Oleh: Tri Handoyo
Tatkala berbagai persoalan terangkai, layaknya benang kusut masai yang tak akan pernah terurai, membuatku benar-benar kehilangan arah dan lunglai. Satu-satunya jalan keluar yang terbentang lebar adalah mengakhiri kehidupan. Hasrat untuk menamatkan halaman terakhirku begitu kuat, bagaikan teman masa kecil yang terlanjur akrab dan kerap gentayangan menghasut di saat-saat pikiran kalut, dilanda badai keputusasaan tak berkesudahan.
"Ingat Allah!" suara dari lubuk hati yang sunyi mengingatkan, sebuah nama yang terus terang membuatku sangat kecewa. Ya Allah, kesedihan yang telah lama bersemayam ini, dan telah mengeringkan sumur air mata, bukankah ini skenarioMu?
"Ingat Allah!" bisik suara hati sekali lagi. Ya Allah, tidak ada jalan kecuali penuh rintangan, berakhir buntu dan gelap, bukankah semua ini suratan takdirMu?
Semua itu kemudian menggiringku untuk melakukan pengembaraan, seorang diri, demi mendapatkan sesuatu yang entah aku sendiri belum tahu. Soalnya, ungkapan ketenangan batin yang sering aku dengar menurutku hanya ilusi. Teori semu belaka.
Aku ingat dulu pernah diajak seorang teman kuliah mengunjungi sebuah makam. Sudah lama sekali. Makam itu berada di bukit terpencil, jauh dari perkampungan penduduk. Masyarakat desa percaya bahwa itu adalah makam seorang wali. Aku sudah tidak ingat namanya, tapi masih ingat jalan menuju ke sana.
Lokasi makam keramat itu di kelilingi lembah dan ngarai yang menyelangi bukit-bukit anakan. Desa terdekat berjarak sekitar tiga kilometer. Itu menjadikannya sebagai salah satu tempat keramat bagi pecinta klenik, tempat memikat bagi pecinta kesunyian, dan tempat ideal bagi pecinta spiritual.
Setelah melalui jalur hutan yang naik turun dan berkelok-kelok, aku sampai di tempat tujuan. Bersamaan dengan terbenamnya matahari. Gelap lalu dengan cepat menyelimuti. Mendadak aku menyadari bahwa saat itu adalah malam satu Muharam. Malam satu Suro bagi orang Jawa. Malam yang sangat keramat.
Aku ingat ibuku pernah cerita bahwa pada malam satu Suro, saat nenek dan ibuku pada siangnya berpuasa dan malamnya tafakur menyambut pergantian tahun, aku yang berada dalam kandungan ibuku meronta-ronta, dan tidak lama kemudian janinku lahir ke dunia. Malam keramat itu adalah malam kelahiranku.
Aku istirahat sejenak di area makam. Angin berdesir, merayapi dinding-dinding yang bisu. Jelaga pekat yang tercipta dari asap kemenyan, yang telah melekat selama bertahun-tahun pada kafan pembungkus nisan, menimbulkan bau yang mengandung daya magis. Apalagi dengan suasana serba remang-remang. Begitu mistis.
Di sebelah makam kini berdiri bangunan langgar sederhana, lengkap dengan sumur untuk tempat wudhu. Dulu jika pengunjung ingin wudhu mereka harus turun ke sungai di dekat situ. Begitu juga apabila ingin kencing atau buang hajat.
Dalam bahasa Jawa Kawi, Bulan Muharam disebut Bulan Suro, yang berarti 'Raksasa'. Jika dalam bahasa Sansekerta Suro berarti 'Dewa' atau 'Dewi'. Sementara jika dalam bahasa Arab, yang diambil dari kata 'Asyura' atau 'Asyu Nura' berarti orang yang memperoleh cahaya.
