***
Jauh dari tempat Lintang dan Arum yang damai, di tengah kota, terjadi keributan sengit. Di antara kedua pendekar itu sebetulnya tidak ada permusuhan pribadi, akan tetapi seperti sudah sering kali terjadi, apa bila dua orang pendekar bertempur, maka mereka tidak akan mau saling mengalah. Mereka sudah bertempur sekitar satu jam, bahkan telah mengerahkan segala kemampuan dan kepandaian masing-masing sampai seratus jurus lebih.
Betapa pun juga, ilmu kepandaian Ki Tejo bersumber pada ilmu asli Pencak Silat Kera Putih, maka dasarnya amat kuat. Dia menggunakan jurus-jurus tongkat andalannya yang ganas. Sebaliknya, Guk Seger Si Pendekar Cebol mendapatkan kepandaiannya dari kumpulan bermacam ilmu silat. Baginya tidak penting apakah ilmu silat itu murni atau pun campuran, semua dipelajari sejak muda dan dari kumpulan ilmu-ilmu silat itulah ia kemudian menciptakan sendiri jurus-jurus andalannya.
Mungkin karena kalah murni sumbernya, maka setelah lewat seratus jurus, perlahan-lahan Pendekar Cebol mulai terdesak oleh gempuran tongkat Ki Tejo yang gesit. Terpaksa Pendekar Cebol harus mengakui bahwa ilmu tongkat itu memang benar-benar hebat.
Serbuan berantai tongkat itu akhirnya mengenai sasaran. Sodokan keras bertenaga dalam dua kali mengenai perut dan sekali mengenai dada. Sakitnya bukan kepalang, rasanya seperti ribuan jarum menusuk-nusuk isi perut dan dadanya. Pendekar Cebol adalah seorang yang sudah biasa bertempur dan terluka baginya bukanlah apa-apa. Akan tetapi rasa nyeri yang sekarang menyerangnya membuat ia menjerit kesakitan, dan berjingkrak-jingkrak sambil memegangi dada, sebelum akhirnya roboh dalam keadaan tak sadarkan diri. Perkelahian itu sebetulnya dipicu oleh persoalan remeh-temeh, yakni perang mulut antara kedua murid perguruan tersebut.
Di hari yang sedikit mendung dan berangin, seorang murid Perguruan Kera Putih yang tinggi kurus tengah menyapu pekarangan. Betapa tidak? Pekarangan itu dipenuhi sampah daun kering pohon mangga yang berserakan ke mana-mana. Dua orang murid yang lain tengah merapikan rumput-rumput liar yang mengganggu pemandangan.
Tiba-tiba sekelompok remaja berusia antara lima belas tahun sampai delapan belas tahun, melintasi tempat itu. Jumlah mereka dua puluh orang dan kelihatannya mereka dari Perguruan Macan Abang, karena ada beberapa orang yang memakai seragam perguruan tersebut.
Seorang dari mereka berhenti, lalu berteriak kepada tiga orang yang berada di dalam pekarangan, "Cak, minta mangganya!"
Orang yang menyapu menoleh dan dengan muka sabar lalu menjawab, "Ini belum waktunya dipetik. Nanti saja kalau sudah waktunya panen ya!"
Seperti telah direncanakan sebelumnya, para remaja itu segera mengolok-olok. "Monyet putih pelit!"
"Dasar Kera!" timpal yang lain dan disambut gelak tawa teman-temannya.