Aku turun ke sungai. Mencuci muka, lalu duduk terpaku di atas batu, di bawah pohon Trembesi yang tumbuh tinggi besar di sisi sungai. Beberapa akarnya tampak menjurai ke dalam air. Barangkali sudah ratusan tahun ia menghuni puncak bukit itu. Air sungai itu begitu jernih, hingga bebatuan di dasarnya pun terlihat jelas. Air yang sepanjang perjalanannya telah banyak menolong manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Berdamai dengan masa depan membuat hatiku mampu bergetar menyaksikan keindahan alam. Hatiku menjadi peka untuk mencerap nikmatnya kehidupan. Penderitaan yang selama ini kualami tergilas oleh rasa syukur yang tumpah ruah.
Jadi, ketika akhirnya aku meninggalkan bukit itu dan memulai tahap selanjutnya dari perjalananku, aku merasakan harapan dan keberanian untuk membawaku melewati saat-saat tergelap sekalipun. Karena aku tahu bahwa, apa pun yang terbentang di depan, kini aku memiliki kekuatan untuk membentuk takdirku sendiri, dan menciptakan masa depan yang benar-benar layak bagi kehidupan.
Ya Allah, hamba selama ini buta terhadap karuniaMu! Tak urung butiran bening membasahi mata, sebagai reaksi atas ketakjuban akan bukti-bukti kebesaran Tuhan yang kutemukan.
Angin bertiup lembut, disambut ceria kicau burung. Kupu-kupu dan capung berayun-ayun di pucuk kembang, di antara ilalang yang melambai-lambai riang. Sedap wangi bunga memikat sekawanan lebah. Bunyi cegukan arus sungai melengkapi simponi alam itu. Semua laksana dirancang untuk diriku, khusus untuk menyambutku kembali hidup. Sebuah perayaan yang meriah.
Mentari mendermakan kehangatannya lewat cela-cela kerabat awan yang berarak pelan. Berbaur menghiasi langit. Semburat sinarnya laksana kipas raksasa, memperagakan pemandangan hebat ke seluruh penjuru jagad. Saat itu adalah pagi satu Muharam yang terindah dalam hidupku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H