"Buat kerusuhan?"
"Ya! Bahkan ada yang menyebutkan itu kamu!"
Mahesa yang kebetulan melihat Cak Saidi sedang berbicara serius berdua dengan Lastri, timbul sedikit rasa cemburu sehingga ia lalu menghampiri mereka.
Lastri tidak punya niat sedikitpun untuk mengingkarinya, "Iya benar! Tapi aku tidak buat kerusuhan, melainkan itu urusanku pribadi dengan seorang penjahat, yang kebetulan kerja di pesanggrahan!"
"Tapi mau tidak mau, ulah kamu itu sudah membuat nama padepokan kita tercemar!" omel Cak Saidi sambil berpaling kepada Mahesa yang sudah mengambil tempat duduk di sebelah kekasihnya.
"Cak Said, jika kamu tahu duduk perkaranya, kamu pasti tidak akan dengan gampangnya menyalahkan Lastri!" bela Mahesa.
"Memang apa masalahnya?"
"Itulah, saya tidak bisa menceritakannya kepada setiap orang!" sahut Lastri. "Yang jelas Ki Bejo itu seorang penjahat yang harus diberi pelajaran, dan saya adalah orang yang pernah menjadi korban kejahatannya. Bapakku juga meninggal gara-gara dia! Penjahat itu masih untung, padahal aku sebetulnya ingin sekali membunuhnya!"
"Walah..walah.., Lastri, apa kamu tidak pernah diajari orang tuamu?" potong Cak Saidi, "Kata-kata yang kau ucapkan itu sungguh tidak patut! Membunuh orang itu dosa besar, apa kau tidak takut ditangkap pihak berwajib dan dijebloskan ke dalam penjara? Kamu masih muda, alangkah malangnya nasibmu kalau sampai dipenjara!"
Lastri memandang Cak Saidi dengan heran, "Yang berwajib?"
"Iya. Membunuh itu jelas melanggar hukum! Nah, kamu takut kan?" Cak Saidi mengira bahwa gadis itu takut dipenjara, karena itu ia semakin semangat, "Makanya jangan sembarangan bertindak. Jangan main hakim sendiri, tapi laporkan saja kepada pihak yang berwajib?"
Lastri berpaling kepada Mahesa dan mereka berdua tampak berusaha menyembunyikan senyum, merasa geli mendengar itu. "Cak Said ini seperti tidak tahu saja!" kata Lastri dengan nada mengejek.
"Aku hanya kasihan sama kamu, dan sungguh mati aku tidak ingin melihatmu sampai masuk penjara!" Cak Saidi menampakan sikap seolah-olah sangat peduli.
"Atau pura-pura nggak tahu?" imbuh Mahesa dengan nada jengkel.
"Kita hidup itu harus tunduk kepada aturan. Harus taat kepada hukum. Jangan bertindak menuruti kemauan nafsu seperti binatang yang tidak mengenal aturan! Kalian itu termasuk para pimpinan di padepokan ini, jadi seharusnya bisa memberi suritauladan yang baik kepada murid-murid yang lain!"
"Sudah selesai dakwahmu?" sindir Mahesa.
"Kalian tahu? Di luar sana berkembang berita bahwa ada pasangan muda-mudi dari padepokan Benteng Nusa yang menginap di pesanggrahan dan kemudian membuat kerusuhan! Ini benar-benar menjatuhkan kehormatan nama padepokan!"
"Itu tidak benar!" bantah Lastri.
"Tapi itu berita yang menyebar secara luas!"
"Berita tentang pembantaian yang dilakukan orang-orang Ki Demang terhadap Laskar Rimba menyebar luas di tengah masyarakat, dan tidak ada satu pun pihak berwajib yang menangkap pelakunya dan dijebloskan ke dalam penjara!" celetuk Mahesa ingin mematahkan argumen Cak Saidi.
