Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (78): Memancing Keributan

1 Oktober 2024   06:31 Diperbarui: 3 Oktober 2024   18:50 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Sang surya baru saja menyapa, menyibak kegelapan dengan cahayanya yang ramah. Puluhan pekerja dengan dibantu murid-murid perguruan sudah berkumpul dan mulai bekerja mengangkuti batu-batu untuk pembuatan pondasi. Arum dan Lintang tampak terlibat mengatur pekerjaan di lokasi yang akan dibangun Puri Naga Nusantara.

Sudah seminggu pekerjaan pembangunan itu dimulai. Tapi masih dalam tahap mengurug tanah, karena pondasi bangunan itu akan didirikan lebih tinggi dua meter dari tanah pekarangan, karena Lintang menghendaki bangunan baru itu nantinya memiliki tiga puluh tiga anak tangga.

Puri itu berada tepat di belakang bangunan utama, yang dulunya adalah ruang kerja para pandai besi. Tapi semenjak Mpu Naga Neraka wafat, tidak ada seorang pun yang mewarisi keahliannya, sehingga tempat itu tidak berfungsi. Menurut rencana, begitu puri itu selesai dibangun, bangunan induk yang sudah tua dan kuno itu akan dibongkar.

Lintang tidak segan-segan ikut turun tangan membantu mengangkat batu-batu, meskipun Arum berkali-kali melarangnya. "Hei, jadi nggak kita mencari kitab pusaka?" tanya Arum mencoba menarik perhatian suaminya, "Ayo?"

"Sebentar!" jawab Lintang, "Aku beri pengarahan orang-orang dulu!"

Arum tersenyum senang dan berkata riang sebelum pergi masuk ke dalam rumah. "Aku mau persiapkan perbekalan!"

Sekitar dua jam kemudian Arum keluar dan menghampiri suaminya, "Ayo, ini sudah siang!" Ia tampak tidak senang melihat suaminya itu banjir peluh dan tubuhnya kotor karena ikut mengangkut batu-batu besar yang berat.

"Sebentar, bidadariku!" bisik Lintang lalu memberi petunjuk seorang tukang batu.

"Dari tadi sebentar.., sebentar..!" Arum tampak jengkel sehingga ia kemudian kembali masuk ke dalam rumah. "Aku tunggu satu jam lagi!"

Satu jam kemudian, Arum keluar dan masih mendapati suaminya asyik membantu para kuli batu. Ia menghadang jalan suaminya dan berkata, "Ini sudah mau duhur!"

"Iya sebentar!" jawab Lintang sabar.

"Sebentar..sebentar..terus!" sahut Arum ketus. "Hei Pendekar Gembul, niat pergi nggak?"

"Iya, ini sudah selesai!" Lintang membersihkan tubuhnya dari tanah dan berlari ke dalam rumah. Ia tahu istrinya benar-benar marah karena sudah memanggilnya Gembul. "Aku mandi dulu ya!"

Selesai mandi Lintang melihat tas berisi perbekalan sudah siap di depan pintu kamar, tinggal mengangkat ke dokar. Arum berdiri di sebelah ranjang dan menatap ke dinding.

"Maaf, Tuan Putri!" kata Lintang sambil mencium pipi istrinya. "Apa ini?" Ia melihat selembar kain dengan tulisan tinta emas dipajang di dinding.

"Ini puisi buat pangeranku!" jawab Arum sambil tersenyum.

"Buatku?" Lintang sudah belajar membaca selama di Lumajang, tapi belum lancar benar. Ia malu jika harus mengeja di depan istrinya. "Apa bunyinya?"

"Kamu belum bisa baca?" balas Arum bertanya.

"Bisa sedikit-sedikit!"

Arum kemudian membacakan puisi itu.

Cintaku

Sesejuk embun pagi

Secerah cahya mentari

Semerdu kidung bidadari

Sewangi bunga surgawi

Sekokoh benteng naga

tak peduli kabut kelam menghadang

tak goyah semak belukar melintang

tak lekang badai jaman membungkam 

tak lapuk maut menerjang

tanpamu di sisiku

aku tak sudi lagi tinggal di dunia ini

Lintang sangat terharu mendengar itu dan ia langsung menciumi istrinya. "Cintaku tak bisa dilukiskan dengan kata-kata!" bisiknya di telinga Arum. Padahal faktanya ia memang tidak pandai menulis puisi.

