Aku terlelap, dalam dekapan udara dingin. Entah berapa jam lamanya. Ketika terjaga, hujan telah reda. Terdengar bunyi cegukan arus sungai yang mengalir tidak jauh dari langgar, kelepak sayap burung, serta kemersik ranting-remanting yang tertiup angin, mengingatkan padaku akan rasa sunyi yang begitu menghujam.
Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara orang sedang berbicara. Astaga! Aku seakan mati ketika melihat sosok hitam kumal meringkuk di teras langgar. Manusia atau makhluk halus? Kenapa aku baru menyadari ada orang di situ?
Kuamati lelaki tua yang dari belakang tampaknya seperti seorang gelandangan, atau mungkin orang sinting, karena selain kaos yang dikenakan lusuh dan ada bolong besar di punggung, juga sedang asyik berbicara seorang diri.
"Aku sudah menunggumu," ucapnya lirih.
Alangkah terkejutnya aku, hingga membuat jantungku berdegup lebih cepat. "Menunggu saya?" tanyaku, karena sulit mempercayai pendengaranku. "Njenengan menunggu saya?"
Dia tidak seperti siapa pun yang pernah aku kenal. Jadi bagaimana mungkin dia menungguku. Wajahnya tertunduk, menatap lantai, menunjukkan bahwa ia sebetulnya tidak sedang berbicara denganku. Tampaknya ia kemudian sedang menceritakan kisahnya hidupnya.
 "Aku akan tetap menunggumu. Sekalipun aku tahu kamu belum tentu datang!" Suara lelaki tua itu kadang terdengar jelas, tapi lebih sering hanya seperti keluhan, yang ditujukan untuk dirinya sendiri.
Dengan rasa penasaran aku menyimak ucapannya dengan lebih seksama.
"Aku mau memberitahumu segala sesuatu tentang masa depanmu!"
Aku sama sekali tidak percaya ada manusia yang bisa tahu segalanya, apalagi tentang masa depan, batinku. Berarti orang itu memang gila.
"Di awal kehidupan, saat kabut menyelimuti alam, terdengar suara pena yang sedang digoreskan!"