"Orang-orang Ki Demang itu membasmi gerombolan perampok yang sering meresahkan rakyat, meskipun Laskar Rimba berdalih hanya merampok pejabat-pejabat korup dan kemudian membagikan sebagian hasil rampokannya itu kepada fakir miskin, tapi itu tetap kejahatan!"
"Cak Said, pada saat bapakku dipukuli dan aku diseret paksa, di manakah pihak yang berwajib? Pada saat aku disekap, mau diperkosa dan mau dibunuh, di manakah pihak yang berwajib?" tanya Lastri bernada protes, "Di mana mereka saat rakyat kecil tertindas?"
Cak Saidi diam membisu dan akhirnya pergi meninggalkan mereka berdua. "Terserah kalianlah!"
Mahesa menggenggam tangan Lastri seolah-olah mengatakan bahwa dirinya memahami dan mendukung sikap gadis itu. Lastri diam membisu untuk beberapa saat, tapi tiba-tiba teringat sesuatu yang membuat wajahnya tampak tegang. Ia teringat suara seseorang sewaktu di pesanggrahan yang mengatakan bahwa ia dan Mahesa adalah murid Benteng Nusa.
Lastri berpaling kepada Mahesa dan tangannya menggenggam tangan kekasihnya itu. Mahesa menatapnya sambil mencoba mencari tahu apa yang sedang dipikirkan gadis itu.
"Cak Mahes ingat, waktu di pesanggraan ada orang yang berteriak kalau kita murid Benteng Nusantara?"
Mahesa mengorek-korek gudang ingatan di dalam memori otaknya. "Ah..iya, aku ingat sekarang. Itu suara Saidi kan? Hm.., rupanya dia penyusupnya! Sesuatu yang sulit dipercaya!"
"Ya! Tidak salah lagi!" Lastri tampak gembira mengetahui rahasia orang yang sok patuh dengan hukum itu. Cak Saidi ternyata hanyalah seorang pengkhianat yang selama ini mereka cari.
Mereka kemudian secara terpisah mengumpulkan informasi dari murid-murid padepokan mengenai Cak Saidi, sebagai bukti-bukti pendukung yang menguatkan dugaan mereka itu.
***
"Ajeng, aku mau keluar dulu!" pamit Ki Panji Segoro kepada istrinya. "Ada pertemuan penting!"
Roro Ajeng yang sejak isya' tadi sudah rebahan di ranjang terpaksa bangun dan mengantar suaminya sampai di teras depan. "Cak Panji pergi sama siapa?"
"Sendirian. Nanti ketemu sama Ki Geni di 'Kebon Rojo'! Aku sudah janjian sama dia!"
Ketika Ki Panji sudah menghilang di luar pagar, Ajeng masih ingin duduk-duduk di kursi taman. Ia ingin mengusir rasa kantuknya, tapi rasa berat di kepalanya belum berkurang. Pikirannya melayang entah ke mana, sampai ia lupa sudah berapa lama duduk di taman yang sepi itu, dan baru sadar ketika ada angin bertiup ke arahnya dan kemudian tercium bau wangi yang aneh.
Ia lalu menengok ke belakang, ke pintu rumahnya yang terbuka. 'Wah nyamuk-nyamuk masuk semua nanti!' pikirnya sambil bergegas berlari kecil masuk ke dalam rumah. Ia menutup pintu dan memasang kayu pelintang.
Belum sampai langkah kakinya memasuki kamar tidur, tiba-tiba ia mendengar pintu diketuk dari luar. "Siapa?"
Tidak ada jawaban, tapi terdengar pintu diketuk lagi beberapa kali.
"Iya siapa?" tanya Ajeng dengan suara lebih keras. Ia lalu membuka pintu, "Lho, kok balik lagi? Cak Panji gak jadi ada pertemuan!"
Ki Panji berdiri di depan pintu, tersenyum sambil menggelengkan kepala.
"Batal pertemuannya?"
Ki Panji menganggukan kepala dan berjalan memasuki rumah. Ia memeluk Ajeng dari belakang dan membawanya ke atas ranjang. Ajeng merasa aneh dengan sikap suaminya yang begitu bernafsu, tapi ia tidak sempat berpikir, terbius oleh aroma tubuh yang juga terasa aneh di penciumannya.
Entah kenapa Ajeng berusaha menatap mata suaminya, dan ia baru sadar bahwa lelaki itu bukan suaminya karena ketika tersenyum, gigi depannya lengkap. Padahal gigi depan Ki Panji rontok sewaktu bertarung melawan Laskar Rimba. Dengan cepat dan sekuat tenaga Ajeng mendorong tubuh lelaki itu, tapi kedua tangannya hanya mendorong angin. Sosok yang mirip suaminya itu menghilang di hadapannya.
Tubuh Ajeng menggigil dan bulu tengkuknya meremang. Ia baru ingat bahwa saat itu adalah malam Jum'at. Mulutnya segera membaca doa-doa.
***
Ayu Lastri mendapat informasi dari seorang murid bahwa Cak Saidi keluar dari padepokan dengan cara melompati pagar. Ia segera memakai penutup kepala dan segera mengejar. Ia melihat sosok seseorang berlari dengan cepat sekitar lima puluh langkah di depannya. 'Belum terlambat!' pikirnya. Ia tidak bisa menunggu Mahesa yang sedang mengikuti pengajian di langgar.
Sementara itu, Mahesa yang baru pulang dari langgar, tiba-tiba melihat berkelebatnya bayangan melompati pagar dan berlari dengan cepat, maka ia segera mengikutinya. Ia tidak tahu bahwa di belakangnya Lastri sedang mengikutinya.
Ternyata orang itu memasuki sebuah rumah tua terbuat dari gedek yang sudah rusak, terletak di tengah sebuah kebun pisang yang sunyi, jauh dari perkampungan penduduk. Mahesa menyelinap di antara pohon-pohon pisang dan mencari tempat sembunyi dan mengintai lewat sebuah jendela yang daun jendelanya terlepas.
Lastri heran ketika melihat ternyata orang yang dikejarnya itu bersembunyi dan tampak mengintai sebuah rumah. Ia kemudian mencari jalan memutar dan mengintai dari sisi lain.
Di dalam rumah yang kosong dan kotor, di situ tengah berkumpul tiga orang menduduki kursi bobrok. Dua batang obor menyala menerangi ruangan dan keadaan amat menyeramkan. Orang yang baru datang, ternyata Cak Saidi, disambut di depan pintu oleh orang yang juga tampak baru datang.
Mahesa dapat mengenali wajah mereka. Pertama-tama tentu saja Cak Saidi. Ia juga melihat Ki Panji dan Ki Geni serta dua orang laki-laki tinggi besar yang tidak asing lagi, yakni Juragan Bejo dan Ki Bogel. Kini Mahesa mencurahkan perhatian kepada orang yang menduduki kursi di pojok. Seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun, badannya kekar dengan mukanya nyaris kotak dan pada punggungnya tergantung sebuah pedang.
Dari percakapan mereka, Lastri menangkap bahwa orang asing itu adalah pembunuh bayaran yang disewa Ki Bejo untuk menghabisi nyawa seorang murid Padepokan Benteng Nusa.
"Dari keterangan Ki Panji," Orang yang bermuka kotak itu berkata kepada Ki Bejo, "Juragan hendak meminta saya untuk mengenyahkan seorang gadis, betulkah?"
"Iya betul sekali, karena dia telah berani mengancam keselamatan kami, dan siapa tahu dia itu sengaja ditugaskan memata-matai pesanggrahan, bukankah celaka kalau begitu? Kami rasa lebih baik turun tangan sebelum terlambat. Akan tetapi Ki Panji bilang Ki Demang menghendaki lain, jadi bagaimana ini selanjutnya?"
