Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (25): Pertarungan Musuh Bebuyutan

12 Juli 2024   11:20 Diperbarui: 16 Juli 2024   12:03 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Pendekar gundul berdiri dengan kedua kaki kuda-kuda terbentang lebar dan menggerak-gerakkan kedua telapak tangan sambil berkata, “Hmm! Kalian Pendekar Jeliteng, jangan merasa bangga karena kalian bisa lolos pada beberapa tahun yang lalu! Ha..ha..ha!” Kemudian pendekar gundul itu langsung menggerakkan badannya yang besar dan berat untuk melancarkan serangan. Ia tampak gesit sekali.

Dua Pendekar Jeliteng adalah dua tokoh yang telah lama malang melintang di dunia persilatan. Mereka ini adalah tokoh-tokoh terakhir dari perguruan Macan Kumbang dan memiliki ilmu silat tinggi. Ki Paimo Jeliteng memiliki tenaga dalam yang besar sekali hingga sukar dicari tandingannya. Ki Paidi Jeliteng yang brewokan memiliki kekuatan otot melebihi tenaga seekor banteng jantan. Di samping kelebihan khusus itu, mereka berdua masing-masing memiliki sepasang senjata yang luar biasa, yang disebut Pisau Pancanaka.

Menghadapi Ki Blandotan Kobra, mereka berpencar dan mengepung dari dua sisi. Ki Blandotan memiliki jurus aneh seperti menari berlenggak-lenggok. Kedua telapak tangannya bagaikan dua kepala ular kobra yang hidup dan bergerak-gerak mencari sasaran. Inilah ilmu Silat Kobra Sewu. Setiap serangan beracun yang dilancarkan datangnya secara tak terduga dan selalu mengarah pada urat syaraf kematian.

Kedua Pendekar Jeliteng yang pernah bertempur dengan Ki Blandotan di puncak Bukit Tunggorono sekitar tiga tahun yang lalu, sedikitnya tahu akan keganasan jurus Kobra Sewu itu, sehingga mereka harus sangat hati-hati.

Sementara itu, Ki Blandotan makin lama makin mendesak lawannya. Kedua pendekar Jeliteng terkejut sekali karena ternyata kepandaian Si Gundul itu telah maju demikian pesat dan jauh bedanya jika dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu.

Suara keributan itu terdengar sampai kakek dan murid-muridnya yang sedang berada di dalam langgar menjadi terkejut. Anak-anak kecil yang tak dapat menahan keingin-tahuannya itu berhamburan keluar. Kakek tua mencoba melarang tapi terlambat. Ketika guru yang kurus seperti orang cacingan itu menyusul keluar, ia melihat dua orang pendekar dan disusul seorang pendekar berkelebat di jalan, saling berhadapan dan saling menyerang dengan sengit.

Kakek tua itu menjadi takut dan buru-buru menarik lengan anak-anak untuk diajak bersembunyi di belakang pintu, tapi namanya anak-anak, jangankan sembunyi, mereka justru menonton di cela-cela pintu.

Karena tahu bahwa jika terus bertempur dengan tangan kosong akan kewalahan, tiba-tiba Ki Paimo Jeliteng berseru keras, “Blandotan, kau benar-benar hendak mengadu nyawa?” Setelah berkata demikian, ia secepat kilat mencabut sepasang pisau yang terselip di ikat pinggangnya. Biarpun pisau itu pendek, namun berada di dalam genggamannya ia berubah menjadi sepasang senjata yang dasyat. Pisau bergagang kayu stigi dan berbentuk melengkung seperti kuku Wrekudara itu diputar-putar menyerang sampai menghasilkan angin dingin. Ki Paidi Jeliteng yang tinggi besar itu pun juga mencabut keluar sepasang senjata yang sama, senjata yang berkilauan saking tajamnya. Kedua pendekar itu lalu menyerang dengan hebatnya bagaikan serangan puting beliung mengamuk.

“Ha, ha, ha! Ayo keluarkan semua kepandaianmu!” Ki Blandotan Kobra melayani tanpa sedikitpun merasa gentar. Jari-jarinya yang berkuku hitam adalah senjata yang sangat beracun, karena badan yang terluka olehnya lambat laun akan membusuk dan dapat menyeret si korban ke lubang kuburan. Hawa dingin tenaga dalam mereka seketika menyeruak di sekitar tempat itu.

Sebentar saja tiga orang itu kembali bertempur jauh lebih hebat karena kini mereka tampak sebagai bayang-bayang yang bergerak ke sana ke mari. Pertempuran sengit dan mengerikan, namun juga menjadi tontonan yang menarik. Orang-orang pun tampak berkerumun dari kejauhan.

Kadang-kadang saja, warna merah dari baju pendekar gundul itu masih tampak dan ia terkurung di tengah-tengah baju hitam, bertahan sekaligus menyerang balik mati-matian. Biarpun Ki Blandotan Kobra hebat sekali dan permainan silatnya sangat berbahaya, namun menghadapi dua permainan senjata dari kedua Pendekar Jeliteng itu, cukup membuatnya menguras banyak tenaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun