Oleh: Tri Handoyo
Wilayah itu dinamakan Candimulyo, yang memiliki arti tempat sebuah candi yang mulia. Tapi juga bisa berarti ada sebuah candi yang terletak di suatu daerah yang 'Gemah ripah loh jinawi', sangat subur, makmur, dan murah sandang pangan.
Woto adalah seorang pemuda sebatang kara yang tinggal tidak jauh dari candi. Ia pemuda yang pincang dan sering sakit-sakitan. Sehari-hari ia bekerja mencari rumput untuk kemudian dijual kepada para pemilik ternak. Hari itu ia sedang sakit, tapi ia memaksakan diri untuk hadir dalam acara 'Sedekah Bumi' di area candi. Sayangnya ia tiba di lokasi ketika acara sudah usai.
Ia kemudian mendekati Ki Binto, pemimpin doa 'Sedekah Desa', dan berkata dengan wajah memelas, "Eyang Ndoro Sepuh, bolehkah saya minta pembagian makanan. Saya belum makan sejak kemarin?"
Ki Binto yang dipanggil Eyang Ndoro Sepuh, yang saat itu bersanding dengan salah seorang pejabat, balik bertanya, "Apa yang kau bilang itu benar? Kau belum makan sejak kemarin?" Desa itu terkenal makmur, bagaimana mungkin ada warganya yang kelaparan.
"Betul, Ndoro!"
"Mana buktinya?" 'Desa ini terkenal makmur, bagaimana mungkin ada warga yang kelaparan,' batin Ki Binto kesal.
Woto diam terpaku. Perutnya mengeluarkan bunyi yang manandakan tuntutan untuk segera diisi.
"Makanan sudah habis, tidak ada lagi! Makanya jadi orang jangan malas!" sambung Ki Binto.
Pemuda itu terperangah. Sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban seperti itu. Sambil menyeret sebelah kakinya yang pincang, ia pun beranjak pergi.
Di malam harinya, Ki Binto bermimpi melihat sinar menyilaukan memancar keluar dari candi. Ia kemudian bersujud mencium lantai dan tidak terasa air matanya mengalir membasahi pipi. Air mata kecintaan kepada dewata.
Dari cahaya itu terdengar suara menggema, "Siapa kamu?"
"Tentu saja saya ini hambahmu, wahai Sang Dewata!"
"Apa yang kau bilang itu benar? Mana buktinya?"
Ki Binto langsung terjaga dari tidurnya. Malam itu ia tak sanggup lagi memejamkan mata. Sadar akan kesalahan fatal yang telah dilakukannya, ia pun bergegas membungkus makanan dan keluar menuju gubuk Cak Woto. Sesampai di tempat yang di tuju ternyata gubuk itu kosong. Ia terus mencari dengan menyusuri desa.
Akhirnya ia menemukan pemuda pincang itu di teras langgar. "Woto, aku sudah mencarimu ke mana-mana. Ini aku bawakan makanan buatmu!"
"Terima kasih Eyang Ndoro Sepuh, tapi saya sudah makan. Tadi diberi makanan sama Mbah Kucing!" jawab Woto santun.
"Baiklah, tapi terimalah makanan ini. Dan maafkan ucapanku tadi siang ya!"
"Terima kasih! Berikan saja makanannya ke orang lain, karena saya sudah tidak ingin makan malam ini, Eyang Ndoro!"
Sesepuh desa itu terdiam sejenak. "Lalu sedang apa kamu di sini, ini bukan tempat ibadahmu?"
"Tadi sore saya menyatakan kepada Mbah Kucing bahwa saya ingin masuk Islam. Sekarang saya sudah muslim, Eyang Ndoro Sepuh! Tempat ini sekarang menjadi tempat ibadah saya!"
"Kamu pasti sedang tidak sehat, jadi jangan gegabah mengambil keputusan..!"
"Saya sekarang sehat dan baik-baik saja!"
Ketika akhirnya Ki Binto yang kecewa itu berpamitan, Mbah kucing mengantarnya sampai ke ujung jalan. "Mohon maaf Ndoro Sepuh, orang yang sampai meminta makanan itu sudah kehilangan separuh harga dirinya, jadi jangan hilangkan yang setengahnya lagi dengan menolaknya, apalagi menghardiknya!"
Ki Binto hanya menundukan kepalanya dan mengambil napas dalam-dalam. "Ya, saya sadar telah melakukan kesalahan!"
Sejak peristiwa tujuh tahun yang lalu itu membuat Cak Woto dijuluki si pincang tukang adzan. Sebelum masuk Islam ia dikenal sebagai si pincang tukang pencari rumput. Tidak banyak orang yang tahu bahwa di dunia persilatan, dia dikenal dengan julukan Pendekar Kaki Malaikat.
Mbah Kucinglah orang yang berhasil merubah pemuda yang tadinya sakit-sakitan dan tidak percaya diri itu kini menjadi salah satu pendekar yang namanya membuat orang memilih untuk tidak punya masalah dengannya.
Sejak kanak-kanak, sebagaimana anak-anak pada umumnya yang suka bermain, tapi itu tidak berlaku baginya. Ia terlalu dini dipaksa untuk bekerja demi menghidupi dirinya sendiri. Ia suka ilmu silat dan ingin sekali mempelajarinya. Apalagi setelah peristiwa perampokan yang menewaskan kedua orang tuanya. Bahkan, menurut penuturan tetangga-tetangganya, saat ditemukan ia pun sudah tak bernyawa. Nafasnya sudah berhenti. Tapi kemudian takdir berkehendak lain.
Ketika remaja, karena sering menerima hinaan atas kecacatan dan kemiskinan, dorongan untuk belajar silat tumbuh lebih kuat lagi. Untungnya ia kemudian bertemu Mbah Kucing yang bersedia mengajarkan bela diri. Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Tanpa mengenal lelah ia melahap semua pelajaran dan berlatih keras siang malam.
Suatu ketika Mbah Kucing mengajarkan ajian 'Sayepi Angin'. Kakek sakti itu menggendongnya dan berlari dengan sangat cepat, kadang melesat di atas pucuk-pucuk dedaunan yang tinggi. Woto merasa tubuhnya seperti terbang, hingga angin kencang yang dingin berdesir di kanan kiri telinganya dan membuat matanya pedih.
Jarak antara pepohonan dilompati begitu saja hingga ia merasa ngeri melihat dari ketinggian. Dalam waktu singkat mereka sudah berada di dekat air terjun di pegunungan Wonosalam. Padahal jika menunggangi kuda saja bisa memakan waktu berjam-jam. Ia diam-diam berpikir bahwa di dunia ini ternyata banyak ilmu yang luar biasa hebat. Ajian meringankan tubuh dan berlari cepat ini kemudian menjadi ilmu favoritnya.
Setelah merasa cukup menguasai ilmu bela diri, ia berangkat seorang diri dan dengan tangan kosong mendatangi sebuah sarang perampok. Perampok yang menamakan dirinya 'Pasukan Penggali Kubur' itu diobrak-abrik tanpa ampun. Empat puluh lebih anggota yang semuanya bersenjata palu itu tewas mengenaskan. Beberapa orang sisanya yang masih muda tidak sampai dibinasakan, hanya dilukai sebagai peringatan. Siapa tahu di kemudian hari mereka mau bertobat. Kejadian itu sempat menggemparkan seluruh bumi Jawa. Dari cerita anggota 'Pasukan Penggali Kubur' yang tersisa, lahirlah julukan Pendekar Kaki Malaikat.
Tatkala peristiwa Pendekar Jeliteng yang berniat membakar langgar beberapa hari yang lalu, ia sebetulnya ada di antara kerumunan warga yang menonton. Ia memang memilih menunggu, karena yakin bahwa Pendekar Blandotan Kobra yang menyandera anak-anak di dalam langgar itu hanya bagaikan botol kosong bagi Mbah Kucing. Apalagi saat itu Raden Tulus sudah bertindak, jika mau, ia sangat yakin adik seperguruannya itu sudah cukup membuat semua pengepung langgar itu terkapar tak berdaya.
***
Sudah sekitar enam tahun Japa pergi merantau ke berbagai tempat. Sambil ingin memperluas wawasan, ia juga mencari Eyang Dhara. Setelah bertemu gurunya itu, Ia lalu membeli pekarangan di dekat langgar dan membangun rumah di atasnya. Sebetulnya ia memang senang tinggal di kampung halamannya. Banyak perubahan yang terjadi, seperti ada banyak toko dan warung yang berdiri di sepanjang jalan.
Sebagai jalur perlintasan dari berbagai penjuru kota, Jombang merupakan salah satu daerah yang terkenal dengan tingkat kriminalitasnya yang tinggi. Namun siapa sangka, ada satu perkampungan yang selalu damai dan tidak pernah ada tindakan kejahatan sekecil apapun. Walau pun kampung itu sudah banyak berkembang tetapi tidak mengubah budaya dan adat istiadat yang ada.
Di malam yang damai itu, Japa, Woto dan Tulus, menemui guru mereka, Mbah Kucing. Seperti biasanya mereka akan menanyakan berbagai hal tentang kehidupan.
"Bagaimana menurut pandangan Mbah Kucing tentang Dajal, makhluk raksasa bermata satu itu?" tanya Japa memantik topik diskusi.
"Sebetulnya makna 'Ad dajjalu' itu adalah mencampuradukan, yakni mencampuraduk antara kebenaran dengan kebathilan, atau bisa berarti menutupi, yakni menutupi kekufurannya dengan kebohongan!"
Suasana seperti itulah yang sering dirindukan Japa selama di perantauan. Berbincang-bincang bersama gurunya di atas bukit ditemani wedang jahe dan jagung atau kadang singkong bakar.
"Menurut saya," sambung Mbah Kucing, "Dajal itu bukan makhluk raksasa, dan bukannya bermata satu di tengah kening, melainkan ia seperti manusia pada umumnya, mempunyai dua mata, akan tetapi hanya sebelah mata yang berfungsi. Itulah kenapa kemudian disebut bermata satu, hanya yang sebelah kiri. Ini maknanya adalah sifat yang selalu melihat segala sesuatu hanya dari sisi negatifnya saja, atau bisa juga selalu berpikir negatif!"
"Kalau mengenai terdapat tulisan 'Kafir' di keningnya, Mbah?" timpal Woto.
"Bukankah kening itu simbol akal pikiran? Di kening itu kita menimbang, mengkaji, meneliti, mengambil keputusan, nah sementara makna 'kafir' itu adalah 'yang ditutupi'. Jadi Dajal itu orang yang akal pikirannya sudah ditutupi oleh hal-hal negatif. Sehingga suka berdusta, mengacau, menghasut, menyebarkan fitnah, menyebarkan kebencian dan kedengkian. Mencampuradukan dan mengaburkan antara kebenaran dan kepalsuan!"
"Kalau seperti itu, bukankah sekarang sudah banyak, Mbah? Lalu kenapa dikatakan Dajal akan muncul menjelang kiamat?" Giliran Tulus mengajukan pendapat.
"Sifat-sifat Dajal itu memang bisa ada pada diri setiap orang. Bisa juga berwujud sebuah kelompok, sebuah organisasi, sebuah partai, dan bisa juga berwujud sebuah kerajaan. Semakin besar wujudnya, maka semakin besar dampak kerusakan dan kehancuran yang ditimbulkannya, itulah yang disebut dengan 'Kiamat'. Dajal yang sebenarnya, akan muncul menjelang kiamat yang sebenarnya pula!"
Tulus merasa bahwa ia juga memiliki sifat-sifat Dajal, pikiran-pikiran negatif yang tidak pernah berhenti merasukinya. Ia termenung dengan wajah tertunduk.
"Adapun cara mengalahkan pengaruh negatif itu," sambung Mbah Kucing memecah keheningan, "Harus dengan tirakat, riyadhah, menundukan hawa nafsu dengan berbagai amal ibadah, sembayang, puasa dan banyak berdzikir. Buah dari rangkaian riyadhah itu berupa welas asih kepada sesama. Itulah inti yang dimaksud dalam riwayat yang menyebutkan bahwa yang bisa mengalahkan Dajal adalah Nabi Isa, sosok yang penuh welas asih!"
Tiga orang murid itu memerhatikan aura yang terpancar dari wajah Mbah Kucing saat memberikan wejangan. Terpancar cahaya yang membuat wajah sang guru itu terkesan begitu agung. Mendadak berbeda jauh energinya dengan wajah yang selama ini mereka lihat. Ada aura kasih sayang, sekaligus kekuatan yang menggetarkan sanubari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H