"Kalau tidak bisa, Mbah?"
"Ki sanak tahu, Ajeng itu punya benteng yang kuat! Jadi biayanya akan sangat mahal!"
Topo rasanya ingin sekali menghajar dukun tua renta kurang ajar itu, tapi ia masih sangat membutuhkan tenaganya. "Berapapun biayanya, pasti akan saya bayar Mbah! Asalkan saya bisa mendapatkan gadis itu!" Ia kemudian mengeluarkan kantong, menumpahkan beberapa keping koin emas di depan Mbah Myang Mimbe.
Dukun itu tersenyum sambil berkata, "Pasti bisa, jangan kuatir!" sesumbarnya diiringi kentut yang terdengar gembret.
***
Ki Demang Wiryo menceritakan kepada Topo tentang harta karun yang dibawa lari oleh Ki Kelabang Karang. Ia kemudian meminta Topo agar mencari tahu hal itu kepada Tulus.
"Coba kamu tanyakan kepada kakak tirimu itu," kata Ki Demang mencoba menghasut Topo, "Sebetulnya harta itu milik negara dan harus dikembalikan kepada negara, tapi paling tidak bujuklah Tulus agar dia mau bekerja sama dengan cara membagi harta itu dengan kita!"
Setelah itu Ki Demang Wiryo dan Topo menemui Tulus di Padepokan Benteng Naga.
"Uang dari mana kok anda bisa membeli banyak sawah?" tanya Ki Demang, "Kemudian membentuk Tim Tujuh yang menyalurkan dana kepada masyarakat?"
Tulus akhirnya memilih untuk berterus terang. "Saya mendapat amanah dari almarhum Mpu Naga, yang mendapat wasiat dari almarhum Ki Kelabang Karang, agar menggunakan harta karun itu untuk membantu masyarakat! Semua hasil dari sawah itu juga dimanfaatkan untuk membantu masyarakat, bukan untuk saya atau untuk padepokan!"
"Ha..ha..ha..! enak saja bicara mu, Cak!" sela Topo memotong penjelasan Tulus, "Setelah berhasil memperoleh harta karun, mau dikuasai sendiri! Siapa yang bisa percaya bahwa semua itu untuk membantu masyarakat, dan kamu tidak tertarik sedikitpun untuk mengambilnya?"