Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malam Satu Muharam

5 Juli 2024   20:26 Diperbarui: 6 Juli 2024   19:27 4133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Di sebelah makam kini berdiri bangunan langgar sederhana, lengkap dengan sumur untuk tempat wudhu. Dulu jika pengunjung ingin wudhu mereka harus turun ke sungai di dekat situ. Begitu juga apabila ingin kencing atau buang hajat.

Dalam bahasa Jawa Kawi, Bulan Muharam disebut Bulan Suro, yang berarti 'Raksasa'. Jika dalam bahasa Sansekerta Suro berarti 'Dewa' atau 'Dewi'. Sementara jika dalam bahasa Arab, yang diambil dari kata 'Asyura' atau 'Asyu Nura' berarti orang yang memperoleh cahaya.

Selain sebagai awal pergantian tahun, Muharam juga merupakan masa Nabi Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah. Perjalanan penuh perjuangan yang berat, karena di samping dalam pengejaran orang-orang Quraish yang berniat membunuh, beliau juga menempuh jalan alternatif yang penuh rintangan dan hambatan. Itulah mengapa setiap malam satu Muharam atau satu Suro selalu diperingati dengan berbagai laku prihatin.

Menjelang jam dua belas malam, aku memutuskan untuk mandi sebelum menunaikan shalat. Membersihkan badan dari debu campur keringat yang terasa melekat. Begitu melepas pakaian dan menumpuknya di bibir sumur, terdengar suara sepeda motor, diiringi pula percakapan dua orang lelaki, yang makin lama makin mendekat. Sorot lampu motor mengarah lurus ke tempatku.

Aku cepat-cepat mencari tempat persembunyian di balik sumur. Pelan-pelan aku menarik 'senggot', yakni sebuah alat untuk mengambil air dari dalam sumur.

"Ya Tuhan, jangan berhenti!" pekik seorang di antara mereka, "Jangan berhenti! Ayo pergi! Cepat! Cepat!"

Aku mengintip dari balik sumur. Motor yang baru datang itu mendadak berbelok, dan dengan panik langsung tancap gas menyingkir. Setelah beberapa detik kemudian, aku baru mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mereka pasti ketakutan, gara-gara melihat 'senggot', alat tradisional yang terbuat dari bamboo yang mereka pikir bergerak dengan sendirinya.

Aku tersenyum geli membayangkan adegan kedua lelaki yang ketakutan itu. "Ya Allah! Terima kasih untuk hiburan ini!"

Aku tetap sendirian hingga tepat jam dua belas malam. Merasakan ketenangan yang perlahan merasuk. Setelah cukup lelah dan mengantuk, aku rebahkan diri di atas selembar tikar yang tersedia di dalam langgar. Kurenungi perjalanan hidupku. Sebelum berakhir pada pengandaian andai saja aku tidak pernah ada di dunia ini.

Malam semakin larut dan aku masih menatap langit dari pintu langgar. Kerabat awan gerawan berarak mengurung. Angin menghempaskan pepohonan yang serba hitam.

Lamunanku dibuyarkan oleh petir yang menyambar, menggelegar. Aku kembali terlempar ke realita, sendirian di tengah bukit belantara. Sesaat kemudian hujan lebat tercurah dengan hebat. Tak kenal ampun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun