"Apa kamu sudah punya pacar?"
"Belum! Mir, sampai saat ini aku tidak ingin memikirkan soal cinta. Aku rasa saat ini aku merasa nyaman tanpa pacar. Aku masih ingin sendiri!"
"Apa kamu masih memikirkan Tulus?"
"Jujur, kadang iya!"
Kalimat tetarkhir dari Ajeng itu masih terngiang dan membuat Topo merasa tidak nyaman sampai detik itu. Kalimat itu mirip duri-duri kecil yang meyeruak menusuk hati. Cukup mendatangkan sakit. 'Apa ini perasaan cemburu, atau perasaan ditolak?'
Memang tidak semua manusia mendapatkan cinta sejati dengan begitu sederhana. Kadang harus ada perjuangan keras untuk mendapatkannya, dengan luka dan derita. Ia sebetulnya telah lama mencintai gadis itu, mencintai dalam kebisuan yang terpendam.
Topo baru tahu kalau Ajeng pernah mencintai Tulus, yang tak lain adalah kakak tirinya. Entah kenapa, ada perasaan tidak rela ada orang lain yang dicintai oleh gadis pujaannya itu. Ia merasa sangat marah, dan ingin rasanya merebut hati gadis itu dari cengkraman Tulus. Apalagi Tulus sudah menjadi suami orang.
Topo beberapa kali mencoba berhubungan dengan wanita lain. Banyak wanita cantik di Pesanggrahan Seribu Kembang, tapi hanya sekedar untuk pelarian saja. Ternyata cintanya kepada Ajeng tak bisa tergantikan.
Ia sempat berpikir untuk kembali minta tolong kepada Mbah Myang Mimbe. Kadang ia berpikir harus belajar untuk tidak mengharapkan gadis itu lagi, menyerah, mencoba untuk bisa bernafas bebas tanpanya, dan belajar membuka hati untuk yang lain.
Ketika malam semakin larut, ia akhirnya memutuskan untuk pergi menemui Mbah Myang Mimbe, untuk meminta bantuan memelet Ajeng untuk kedua kalinya.
Ia sampai di sebuah dusun kecil yang terpencil, tetapi mempunyai tanah yang sangat subur. Kehidupan penduduk di situ hanya bercocok tanam. Rumah Mbah Myang Mimbe cukup terkenal, karena selain rumah itu paling besar di antara semua rumah warga dan memiliki pekarangan luas, juga siapakah yang tidak mengenal Si Raja Pelet itu.