Ajeng tertawa. "Wah, Cak! Bicara sampean kadang-kadang seperti seorang penyair saja! Soal apa sih yang akan dibicarakan sampai-sampai butuh sesuatu yang murni segala?"
"Dik, mari kita bicara tentang masa depan kita! Tentang cinta kita."
Wajah gadis jelita itu agak kemerahan dan kepalanya tertunduk. "Aihh..., terus?"
Tulus menghela napas panjang. "Perlu aku jelaskan bahwa kita mungkin tidak akan bisa bersatu!"
"Apa?"
"Iya, sepertinya cinta kita harus berakhir sampai di sini!"
"Hm.., kenapa?" jelas ada nada kesedihan dari pertanyaan itu. Jantungnya berdetak kencang.
"Guruku menghendaki agar aku menikah dengan putrinya. Selama ini aku banyak berhutang budi kepada keluarga Mpu Naga, jadi.."
"Jadi kamu menyetujuinya?"
"Aku tidak bisa menolaknya! Maafkan aku, Dik!"
"Terus..bagaimana dengan janji sampean yang akan setia mencintai aku!"