Satu jam kemudian, Arum keluar dan masih mendapati suaminya asyik membantu para kuli batu. Ia menghadang jalan suaminya dan berkata, "Ini sudah mau duhur!"
"Iya sebentar!" jawab Lintang sabar.
"Sebentar..sebentar..terus!" sahut Arum ketus. "Hei Pendekar Gembul, niat pergi nggak?"
"Iya, ini sudah selesai!" Lintang membersihkan tubuhnya dari tanah dan berlari ke dalam rumah. Ia tahu istrinya benar-benar marah karena sudah memanggilnya Gembul. "Aku mandi dulu ya!"
Selesai mandi Lintang melihat tas berisi perbekalan sudah siap di depan pintu kamar, tinggal mengangkat ke dokar. Arum berdiri di sebelah ranjang dan menatap ke dinding.
"Maaf, Tuan Putri!" kata Lintang sambil mencium pipi istrinya. "Apa ini?" Ia melihat selembar kain dengan tulisan tinta emas dipajang di dinding.
"Ini puisi buat pangeranku!" jawab Arum sambil tersenyum.
"Buatku?" Lintang sudah belajar membaca selama di Lumajang, tapi belum lancar benar. Ia malu jika harus mengeja di depan istrinya. "Apa bunyinya?"
"Kamu belum bisa baca?" balas Arum bertanya.
"Bisa sedikit-sedikit!"
Arum kemudian membacakan puisi itu.