"Baiklah, lupakan aku, dan berbahagialah dengan pilihan ayah angkatmu!"
"Dik..!"
"Aku nggak mau mempersulit mu, Cak, jadi lupakan aku. Aku baik-baik saja. Selamat tinggal!" ucap Ajeng lebih tegas dan melangkah pergi. Rasa sesak menggumpal di dada, dan saat itu juga air matanya benar-benar tumpah. Mana ada orang yang kehilangan kekasih yang dicintainya dan masih merasa baik-baik saja.
***
Pagi itu ada peristiwa berbeda terjadi di Langgar Al Akbar, yakni ada ijab kabul pernikahan. Namun, prosesi yang seharusnya diwarnai dengan kebahagiaan itu malah sebaliknya dipenuhi isak tangis kesedihan. Pada saat proses ijab kabul berlangsung, pengantin wanita, tak kuasa membendung air matanya. Arum Naga yang baru menginjak usia tujuh belas tahun itu teringat mendiang bundanya. Apalagi ketika nama itu disebut-sebut. Kedua mata Pendekar Mpu Naga yang duduk bersila di sampingnya pun tampak berkaca-kaca.
Mempelai laki-laki, Raden Tulus Pangestu, yang saat itu berusia dua puluh tiga tahun, juga seorang yatim piatu, maka larut pula dalam kesedihan. Air yang dari tadi menggantung di mata itu kemudian menitik bagai gerimis. Suasana mengharukan yang lalu menghanyutkan siapa saja yang hadir.
Rencana pernikahan tersebut hanya diputuskan dalam waktu singkat. Hanya lima hari. Namun berlangsung lancar tanpa kendala apapun. Mempelai perempuan mengenakan kebaya hitam panjang dengan ornamen warna emas di beberapa bagian, dan mempelai laki-laki mengenakan setelan lengkap juga berwana hitam. Dalam falsafah adat Jawa, warna hitam memang simbol kebijaksanaan dan kesempurnaan, sehingga diharapkan pasangan suami istri yang menikah itu kelak akan senantiasa dianugerahi kebijaksanaan dalam membangun rumah tangganya. Kendati tidak sedikit yang menyebutnya pernikahan terpaksa.
Setelah akad nikah, acara pesta diadakan di Padepokan Benteng Naga secara sederhana, namun Mpu Naga menyajikan hidangan makanan yang sangat banyak untuk semua warga selama tiga hari berturut-turut. Banyak tokoh-tokoh dunia persilatan dan tamu-tamu terhormat sahabat Mpu Naga hadir di acara itu.
Keluarga Mpu Naga memang menganut agama Islam, tapi mereka belum menjalankan rukun Islam dengan sepenuhnya. Di saat acara akad nikah itulah Mpu Naga dan Arum baru pertama kali menginjakan kaki di langgar, dan peristiwa itu sangat membekas di hati mereka.
Setelah peristiwa di langgar, dan setelah mengenal Mbah Kucing, Cak Japa dan Cak Woto, Mpu Naga mulai tertarik untuk belajar sembayang. Tanpa merasa malu ia bertanya kepada mereka mulai dari bagaimana cara berwudhu dan belajar menghafal bacaan-bacaan shalat.
Setiap menjelang Maghrib, mereka bertiga, Mpu Naga, Arum dan Tulus dengan mengendarai dokar pergi ke langgar. Entah mengapa itu merupakan momen yang sangat mengharukan. Sebetulnya ada langgar di sebelah selatan Padepokan Benteng Naga yang jaraknya jauh lebih dekat, tapi mereka memilih Langgar Al Akbar.