Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (43), Pernikahan Terpaksa

9 Agustus 2024   05:10 Diperbarui: 9 Agustus 2024   15:48 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Hidup dikejar-kejar oleh hasrat. Hasrat yang selalu menuntut untuk dipenuhi, dan ketika telah terpenuhi, lantas masih menanti seribu satu hal lain di depan yang akan menjadi tuntutan berikutnya. Maka, berbahagialah dia yang bisa menundukan hasratnya. Bukan berarti menolak segala kesenangan hawa nafsu, melainkan tidak dikuasai oleh hawa nafsu, sehingga hidupnya tidak dikejar-kejar oleh tuntutan dan kepuasan semu, maka terwujudlah hidup yang hakiki.

Tangkai bunga melati terayun-ayun ke kanan-kiri, menari-nari karena hembusan angin. Dua orang yang duduk di dekat taman sebuah candi tampak diam membisu, seperti sepasang arca Dwarapala di depan gapura. Sementara pandangan mata mereka melayang jauh ke ufuk barat, di mana Sang Surya tengah merangkak pulang.

Pikiran kedua orang itu, Tulus dan Ajeng, sedang mencari-cari jawaban pertanyaan hati mereka masing-masing, melayang-layang di awan seperti mencari-cari sesuatu yang hilang. Mereka sudah lama berdiam diri seperti itu, dibuai oleh lamunan.

"Cak...," panggil Ajeng lirih, namun karena sejak tadi mereka tidak mendengar suara apa-apa, maka suara panggilan itu seolah-olah halilintar yang memecah keheningan.

Tulus menoleh, seolah-olah baru tersadar dari mimpi. "Hmm.., iya?"

"Cak Tulus mengajak ke sini katanya mau bicara sesuatu, tapi kok malah melamun saja?"

"Hm.., aku terpesona akan keindahan senja ini, Dik!"

"Iya, aku pun terpesona oleh bangunan candi yang unik ini, tapi apakah aku akan seperti arca Bolobuto yang kerjanya hanya diam di tempat sunyi ini?"

"Kuajak kamu ke sini agar kita bisa bicara dengan tenang dari hati ke hati! Sebab hanya sesuatu yang timbul dari hati itulah yang murni!"

Ajeng tertawa. "Wah, Cak! Bicara sampean kadang-kadang seperti seorang penyair saja! Soal apa sih yang akan dibicarakan sampai-sampai butuh sesuatu yang murni segala?"

"Dik, mari kita bicara tentang masa depan kita! Tentang cinta kita."

Wajah gadis jelita itu agak kemerahan dan kepalanya tertunduk. "Aihh..., terus?"

Tulus menghela napas panjang. "Perlu aku jelaskan bahwa kita mungkin tidak akan bisa bersatu!"

"Apa?"

"Iya, sepertinya cinta kita harus berakhir sampai di sini!"

"Hm.., kenapa?" jelas ada nada kesedihan dari pertanyaan itu. Jantungnya berdetak kencang.

"Guruku menghendaki agar aku menikah dengan putrinya. Selama ini aku banyak berhutang budi kepada keluarga Mpu Naga, jadi.."

"Jadi kamu menyetujuinya?"

"Aku tidak bisa menolaknya! Maafkan aku, Dik!"

"Terus..bagaimana dengan janji sampean yang akan setia mencintai aku!"

"Aku masih tetap mencintaimu. Sampai kapan pun. Tapi cinta kita tidak mungkin bisa bersatu. Sekali lagi aku minta maaf!"

"Selama ini aku pikir sampean itu pendekar yang gagah perkasa, yang teguh memegang prinsip dan setia pada janji! Aku pikir sampean itu beda dengan lelaki lain.., ternyata...!" Ajeng tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Butiran-butiran bening menggenang di pelupuk matanya.

Tulus mencoba meraih tangan gadis itu, tapi tangannya mendarat di tempat kosong. "Aku pun merasa sangat sedih, Dik!"

"Omong kosong!"

Tulus menghela nafas panjang, "Maafkan aku!"

