Oleh: Tri Handoyo
Sang surya baru saja menyapa, menyibak kegelapan dengan cahayanya yang ramah. Puluhan pekerja dengan dibantu murid-murid perguruan sudah berkumpul dan mulai bekerja mengangkuti batu-batu untuk pembuatan pondasi. Arum dan Lintang tampak terlibat mengatur pekerjaan di lokasi yang akan dibangun Puri Naga Nusantara.
Sudah seminggu pekerjaan pembangunan itu dimulai. Tapi masih dalam tahap mengurug tanah, karena pondasi bangunan itu akan didirikan lebih tinggi dua meter dari tanah pekarangan, karena Lintang menghendaki bangunan baru itu nantinya memiliki tiga puluh tiga anak tangga.
Puri itu berada tepat di belakang bangunan utama, yang dulunya adalah ruang kerja para pandai besi. Tapi semenjak Mpu Naga Neraka wafat, tidak ada seorang pun yang mewarisi keahliannya, sehingga tempat itu tidak berfungsi. Menurut rencana, begitu puri itu selesai dibangun, bangunan induk yang sudah tua dan kuno itu akan dibongkar.
Lintang tidak segan-segan ikut turun tangan membantu mengangkat batu-batu, meskipun Arum berkali-kali melarangnya. "Hei, jadi nggak kita mencari kitab pusaka?" tanya Arum mencoba menarik perhatian suaminya, "Ayo?"
"Sebentar!" jawab Lintang, "Aku beri pengarahan orang-orang dulu!"
Arum tersenyum senang dan berkata riang sebelum pergi masuk ke dalam rumah. "Aku mau persiapkan perbekalan!"
Sekitar dua jam kemudian Arum keluar dan menghampiri suaminya, "Ayo, ini sudah siang!" Ia tampak tidak senang melihat suaminya itu banjir peluh dan tubuhnya kotor karena ikut mengangkut batu-batu besar yang berat.
"Sebentar, bidadariku!" bisik Lintang lalu memberi petunjuk seorang tukang batu.
"Dari tadi sebentar.., sebentar..!" Arum tampak jengkel sehingga ia kemudian kembali masuk ke dalam rumah. "Aku tunggu satu jam lagi!"