Ki Panji menimpali, "Ki Demang menginginkan, untuk saat ini, kita jangan sampai bentrok dengan padepokan Benteng Nusa! Ki Demang bilang nanti saatnya ketika kita sudah kuat. Mungkin itu alasannya, karena saat ini masih banyak pendekar di kubu kita yang kondisinya kurang sehat! Ini tidak menguntungkan. Benteng Nusa jangan dianggap enteng!"
Lastri cukup senang mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Ki Panji. Paling tidak itulah pengakuan jujur dari pihak musuh.
Cak Saidi menyahut, "Tapi sekarang di padepokan sedang tidak ada Arum dan Lintang, tidak ada yang tahu kapan mereka kembali, jadi sekarang kondisi padepokan bisa dibilang lemah!"
"Bagaimana dengan Mahesa?"
Ki Bogel menjawab, "Lagaknya memang seperti orang ahli silat saja. Akan tetapi aku sendiri sangsi apakah dia itu ada isinya, soalnya waktu di pesanggrahan dia cuma jadi penonton. Justru yang perempuan itu yang menurutku lebih berbahaya!"
"Kalau begitu, kenapa harus takut?" sela Si Pembunuh Bayaran berwajah kotak, "Masak orang-orang tua seperti kita mau saja dipermalukan bocah-bocah ingusan itu!"
"Kisanak sekalian, sekarang dengarlah rencanaku yang tadi sudah kuberi-tahukan kepada Ki Panji," kata Juragan Bejo, "Kita datangi padepokan itu dengan cara berpencaran. Kita mengaku sebagai tamu yang berkunjung untuk menemui pimpinan mereka! Jika pimpinan mereka benar-benar tidak ada di tempat, baru kita serbu dan kita rampok mereka! Di pesanggrahan ada lima belas orang mantan perampok yang siap aku terjunkan! Jadi kita buat seolah-olah ini murni perampokan, tidak ada sangkut-pautnya dengan kubu Ki Demang!"
"Mohon maaf Ki Bejo," sahut Cak Saidi ragu, "Apakah Ki Bejo sudah merasa yakin benar bahwa orang-orang Pesanggrahan bisa mengatasi Lastri dan Mahesa?"
Ki Bejo tertawa dan mukanya berubah menjadi ganas. "Siapa bilang hanya orang-orang saya? Pendekar ini, yang dijuluki Raja Garangan, yang aku jamin dan berani bertaruh potong kemaluan, akan mampu merobohkan dua bocah ingusan itu!"
Cak Saidi menarik nafas lega. "Pokoknya jangan sampai kita gagal dan dipermalukan lagi!"
Lastri sudah hampir memutuskan menerjang ke tempat itu, tapi di tempat lain, Mahesa sudah tidak bisa menahan diri untuk menggempur orang-orang jahat itu.
"Jangan harap kalian bisa menjalankan rencana busuk kalian!" teriak Mahesa dan dengan cepat meloncat di tengah-tengah mereka sambil mengirimkan pukulan dan tendangan.
Ki Panji dan Cak Saidi terlempar membentur dinding. Kemudian giliran Ki Bejo dan Cak Bogel yang terlempar bersama tempat duduknya. Tempat duduk yang terbuat dari bambu itu hancur berantakan. Sementara pendekar Garangan dan Ki Geni masih bisa menangkis dan mengelak.
"Bocah ingusan mau membakar matahari!" pekik Si Pendekar Garangan Muka Kotak. Ia melancarkan pukulan ke arah leher yang jarang dapat dihadapi lawan. "Mampus kau!"
Sementara Ki Geni mengirim tendangan geledek ke arah perut yang akan sanggup menumbangkan sebatang pohon besar. Pendeknya, dua orang itu hendak menghancurkan tubuh Mahesa dari atas dan bawah.
Ternyata serangan Si Garangan malah mengancam leher Ki Geni, sedangkan tendangan Ki Geni mengancam lambung Si Garangan. Mereka kaget dan berusaha menarik kembali serangan itu, akan tetapi terlambat, tetap saja masih saling menggebuk yang membuat keduanya jatuh terpelanting.
"Kalian yang mau mencoba membakar matahari!" balas Mahesa.
Empat orang lainnya yang melihat itu menjadi terbelalak, terheran-heran karena mereka tidak dapat melihat nyata gerakan pemuda itu, tahu-tahu dua orang andalan mereka sudah saling pukul sendiri.
Hanya Lastri yang kagum sekali juga kaget bukan main karena ternyata pemuda yang nekad itu adalah Mahesa. Ia dapat mengikuti gerakan Mahesa tadi, yang mengelak cepat sambil menginjak kaki kedua lawannya sehingga tanpa dapat dicegah lagi mereka saling gebuk sesama teman sendiri.
Berikutnya Lastri terjun ke arena membantu Mahesa, menyerbu orang-orang jahat itu. Tentu saja musuh-musuh itu menjadi kaget dan marah sekali. Sambil mengeluarkan teriakan, mereka saling menerjang dengan hebat.
Kemarahan Lastri yang terpendam sekian tahun kembali bangkit, sampai mati ia tidak akan mau menyerah walau pun dikeroyok empat orang, biar Juragan Bejo terbuka matanya bahwa jangan pernah meremehkan seorang gadis yang hatinya terluka. Ia bertekad harus bisa menghabisi nyawa Ki Bejo malam itu juga.
Ki Panji dan Cak Saidi adalah orang yang paling lemah di antara musuh-musuh itu, sehingga mereka yang paling dulu terkapar. Mereka merangkak minggir dan hendak mencari kesempatan untuk kabur.
Lastri menyerang terus, memukul dan menendang, mengutamakan untuk mengejar Ki Bejo, sampai lelaki itu tanpa malu-malu lagi setengah berlindung di belakang Ki Bogel. Lastri ingin membuat Ki Bejo menyesal seumur hidup.
Di sisi lain, Mahesa sudah berhasil mendesak lawan-lawannya. Ia berhasil merebut pedang Si Garangan dan membabat putus sebelah tangannya. Sementara Ki Geni telah roboh dengan usus teburai dari perutnya.
"Ampun..! Ampun..!" jerit Cak Saidi, "Kami menyerah kalah..!" Pandang matanya mulai berkunang-kunang, kepalanya pening dan tubuhnya terhuyung-huyung.
"Pengkhianat!" seru Lastri sambi menginjak muka Cak Saidi yang tergeletak di tanah, untuk pijakan tendangan telak yang sangat keras yang ia kirim ke arah kemaluan Ki Bejo, sehingga juragan itu menjerit keras memecah keheningan malam. Ki Bejo terlempar dan jatuh terduduk dengan mata melotot nyaris keluar dari tempatnya. Kedua tangannya mendekap selangkangannya dan darah segar mengucur deras dari celah-celah jarinya.
Lastri dan Mahesa melihat enam orang terkapar di berbagai tempat, mengerang kesakitan sambil meratap minta dikasihani. Mahesa menyuruh Lastri keluar lebih dulu, kemudian ia menendang dua obor agar jatuh di tumpukan bambu yang berantakan. Katanya dengan dingin, "Rasakan neraka dunia ini!"
"Ampun..! Tolong..!" jerit orang-orang jahat itu bersahutan. "Jangan.., jangan bunuh saya..! Ampun..!"
Mahesa melompat keluar dan berdiri di sebelah Lastri. Mereka saling berpandangan, seolah sepakat bahwa membakar rumah itu adalah ide yang sangat bagus. Mereka mengeraskan hati, menguatkan tekad, dan kemudian melemparkan dahan dan ranting-ranting ke dalam rumah untuk memperbesar api.
Membasmi kejahatan bukan melanggar hukum, tapi justru menegakan hukum. Mereka pikir tidak perlu menunggu pihak berwajib untuk melakukan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H