"Aku tahu kalau Arum memang lebih cantik dan lebih kaya dari aku kan?"

Tulus hanya diam membisu.

"Baiklah..! Menikahlah dengan dia! Selamat tinggal!" Ajeng bergegas meninggalkan tempat itu.

Dengan sekali lompat Tulus sudah berdiri di depan Ajeng.

"Apa lagi?" tanya gadis ayu itu dengan tatapan mata mengandung air.

"Dik, bukankah aku pernah cerita bahwa Mpu Naga adalah ayah angkatku, dan sudah aku anggap seperti ayahku sendiri. Jadi ini bukan soal siapa yang lebih cantik atau yang lebih kaya! Aku mohon kamu bisa memahami ini. Aku juga nggak ingin menyakiti kamu!"

"Baiklah, lupakan aku, dan berbahagialah dengan pilihan ayah angkatmu!"

"Dik..!"

"Aku nggak mau mempersulit mu, Cak, jadi lupakan aku. Aku baik-baik saja. Selamat tinggal!" ucap Ajeng lebih tegas dan melangkah pergi. Rasa sesak menggumpal di dada, dan saat itu juga air matanya benar-benar tumpah. Mana ada orang yang kehilangan kekasih yang dicintainya dan masih merasa baik-baik saja.

***

Pagi itu ada peristiwa berbeda terjadi di Langgar Al Akbar, yakni ada ijab kabul pernikahan. Namun, prosesi yang seharusnya diwarnai dengan kebahagiaan itu malah sebaliknya dipenuhi isak tangis kesedihan. Pada saat proses ijab kabul berlangsung, pengantin wanita, tak kuasa membendung air matanya. Arum Naga yang baru menginjak usia tujuh belas tahun itu teringat mendiang bundanya. Apalagi ketika nama itu disebut-sebut. Kedua mata Pendekar Mpu Naga yang duduk bersila di sampingnya pun tampak berkaca-kaca.

Mempelai laki-laki, Raden Tulus Pangestu, yang saat itu berusia dua puluh tiga tahun, juga seorang yatim piatu, maka larut pula dalam kesedihan. Air yang dari tadi menggantung di mata itu kemudian menitik bagai gerimis. Suasana mengharukan yang lalu menghanyutkan siapa saja yang hadir.

Rencana pernikahan tersebut hanya diputuskan dalam waktu singkat. Hanya lima hari. Namun berlangsung lancar tanpa kendala apapun. Mempelai perempuan mengenakan kebaya hitam panjang dengan ornamen warna emas di beberapa bagian, dan mempelai laki-laki mengenakan setelan lengkap juga berwana hitam. Dalam falsafah adat Jawa, warna hitam memang simbol kebijaksanaan dan kesempurnaan, sehingga diharapkan pasangan suami istri yang menikah itu kelak akan senantiasa dianugerahi kebijaksanaan dalam membangun rumah tangganya. Kendati tidak sedikit yang menyebutnya pernikahan terpaksa.

Setelah akad nikah, acara pesta diadakan di Padepokan Benteng Naga secara sederhana, namun Mpu Naga menyajikan hidangan makanan yang sangat banyak untuk semua warga selama tiga hari berturut-turut. Banyak tokoh-tokoh dunia persilatan dan tamu-tamu terhormat sahabat Mpu Naga hadir di acara itu.

Keluarga Mpu Naga memang menganut agama Islam, tapi mereka belum menjalankan rukun Islam dengan sepenuhnya. Di saat acara akad nikah itulah Mpu Naga dan Arum baru pertama kali menginjakan kaki di langgar, dan peristiwa itu sangat membekas di hati mereka.

Setelah peristiwa di langgar, dan setelah mengenal Mbah Kucing, Cak Japa dan Cak Woto, Mpu Naga mulai tertarik untuk belajar sembayang. Tanpa merasa malu ia bertanya kepada mereka mulai dari bagaimana cara berwudhu dan belajar menghafal bacaan-bacaan shalat.

Setiap menjelang Maghrib, mereka bertiga, Mpu Naga, Arum dan Tulus dengan mengendarai dokar pergi ke langgar. Entah mengapa itu merupakan momen yang sangat mengharukan. Sebetulnya ada langgar di sebelah selatan Padepokan Benteng Naga yang jaraknya jauh lebih dekat, tapi mereka memilih Langgar Al Akbar.

Setelah tiga hari berlalu, datanglah saatnya bagi Tulus dan Arum untuk pergi berbulan madu. Tapi itu sebetulnya adalah perjalanan mencari harta karun di Gua Sigolo-golo.

Pagi itu, setelah menyiapkan banyak bekal berupa pakaian dan sekantung uang serta banyak pesan, mereka berangkat dengan diiringi lambaian tangan Mpu Naga dan semua murid perguruan yang berbaris di pintu gerbang.  Selama ini Arum belum pernah pergi meninggalkan ayahnya, maka begitu dokar berjalan menjauh, dan tidak dapat melihat lagi ayah dan padepokannya, ia tak dapat menahan tangisnya.

"Dik, kita mungkin hanya pergi beberapa hari!" kata Tulus menenangkannya, "Mudah-mudahan kita bisa menemukan gua itu secepatnya, dan bisa segera kembali pulang!"

Arum menyusut air matanya dengan sapu tangan.

"Atau kalau kamu tidak tega meninggalkan ayah, masih belum terlambat untuk kembali, biar aku sendiri yang mencari gua itu," kata Tulus sambil memperlambat laju kudanya.

Arum memukul lengan suaminya dan kemudian menyandarkan kepalanya di lengan itu.

"Pendekar nggak boleh cengeng!" goda Tulus.

"Aah.., Kanda, aku hanya tidak ingin meninggalkan ayah yang agaknya kurang sehat." Arum memanggil suaminya dengan panggilan 'kanda' hanya saat berdua saja. "Orang sedunia boleh menyebutnya Mpu Naga Neraka, akan tetapi bagiku dia adalah Mpu Naga Surga!"

"Bagiku juga, Dinda!" Tulus memacu kuda dokarnya berlari lebih cepat lagi. begitu pula Arum, ia mempererat pelukannya ke lengan sosok yang paling dicintainya di dunia.

Gua Sigolo-golo itu terletak di sebelah timur Jombang, tapi mereka pergi menuju ke arah barat. Mpu Naga mengatakan bahwa sejak kedatangan Ki Kelabang Karang ke padepokan, kemungkinan besar ada mata-mata yang selalu mengawasi mereka. Kabar tentang Ki Kelabang yang melarikan harta sekarung itu memang mengundang banyak pihak ingin merebutnya, terutama dari pihak Tumenggung Legowo dan Ki Demang Wiryo.

Tumenggung yang telah kehilangan dua orang kepala pasukannya, Ki Rojowojo dan Pendekar Golok Dewa, merencanakan sebuah pembalasan yang jauh lebih dasyat. Ia bekerja sama dengan Ki Demang Wiryo untuk suatu saat menggempur Padepokan Benteng Naga.

***

Cak Japa seperti biasanya memberikan wejangan selepas shalat kepada jamaah, "Sebuah nasehat dari leluhur, 'Sepi ing pamrih rame ing gawe', ini mengajarkan kepada kita untuk tidak banyak pamrih tapi banyaklah berkerja. Maksudnya dalam berbuat sesuatu itu jangan fokus mengharapkan imbalan, tapi fokuslah dalam pekerjaan, karena pekerjaan yang dilakukan dengan baik, dengan tulus ikhlas, pasti dengan sendirinya akan mendatangkan balasan yang baik pula. Selanjutnya 'Suwung pamrih tebih ajrih', artinya apabila kita berbuat tanpa pamrih, maka rasa takut akan menjauh. Menurut para leluhur, pamrih itulah yang mendatangkan rasa was-was, ragu-ragu, takut, dan kecewa, bahkan dapat membuat seseorang jatuh hina dan putus asa!"

Para jamaah sangat senang mendengar wejangan-wejangan yang biasa disampaikan setelah shalat berjamaah isya' itu. Singkat tapi sangat sarat dengan nila-nilai luhur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun