Banjul Brantas tidak terima disalahkan, "Mohon maaf, Pak Kyai, tapi ini pertandingan yang tidak adil, masak dua orang mengeroyok satu orang!"
"Tadi sudah dijelaskan di awal!" jawab Cak Japa, "Pendekar Jeliteng memang selalu tampil berdua, dan tadi Ki Sumanto sudah menerima aturan ini! Siapa pun yang tidak bisa disiplin mengikuti aturan, ia tidak pantas disebut pendekar, dan ia sebaiknya keluar saja dari organisasi ini!"
Semua yang ada di tempat itu terdiam. Bajul Brantas dan Pendekar Cebol sambil bersungut-sungut kembali ke tempat duduk mereka.
"Silakan pertandingan dilanjutkan!" teriak Cak Japa penuh wibawa.
Kedua Pendekar Jeliteng dengan cepat menyabetkan pisau-pisau Pancanaka mereka dan kembali mengurung Pendekar Golok Terbang. Ki Sumanto hanya terus mengelak karena dia maklum akan kelihaian kedua lawannya itu.
Sebuah sabetan pisau cukup panjang dan dalam berhasil melukai punggung Pendekar Golok Maut. Kedua Pendekar Jeliteng semakin bernafsu dan tidak mau memberi kesempatan sedikitpun kepada lawannya. Kembali sebuah sabetan mengenai lengan.
Ki Sumanto meloncat mundur sambil mengaku kalah, "Saya menyerah!"
Kini giliran berikutnya, Ki Birawa dari Perguruan Rajawali Sakti menghadapi Ki Entong dari perguruan Kapak Langit.
"Baik, ingin kukenal sampai di mana kehebatan Ki Entong!" berseru Ki Birawa seraya meloncat menyerang. Dua orang jago itu sudah bertanding dengan hebat. Suara beradunya senjata berdenting-denting nyaring disusul bunga api berpijar-pijar, gerakan keduanya tangkas dan amat kuat. Di antara desiran angin yang menghempas berkelebat toya dan kapak mencari nyawa.
Mereka merupakan pimpinan dari kedua perguruan silat, karena itu pertempuran mereka menimbulkan kegemparan yang hebat. Terdengar pekik kesakitan bercampur teriak kemarahan diselingi suara senjata beradu. Pertempuran yang seru itu ditonton oleh semua orang dengan hati berdebar, pertempuran seimbang yang tidak mungkin berakhir dan hanya dapat diputuskan dengan menggeletaknya salah seorang korban.
Ki Birawa yang unggul di kecepatan gerak-geriknya mulai mendesak lawan. Toyanya diputar demikian cepat sehingga lenyap dari pandangan mata dan bagi lawan yang telah tinggi ilmunya, toya itu bisa diduga dari mana datangnya serangan hanya dengan mendengar suara anginnya saja.