Oleh: Tri Handoyo
Jombang, sebagai wilayah yang tidak pernah kekurangan air, menjadikannya sebagai tempat favorit bagi banyak pendatang. Maka banyak bermunculan padepokan, perguruan silat dan perkumpulan-perkumpulan spiritual, yang tumbuh subur bagaikan jamur di musim hujan.
Untuk menghindari potensi bentrokan yang biasa terjadi antar murid perguruan, Perguruan Benteng Nusa dan Jari Suci mengundang dari perwakilan masing-masing perguruan. Mereka akhirnya sepakat untuk menjalin persatuan dan kerja sama dengan cara mendirikan organisasi. Organisasi itu diberi nama Ikatan Pendekar Jawa.
Arum Naga terpilih secara mufakat sebagai ketua Ikatan Pendekar Jawa. Meskipun saat itu ada Pendekar Kebo Kicak, tapi ia dianggap tidak layak menjadi ketua karena sedang mengalami lupa ingatan.
Selendang hijau yang indah dari kain sutera tergantung di lehernya, menghiasi baju seragam Benteng Naga yang berwarna hijau daun. Rambutnya yang panjang hitam digelung rapi, dihiasi setangkai bunga Mawar. Nampak cantik jelita dengan pipi dan bibirnya yang merah merona. Dia yang dijuluki Pendekar Jelita itu, adalah pendekar termuda, yang baru menginjak usia sembilan belas tahun.
Di luar organisasi itu, masih ada pendekar-pendekar hebat yang sengaja tidak mau bergabung, antara lain Mbah Broto Brantas, Pendekar Bongkok Klothok, dan tentu dari kalangan dunia hitam seperti Pendekar Kalong Wesi, Si Iblis Betina, serta Pendekar Tapak Petir.
Untuk mengisi jabatan-jabatan selanjutnya akan diadakan sabung dari masing-masing perwakilan yang diajukan oleh setiap perguruan. Ada beberapa aturan yang telah disepakati, misalnya dalam sabung nanti jika ada yang terluka atau bahkan sampai meninggal dunia, maka tidak boleh ada balas dendam.
***
"Nanti dulu, Pendekar Cebol. Ingat bahwa calon tidak boleh maju dua kali. Untuk merebut posisi wakil ketua, biarkan kami Pendekar Jeliteng maju lebih dulu!" kata Ki Paimo dari kubu Macan Abang.
Pendekar Cebol menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa begitu, Ki! Mohon maaaf, anda sudah terlalu tua, maka berilah kesempatan kepada saya yang lebih muda!"
"Justru karena tua, kami unggul di pengalaman bertarung!" bantah Ki Paidi.
Di tempat kubu lain, "Aku yang akan maju lebih dahulu," berkata Bajul Brantas mewakili Perguruan Golok Maut.
"Tidak bisa!" sahut Sumanto, Si Pendekar Golok Terbang, "Aku maju lebih dulu dan habis perkara!" Kata-katanya ini disusul oleh gerakan goloknya yang berputar amat cepat dan menimbulkan hempasan angin yang mengaung.
Di kubu lain lagi. "Bagus, sekarang kesempatan emas bagi kita untuk mengangkat nama perguruan!" seru Ki Birawa, ketua Perguruan Rajawali Sakti. Ia mencalonkan dirinya seraya menyambar sebuah toya kuningan yang sejak tadi dibawa oleh seorang muridnya.
Dari Perguruan Jari Suci, Kang Wahid mengusulkan Roro Ajeng Si Pendekar Bidadari. "Saya mempertaruhkan masa depan perguruan kita kepadamu, Ajeng. Jangan kecewakan harapan besar kami ini!"
***
Ki Sumanto tidak menjadi gentar, bahkan sambil mengeluarkan suara ejekan dari hidungnya, dengan golok mautnya dia maju menyerang kedua orang Pendekar Jeliteng yang maju bersama dan sudah berdiri di tengah arena. Sebentar saja tokoh-tokoh itu sudah saling menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaga dan mempergunakan semua kepandaian mereka yang amat tinggi. Dalam waktu tidak lama kedua Pendekar Jeliteng berhasil mendesak Ki Sumanto.
"Pengecut tua bangka, ini pertarungan yang tidak adil!" Tiba-tiba terdengar teriakan lantang dari Bajul Brantas dan tahu-tahu langsung melompat membela kawannya, Si Pendekar Golok Terbang.
"Hai, apa-apaan ini!" bentak Guk Seger Pendekar Cebol yang langsung maju menyerang Banjul Brantas.
"Hentikan semua!" teriak Cak Japa yang ditunjuk sebagai penasehat. "Bajul Brantas dan Pendekar Cebol, kalian telah melanggar aturan! Mundur! Dan kalau sampai terjadi lagi saya terpaksa akan mengusir kalian keluar dari gedung ini!"
"Pak Kyai, mohon maaf!" seru Pendekar Cebol membela diri, "Saya maju gara-gara Bajul Brantas yang duluan mengacaukan pertandingan!"
Banjul Brantas tidak terima disalahkan, "Mohon maaf, Pak Kyai, tapi ini pertandingan yang tidak adil, masak dua orang mengeroyok satu orang!"
"Tadi sudah dijelaskan di awal!" jawab Cak Japa, "Pendekar Jeliteng memang selalu tampil berdua, dan tadi Ki Sumanto sudah menerima aturan ini! Siapa pun yang tidak bisa disiplin mengikuti aturan, ia tidak pantas disebut pendekar, dan ia sebaiknya keluar saja dari organisasi ini!"
Semua yang ada di tempat itu terdiam. Bajul Brantas dan Pendekar Cebol sambil bersungut-sungut kembali ke tempat duduk mereka.
"Silakan pertandingan dilanjutkan!" teriak Cak Japa penuh wibawa.
Kedua Pendekar Jeliteng dengan cepat menyabetkan pisau-pisau Pancanaka mereka dan kembali mengurung Pendekar Golok Terbang. Ki Sumanto hanya terus mengelak karena dia maklum akan kelihaian kedua lawannya itu.
Sebuah sabetan pisau cukup panjang dan dalam berhasil melukai punggung Pendekar Golok Maut. Kedua Pendekar Jeliteng semakin bernafsu dan tidak mau memberi kesempatan sedikitpun kepada lawannya. Kembali sebuah sabetan mengenai lengan.
Ki Sumanto meloncat mundur sambil mengaku kalah, "Saya menyerah!"
Kini giliran berikutnya, Ki Birawa dari Perguruan Rajawali Sakti menghadapi Ki Entong dari perguruan Kapak Langit.
"Baik, ingin kukenal sampai di mana kehebatan Ki Entong!" berseru Ki Birawa seraya meloncat menyerang. Dua orang jago itu sudah bertanding dengan hebat. Suara beradunya senjata berdenting-denting nyaring disusul bunga api berpijar-pijar, gerakan keduanya tangkas dan amat kuat. Di antara desiran angin yang menghempas berkelebat toya dan kapak mencari nyawa.
Mereka merupakan pimpinan dari kedua perguruan silat, karena itu pertempuran mereka menimbulkan kegemparan yang hebat. Terdengar pekik kesakitan bercampur teriak kemarahan diselingi suara senjata beradu. Pertempuran yang seru itu ditonton oleh semua orang dengan hati berdebar, pertempuran seimbang yang tidak mungkin berakhir dan hanya dapat diputuskan dengan menggeletaknya salah seorang korban.
Ki Birawa yang unggul di kecepatan gerak-geriknya mulai mendesak lawan. Toyanya diputar demikian cepat sehingga lenyap dari pandangan mata dan bagi lawan yang telah tinggi ilmunya, toya itu bisa diduga dari mana datangnya serangan hanya dengan mendengar suara anginnya saja.
Tiba-tiba Ki Entong terpelanting dan berguling beberapa kali dengan diiringi jerit kesakitan, sebelum akhirnya muntah darah. Kapaknya terlepas dari genggaman.
Ki Birawa terus menerjang dan siap memukulkan toya kuningan untuk menghancurkan kepala lawan. Tiba-tiba terdengar suara keras dan toya itu berbalik arah. Semua terkejut melihat bahwa ketua mereka, Arum Naga, berdiri menangkis gempuran toya tadi dengan pedang pusakanya.