Lintang sengaja meninggalkan sapu tangan yang terdapat tulisan puisi yang dulu diberikan Arum. Karena ia tahu bahwa puisi itu ditujukan Arum kepada suaminya yang hilang.

Memang cinta itu kadang aneh sekali. Bisa mendatangkan cemburu, dan bisa menimbulkan benci. Semua ini hanya dapat dirasakan oleh mereka yang menjadi korban panah asmara. Demikian hebat asmara sehingga mampu menundukkan seorang gadis seperti Arum yang terkenal keras hati, berubah menjadi demikian lembut menghadapi orang yang dicintainya.

Sementara itu, benar-benar bukan persoalan ringan bagi Lintang. Terutama sekali tekanan batin yang harus dideritanya ketika mendengarkan kekasihnya itu menyatakan kekagumannya kepada mantan suaminya. Apalagi saat ia menduga bahwa Arum menyatakan cinta kepadanya hanya lantaran wajahnya mirip Tulus.

Sering kali dia harus menahan perih di hatinya yang bagaikan ditusuk-tusuk duri. Kadang kala terbayang pula senyum di bibirnya dan cahaya harapan di matanya ketika Arum mengaku mencintainya. Kini, setelah mendengar puisi cinta itu dari mulut Arum, itu bagaikan telaga di padang pasir, menyegarkan dan menyuburkan bunga-bunga cinta yang layu di dalam hatinya.

Lintang kembali menciumi istrinya, dan Arum tak berdaya menolak. "Terima kasih duhai permata hatiku!"

***

Cukup lama Arum tertidur nyenyak, dan ketika terjaga, ia melihat Lintang sedang melakukan meditasi. Ia kembali memejamkan mata, tapi ia teringat betapa indahnya pemandangan daun-daun pohon di atas tadi, maka dibukanya kembali matanya.

Memang indah. Dedaunan kecil dengan bentuk hati sempurna ditimpa mentari pagi, bersusun-susun menimbulkan warna sinar kuning keemasan dan bayangan kehijauan. Bagai benang-benang sutera kuning emas sinar itu berselancar turun di antara celah-celah daun, kadang-kadang posisinya berubah karena dedaunan itu bergerak tertiup angin.

Mereka berdua sedang istirahat di tengah perjalanan menuju puncak Bukit Kedung Lintah. Karena kemarin sudah kemalaman, mereka memutuskan istirahat dan akan melanjutkan keesokan harinya.

"Kamu tidak tidur?" tanya Arum yang ketika itu berbaring di bawah pohon. Ia hampir tidak percaya orang bisa tidur sambil duduk.

"Aku sudah istirahat dengan meditasi!" jawab Lintang. Ia kemudian menjelaskan lebih dalam mengenai pernafasan dan meditasi.

Sekarang Arum baru mengerti bahwa peredaran darah erat sekali hubungannya dengan pernapasan dan bahwa pernapasan menjadi sumber dari tenaga dalam di tubuh manusia. Asyik sekali ia medengar penuturan Lintang dan mulai banyaklah hal-hal menarik yang ia ketahui, terutama pengertian tentang keadaan tubuh yang berhubungan dengan cara pengobatan mandiri.

"Kanda, kamu sebetulnya lebih suka dipanggil Lintang atau Gembul?"

"Aku lebih suka dipanggil Gembul!"

Tentu Arum merasa itu semacam sindiran, "Alasannya?"

Lintang menatap wajah ayu itu dan mulai mengemukakan alasannya, "Karena Gembul itu nama pemberian orang yang paling aku cintai di dunia ini!"

"Bukankah Lintang itu nama pemberian orang tuamu?"

"Memang benar, tapi aku tidak pernah mendengar mereka memanggilku dengan nama itu. Aku mendengar panggilan Lintang dari mulut orang-orang yang justru menyiksaku! Itulah kenapa aku lebih suka dipanggil Gembul! Gembul membuat aku merasa menjadi manusia baru!"

"Setiap aku ingat cerita masa kecilmu, aku selalu ingin menangis!"

"Sayang.., ada kebaikan dalam setiap penggalan takdir. Hidup itu berputar bagai roda, ada kalanya di atas, dan ada kalanya di bawah. Kebaikan saat di bawah, itu lebih banyak daripada saat di atas. Kebaikan di saat susah, itu lebih besar daripada di saat gembira. Kebaikan di saat gagal, lebih indah daripada di saat sukses. Sehingga banyak orang-orang besar, lahir dari kegagalan. Banyak orang-orang hebat, bangkit dari keterpurukan. Orang bijak bisa ambil pelajaran dari setiap penggalan takdir!"

***

Jauh dari tempat Lintang dan Arum yang damai, di tengah kota, terjadi keributan sengit. Di antara kedua pendekar itu sebetulnya tidak ada permusuhan pribadi, akan tetapi seperti sudah sering kali terjadi, apa bila dua orang pendekar bertempur, maka mereka tidak akan mau saling mengalah. Mereka sudah bertempur sekitar satu jam, bahkan telah mengerahkan segala kemampuan dan kepandaian masing-masing sampai seratus jurus lebih.

Betapa pun juga, ilmu kepandaian Ki Tejo bersumber pada ilmu asli Pencak Silat Kera Putih, maka dasarnya amat kuat. Dia menggunakan jurus-jurus tongkat andalannya yang ganas. Sebaliknya, Guk Seger Si Pendekar Cebol mendapatkan kepandaiannya dari kumpulan bermacam ilmu silat. Baginya tidak penting apakah ilmu silat itu murni atau pun campuran, semua dipelajari sejak muda dan dari kumpulan ilmu-ilmu silat itulah ia kemudian menciptakan sendiri jurus-jurus andalannya.

Mungkin karena kalah murni sumbernya, maka setelah lewat seratus jurus, perlahan-lahan Pendekar Cebol mulai terdesak oleh gempuran tongkat Ki Tejo yang gesit. Terpaksa Pendekar Cebol harus mengakui bahwa ilmu tongkat itu memang benar-benar hebat.

Serbuan berantai tongkat itu akhirnya mengenai sasaran. Sodokan keras bertenaga dalam dua kali mengenai perut dan sekali mengenai dada. Sakitnya bukan kepalang, rasanya seperti ribuan jarum menusuk-nusuk isi perut dan dadanya. Pendekar Cebol adalah seorang yang sudah biasa bertempur dan terluka baginya bukanlah apa-apa. Akan tetapi rasa nyeri yang sekarang menyerangnya membuat ia menjerit kesakitan, dan berjingkrak-jingkrak sambil memegangi dada, sebelum akhirnya roboh dalam keadaan tak sadarkan diri. Perkelahian itu sebetulnya dipicu oleh persoalan remeh-temeh, yakni perang mulut antara kedua murid perguruan tersebut.

Di hari yang sedikit mendung dan berangin, seorang murid Perguruan Kera Putih yang tinggi kurus tengah menyapu pekarangan. Betapa tidak? Pekarangan itu dipenuhi sampah daun kering pohon mangga yang berserakan ke mana-mana. Dua orang murid yang lain tengah merapikan rumput-rumput liar yang mengganggu pemandangan.

Tiba-tiba sekelompok remaja berusia antara lima belas tahun sampai delapan belas tahun, melintasi tempat itu. Jumlah mereka dua puluh orang dan kelihatannya mereka dari Perguruan Macan Abang, karena ada beberapa orang yang memakai seragam perguruan tersebut.

Seorang dari mereka berhenti, lalu berteriak kepada tiga orang yang berada di dalam pekarangan, "Cak, minta mangganya!"

Orang yang menyapu menoleh dan dengan muka sabar lalu menjawab, "Ini belum waktunya dipetik. Nanti saja kalau sudah waktunya panen ya!"

Seperti telah direncanakan sebelumnya, para remaja itu segera mengolok-olok. "Monyet putih pelit!"

"Dasar Kera!" timpal yang lain dan disambut gelak tawa teman-temannya.

Tiga orang murid Perguruan Kera Putih itu diam saja, tidak menghiraukan dan terus melanjutkan pekerjaannya.

Murid-murid Macan Abang semakin berani, malah ada yang bertingkah-laku menirukan gerakan monyet dan disambut sindiran-sindiran oleh yang lain.

"Waktu malam hari kelelawar nyuri mangga kok kalian diamkan saja, kalau kami yang minta baik-baik kok malah tidak diberi. Dasar monyet pelit!" terdengar makian salah seorang dari luar pagar.

Ketiga orang murid Kerah Putih berdiri. Si pemegang sapu berkerut dahinya ketika ia memandang kumpulan murid Macan Abang itu. "Kelelawar itu binatang, oleh karena itu mereka tidak mengenal aturan. Beda dengan manusia, yang harus mengerti aturan. Apakah kalian mau jika derajad kalian disamakan dengan kelelawar?"

"Ahh.., banyak alasan! Ngomong saja kalau monyet memang pelit!" Seorang pemuda yang paling berani itu memaki sambil tertawa mengejek.

Menerima makian dan ejekan itu memang merupakan ujian berat. Tidak banyak orang yang mampu mempertahankan kesabarannya. Tiga orang murid Kera Putih kembali berdiri dan membelalakkan kedua mata mereka.

Si Penyapu berkata, "Hm.., rupanya kalian memang tidak ada bedanya dengan binatang! Kalian perlu dihajar supaya tidak bermental binatang!"

Secepat kilat seorang murid Macan Abang meloncat maju, tangannya mencengkeram leher baju Si Penyapu dan sekali tarik pemuda tinggi kurus itu sudah berada di dalam kekuasaannya. Murid Macan Abang lalu melepaskan leher baju dan mendorongnya, akan tetapi dorongan ini cukup membuat Si Penyapu terlempar dan terguling.

Maka pecahlah perkelahian antara dua perguruan itu. Murid-murid Kera Putih yang mendengar ada keributan segera berhamburan keluar. Dua puluh orang melawan sekitar lima puluh orang. Murid-murid Macan Abang terdesak dan mereka mulai berlari berhamburan.

Pada waktu itu, sesosok bayangan berkelebat dari belakang dibarengi bentakan, "Monyet-monyet dungu, berani sekali kalian memukuli teman-temanku?"

Murid-murid Kera Putih kaget sekali. Karena tiba-tiba bayangan yang ternyata adalah Guk Seger Si Pendekar Cebol sudah memukul roboh enam orang. Melihat bantuan datang, murid-murid Macan Abang kembali berani menyerang. Pendekar Cebol terus menghajar dan berhasil membuat murid-murid Kerah Putih terdesak dan masuk ke pekarangan padepokan.

"Siapa kalian berani membuat kegaduhan di sini?" tiba-tiba terdengar teguran halus penuh kharisma. Nampak seorang pendekar tua memegang tongkat dan mengayunkan ke barisan di depan. Delapam orang anak langsung terlempar dan jatuh bergulingan.

Orang tua yang merupakan ketua Perguruan Kera Putih itu terheran-heran melihat seorang pemuda yang berada di antara barisan depan tadi yang tidak bergeming oleh sambaran tongkatnya, malah sekarang berdiri tegak di hadapannya dengan mata memendam amarah.

"Ki Tejo! Berani kau memukul kami, murid-murid Macan Abang? Tidak malukah orang tua seperti kamu ini memukul anak-anak kecil?"

"Ah.., rupanya kau Si Pendekar Cebol. Bukankah kalian yang mendahului menyerang murid-murid kami!" balas Ki Tejo berhati-hati sambil tersenyum sabar.

"Mana mungkin kami yang hanya dua puluh orang menyerang kalian? Kami hanya membela diri!"

"Baiklah, jika dalam hal ini murid kami yang salah, aku minta maaf. Sekarang kalian pergilah!"

"Enak saja kau bicara! Tidak bisa!" Pendekar Cebol membantah. "Kau yang mengatakan bahwa pendekar-pendekar yang keluar dari perkumpulan Arum adalah pendekar kampung kelas anjing?"

"Siapa yang bilang begitu?" Merah muka Ki Tejo menahan amarah.

"Akui saja kalau kamu memang jantan!"

"Hemm.., sebetulnya mau kalian apa?"

"Aku harus balas memukulmu!"

"Baiklah kalau begitu! Memang inikan tujuan kalian! Sengaja memancing keributan! Baiklah, silakan kau pukul aku kalau bisa!"

Begitulah akhirnya berujung kedua pendekar dari kedua perguruan itu bertempur mati-matian. Setelah Pendekar Cebol pingsan, murid-murid Macan Abang menggotong tubuh itu dan membawahnya pulang ke padepokan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun