Tiba-tiba Ki Entong terpelanting dan berguling beberapa kali dengan diiringi jerit kesakitan, sebelum akhirnya muntah darah. Kapaknya terlepas dari genggaman.
Ki Birawa terus menerjang dan siap memukulkan toya kuningan untuk menghancurkan kepala lawan. Tiba-tiba terdengar suara keras dan toya itu berbalik arah. Semua terkejut melihat bahwa ketua mereka, Arum Naga, berdiri menangkis gempuran toya tadi dengan pedang pusakanya.
"Kita tidak boleh menyerang lawan yang sudah tidak berdaya!" kata Arum. "Kita mewakili semua orang gagah di dunia persilatan, yang katanya memiliki kedudukan batin lebih tinggi dibandingkan orang biasa, jadi jangan sampai hanya untuk sebuah jabatan saja kita harus mengadu nyawa?"
Ki Birawa yang merasakan getaran hebat ketika toyanya tertangkis, dan tubuhnya terpental mundur, mengakui bahwa tenaga dalam wanita belia itu masih lebih tinggi darinya. Ia lalu memberi hormat dan kembali ke tempat duduknya.
Sekarang saatnya Roro Ajeng tampil di tengah arena. Akan tetapi untuk beberapa saat belum ada yang siap maju menjadi lawannya. Masih ada Pendekar Tinju Seribu dari Perguruan Tinju Dewa, Ki Marijan dari Perguruan Lebah Hitam, Ki Tejo dari Perguruan Kera Putih, serta beberapa perguruan yang bergabung karena ingin menjalin silaturahmi tapi mereka sebetulnya bukan perguruan silat, seperti Perguruan Kebatinan Sejati dan Perguruan Sedulur Kejawen.
Mereka mungkin agak segan karena menghadapi lawan seorang gadis, akan tetapi mereka salah kalau mengira akan dapat dengan mudah mengalahkan gadis itu. Ilmu pedang Ajeng sudah mencapai tingkat yang mendekati sempurna, maka daya tahan dan gempurannya akan sangat luar biasa.
Sesungguhnya yang terjadi adalah mereka merasa gentar. Mereka tadi melihat bagaimana toya Ki Birawa yang hebat bisa terpental oleh tangkisan pedang Arum yang bahkan berusia lebih muda daripada Ajeng.
Pertarungan itu bukan hanya sekedar memperebutkan jabatan, akan tetapi juga mempertaruhkan nama perguruan mereka. Itulah sebabnya mereka harus memikirkan masak-masak sebelum menanggung malu besar.
Ki Tejo akhirnya melangkah maju memberi hormat kepada Ajeng. "Sudi kiranya Pendekar Bidadari memberi pelajaran kepada saya," kata pendekar dari Perguruan Lebah Hitam itu merendah. Lebah Hitam adalah lebah besar berwarna hitam yang orang jawa menyebutnya 'Tawon Ndas'. Lelaki yang berusia sekitar lima puluh tahun itu menggunakan senjata seperti ruyung tapi gagang tongkatnya agak panjang dibanding ruyung dan kedua ujungnya runcing seperti sengat lebah. Senjata itu bisa berfungsi sebagai ruyung, toya dan sekaligus tombak.
Roro Ajeng membalas memberi hormat dan pedangnya diarahkan lurus ke depan, "Silakan Ki Tejo!"
Tanpa membuang waktu lama lagi, senjata di tangan Ki Tejo menyerang, mengancam semua bagian tubuh. Akan tetapi pedang Ajeng yang tangkas bergerak itu selalu dapat menangkis, kemudian kalau ada saat tepat membalas dengan tusukan atau sabetan. Tapi tidak lama kemudian posisi mereka berbalik. Dilihat sekelebatan, Ajeng seperti menari-nari mengelilingi Ki Tejo yang berdiri teguh sambil menggeser-geser kuda-kudanya untuk mengikuti pergerakan Ajeng yang sangat lincah.