"Kita tidak boleh menyerang lawan yang sudah tidak berdaya!" kata Arum. "Kita mewakili semua orang gagah di dunia persilatan, yang katanya memiliki kedudukan batin lebih tinggi dibandingkan orang biasa, jadi jangan sampai hanya untuk sebuah jabatan saja kita harus mengadu nyawa?"
Ki Birawa yang merasakan getaran hebat ketika toyanya tertangkis, dan tubuhnya terpental mundur, mengakui bahwa tenaga dalam wanita belia itu masih lebih tinggi darinya. Ia lalu memberi hormat dan kembali ke tempat duduknya.
Sekarang saatnya Roro Ajeng tampil di tengah arena. Akan tetapi untuk beberapa saat belum ada yang siap maju menjadi lawannya. Masih ada Pendekar Tinju Seribu dari Perguruan Tinju Dewa, Ki Marijan dari Perguruan Lebah Hitam, Ki Tejo dari Perguruan Kera Putih, serta beberapa perguruan yang bergabung karena ingin menjalin silaturahmi tapi mereka sebetulnya bukan perguruan silat, seperti Perguruan Kebatinan Sejati dan Perguruan Sedulur Kejawen.
Mereka mungkin agak segan karena menghadapi lawan seorang gadis, akan tetapi mereka salah kalau mengira akan dapat dengan mudah mengalahkan gadis itu. Ilmu pedang Ajeng sudah mencapai tingkat yang mendekati sempurna, maka daya tahan dan gempurannya akan sangat luar biasa.
Sesungguhnya yang terjadi adalah mereka merasa gentar. Mereka tadi melihat bagaimana toya Ki Birawa yang hebat bisa terpental oleh tangkisan pedang Arum yang bahkan berusia lebih muda daripada Ajeng.
Pertarungan itu bukan hanya sekedar memperebutkan jabatan, akan tetapi juga mempertaruhkan nama perguruan mereka. Itulah sebabnya mereka harus memikirkan masak-masak sebelum menanggung malu besar.
Ki Tejo akhirnya melangkah maju memberi hormat kepada Ajeng. "Sudi kiranya Pendekar Bidadari memberi pelajaran kepada saya," kata pendekar dari Perguruan Lebah Hitam itu merendah. Lebah Hitam adalah lebah besar berwarna hitam yang orang jawa menyebutnya 'Tawon Ndas'. Lelaki yang berusia sekitar lima puluh tahun itu menggunakan senjata seperti ruyung tapi gagang tongkatnya agak panjang dibanding ruyung dan kedua ujungnya runcing seperti sengat lebah. Senjata itu bisa berfungsi sebagai ruyung, toya dan sekaligus tombak.
Roro Ajeng membalas memberi hormat dan pedangnya diarahkan lurus ke depan, "Silakan Ki Tejo!"
Tanpa membuang waktu lama lagi, senjata di tangan Ki Tejo menyerang, mengancam semua bagian tubuh. Akan tetapi pedang Ajeng yang tangkas bergerak itu selalu dapat menangkis, kemudian kalau ada saat tepat membalas dengan tusukan atau sabetan. Tapi tidak lama kemudian posisi mereka berbalik. Dilihat sekelebatan, Ajeng seperti menari-nari mengelilingi Ki Tejo yang berdiri teguh sambil menggeser-geser kuda-kudanya untuk mengikuti pergerakan Ajeng yang sangat lincah.
Senjata Ki Tejo merupakan benteng yang sukar sekali ditembus. Ia tidak pernah mengelak, melainkan dengan mahirnya memainkan senjatanya untuk menangkis dan berbarengan mengirim serangan balik. Ajeng memanfaatkan ilmu meringankan tubuhnya untuk menyerang dari berbagai arah. Ia menyabet dari kiri, lalu tiba-tiba sudah membacok dari depan dan kemudian menebas dari kanan, bertubi-tubi dengan ganasnya.
Jika pertarungan itu berlangsung lama, maka Ajeng justru bisa dipastikan akan kalah karena ia lebih banyak menguras energi. Kini ia menukik dari atas dan pedangnya menusuk deras ke arah ubun-ubun.
Tanpa menduga datangnya serangan itu, kini Ki Tejo menjatuhkan tubuhnya sambil memutar ruyung melindungi kepala. Rupanya Ajeng menduga bahwa senjata Ki Tejo itu tidak akan efektif untuk menerima serangan dari atas, dan dugaannya ternyata tidak meleset. Ajeng menggempur tubuh lawannya yang berbaring di lantai. Ia melihat cela dan ujung pedangnya menghujani lawan. Tenaga pantulan tusukan ujung pedangnya itu mampu ia manfaatkan untuk menopang tubuhnya tetap melayang beberapa saat di udara.
Ki Tejo terus memutar senjatanya tanpa ada kesempatan untuk bangun. Tiba-tiba Ajeng melompat dan menginjakan kakinya di pinggir arena, sementara senjata Ki Tejo masih terus berputar, meskipun semakin lambat dan akhirnya berhenti.
Semua yang menyaksikan merasa tegang dan penuh kekaguman. Mereka baru tahu bahwa Ki Tejo telah berdarah. Ia mengalami tusukan pedang di pundak, pinggang, dan bahu kanannya.
Beberapa murid Perguruan Lebah Hitam lantas berlari untuk menolong guru mereka. Setelah dibantu berdiri, Ki Tejo menatap Ajeng sambil memberi hormat. "Selamat!" ucapnya sambil meringis menahan pedih.
"Terima kasih! Maafkan saya Ki Tejo!" sahut Ajeng seraya membungkukan badan membalas memberi hormat.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Anda luar biasa anak muda!"
Orang-orang memberi tepuk tangan atas kemenangan Ajeng dan salut atas kebesaran jiwa ksatria Ki Tejo.
"Sayangnya pedang itu kurang tenaga!" celetuk Ki Birawa, "Hanya cepat saja, jadi tentu kurang berbahaya seperti kalau dimainkan dengan tenaga dalam!" Ia berlagak sebagai orang yang seolah-olah lebih pandai, yang menilai permainan orang yang tingkat ilmunya lebih rendah darinya.
Kini tinggal giliran Pendekar Tinju Seribu menghadapi Ki Marijan dari Perguruan Kera Putih. Ki Marijan yang berwajah ramah bersenjata tongkat kayu berwarna hitam, yang salah satu ujungnya berkepala besi. Bajunya tanpa lengan dan celananya hanya sebatas lutut. Secara keseluruhan penampilannya sangat sederhana. Berbeda dengan Pendekar Tinju Seribu, yang pakainnya terbuat dari bahan yang bagus dan terkesan mewah. Pendekar yang berkumis tebal itu tidak menggunakan senjata.
Begitu selesai memberi hormat, pertempuran segera berlangsung sengit. Ki Marijan dengan tongkatnya selalu mampu menjaga jarak, sehingga Pendekar Tinju Seribu yang mengandalkan kecepatan pukulannya itu mengalami kesulitan. Ketika sodokan tongkat Ki Marijan ke arah dada berpapasan dengan tinju tangan kiri lawannya, ujung tongkat itu pecah.
Pendekar berkumis tebal itu kemudian menangkap tongkat itu dan sekali remas saja tongkat kayu itu hancur. Berbarengan dengan itu ia mengirim tinjunya mendesak lawannya yang terus menangkis dengan tongkatnya yang kini menjadi lebih pendek.
Ki Marijan menangkis dan mengelak sambil mundur dan Pendekar Tinju Seribu yang mengamuk terus mengejar. Sepertinya kekalahan Ki Marijan sudah di depan mata.
Di saat genting itu tiba-tiba orang-orang dikagetkan dengan suara derap kaki kuda yang berpacu cepat menuju ke arah pertemuan itu. Tidak berselang lama kemudian berkelebat bayangan lima orang yang terbang dari punggung kuda yang masih dalam keadaan berlari, dan mendaratkan kaki mereka di tengah arena. Mereka seolah-olah sengaja ingin memamerkan kehebatan ilmu mereka di depan para pendekar, dan sekaligus ingin menakut-nakuti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H