Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (78): Memancing Keributan

1 Oktober 2024   06:31 Diperbarui: 1 Oktober 2024   08:05 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

aku tak sudi lagi tinggal di dunia ini

Lintang sangat terharu mendengar itu dan ia langsung menciumi istrinya. "Cintaku tak bisa dilukiskan dengan kata-kata!" bisiknya di telinga Arum. Padahal faktanya ia memang tidak pandai menulis puisi.

Lintang sengaja meninggalkan sapu tangan yang terdapat tulisan puisi yang dulu diberikan Arum. Karena ia tahu bahwa puisi itu ditujukan Arum kepada suaminya yang hilang.

Memang cinta itu kadang aneh sekali. Bisa mendatangkan cemburu, dan bisa menimbulkan benci. Semua ini hanya dapat dirasakan oleh mereka yang menjadi korban panah asmara. Demikian hebat asmara sehingga mampu menundukkan seorang gadis seperti Arum yang terkenal keras hati, berubah menjadi demikian lembut menghadapi orang yang dicintainya.

Sementara itu, benar-benar bukan persoalan ringan bagi Lintang. Terutama sekali tekanan batin yang harus dideritanya ketika mendengarkan kekasihnya itu menyatakan kekagumannya kepada mantan suaminya. Apalagi saat ia menduga bahwa Arum menyatakan cinta kepadanya hanya lantaran wajahnya mirip Tulus.

Sering kali dia harus menahan perih di hatinya yang bagaikan ditusuk-tusuk duri. Kadang kala terbayang pula senyum di bibirnya dan cahaya harapan di matanya ketika Arum mengaku mencintainya. Kini, setelah mendengar puisi cinta itu dari mulut Arum, itu bagaikan telaga di padang pasir, menyegarkan dan menyuburkan bunga-bunga cinta yang layu di dalam hatinya.

Lintang kembali menciumi istrinya, dan Arum tak berdaya menolak. "Terima kasih duhai permata hatiku!"

***

Cukup lama Arum tertidur nyenyak, dan ketika terjaga, ia melihat Lintang sedang melakukan meditasi. Ia kembali memejamkan mata, tapi ia teringat betapa indahnya pemandangan daun-daun pohon di atas tadi, maka dibukanya kembali matanya.

Memang indah. Dedaunan kecil dengan bentuk hati sempurna ditimpa mentari pagi, bersusun-susun menimbulkan warna sinar kuning keemasan dan bayangan kehijauan. Bagai benang-benang sutera kuning emas sinar itu berselancar turun di antara celah-celah daun, kadang-kadang posisinya berubah karena dedaunan itu bergerak tertiup angin.

Mereka berdua sedang istirahat di tengah perjalanan menuju puncak Bukit Kedung Lintah. Karena kemarin sudah kemalaman, mereka memutuskan istirahat dan akan melanjutkan keesokan harinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun