"Kalau seperti itu, bukankah sekarang sudah banyak, Mbah? Lalu kenapa dikatakan Dajal akan muncul menjelang kiamat?" Giliran Tulus mengajukan pendapat.
"Sifat-sifat Dajal itu memang bisa ada pada diri setiap orang. Bisa juga berwujud sebuah kelompok, sebuah organisasi, sebuah partai, dan bisa juga berwujud sebuah kerajaan. Semakin besar wujudnya, maka semakin besar dampak kerusakan dan kehancuran yang ditimbulkannya, itulah yang disebut dengan 'Kiamat'. Dajal yang sebenarnya, akan muncul menjelang kiamat yang sebenarnya pula!"
Tulus merasa bahwa ia juga memiliki sifat-sifat Dajal, pikiran-pikiran negatif yang tidak pernah berhenti merasukinya. Ia termenung dengan wajah tertunduk.
"Adapun cara mengalahkan pengaruh negatif itu," sambung Mbah Kucing memecah keheningan, "Harus dengan tirakat, riyadhah, menundukan hawa nafsu dengan berbagai amal ibadah, sembayang, puasa dan banyak berdzikir. Buah dari rangkaian riyadhah itu berupa welas asih kepada sesama. Itulah inti yang dimaksud dalam riwayat yang menyebutkan bahwa yang bisa mengalahkan Dajal adalah Nabi Isa, sosok yang penuh welas asih!"
Tiga orang murid itu memerhatikan aura yang terpancar dari wajah Mbah Kucing saat memberikan wejangan. Terpancar cahaya yang membuat wajah sang guru itu terkesan begitu agung. Mendadak berbeda jauh energinya dengan wajah yang selama ini mereka lihat. Ada aura kasih sayang, sekaligus kekuatan yang menggetarkan sanubari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H