Selain sebagai awal pergantian tahun, Muharam juga merupakan masa Nabi Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah. Perjalanan penuh perjuangan yang berat, karena di samping dalam pengejaran orang-orang Quraish yang berniat membunuh, beliau juga menempuh jalan alternatif yang penuh rintangan dan hambatan. Itulah mengapa setiap malam satu Muharam atau satu Suro selalu diperingati dengan berbagai laku prihatin.
Menjelang jam dua belas malam, aku memutuskan untuk mandi sebelum menunaikan shalat. Membersihkan badan dari debu campur keringat yang terasa melekat. Begitu melepas pakaian dan menumpuknya di bibir sumur, terdengar suara sepeda motor, diiringi pula percakapan dua orang lelaki, yang makin lama makin mendekat. Sorot lampu motor mengarah lurus ke tempatku.
Aku cepat-cepat mencari tempat persembunyian di balik sumur. Pelan-pelan aku menarik 'senggot', yakni sebuah alat untuk mengambil air dari dalam sumur.
"Ya Tuhan, jangan berhenti!" pekik seorang di antara mereka, "Jangan berhenti! Ayo pergi! Cepat! Cepat!"
Aku mengintip dari balik sumur. Motor yang baru datang itu mendadak berbelok, dan dengan panik langsung tancap gas menyingkir. Setelah beberapa detik kemudian, aku baru mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mereka pasti ketakutan, gara-gara melihat 'senggot', alat tradisional yang terbuat dari bamboo yang mereka pikir bergerak dengan sendirinya.
Aku tersenyum geli membayangkan adegan kedua lelaki yang ketakutan itu. "Ya Allah! Terima kasih untuk hiburan ini!"
Aku tetap sendirian hingga tepat jam dua belas malam. Merasakan ketenangan yang perlahan merasuk. Setelah cukup lelah dan mengantuk, aku rebahkan diri di atas selembar tikar yang tersedia di dalam langgar. Kurenungi perjalanan hidupku. Sebelum berakhir pada pengandaian andai saja aku tidak pernah ada di dunia ini.
Malam semakin larut dan aku masih menatap langit dari pintu langgar. Kerabat awan gerawan berarak mengurung. Angin menghempaskan pepohonan yang serba hitam.
Lamunanku dibuyarkan oleh petir yang menyambar, menggelegar. Aku kembali terlempar ke realita, sendirian di tengah bukit belantara. Sesaat kemudian hujan lebat tercurah dengan hebat. Tak kenal ampun.
Aku terlelap, dalam dekapan udara dingin. Entah berapa jam lamanya. Ketika terjaga, hujan telah reda. Terdengar bunyi cegukan arus sungai yang mengalir tidak jauh dari langgar, kelepak sayap burung, serta kemersik ranting-remanting yang tertiup angin, mengingatkan padaku akan rasa sunyi yang begitu menghujam.
Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara orang sedang berbicara. Astaga! Aku seakan mati ketika melihat sosok hitam kumal meringkuk di teras langgar. Manusia atau makhluk halus? Kenapa aku baru menyadari ada orang di situ?
Kuamati lelaki tua yang dari belakang tampaknya seperti seorang gelandangan, atau mungkin orang sinting, karena selain kaos yang dikenakan lusuh dan ada bolong besar di punggung, juga sedang asyik berbicara seorang diri.
"Aku sudah menunggumu," ucapnya lirih.
Alangkah terkejutnya aku, hingga membuat jantungku berdegup lebih cepat. "Menunggu saya?" tanyaku, karena sulit mempercayai pendengaranku. "Njenengan menunggu saya?"
Dia tidak seperti siapa pun yang pernah aku kenal. Jadi bagaimana mungkin dia menungguku. Wajahnya tertunduk, menatap lantai, menunjukkan bahwa ia sebetulnya tidak sedang berbicara denganku. Tampaknya ia kemudian sedang menceritakan kisahnya hidupnya.
"Aku akan tetap menunggumu. Sekalipun aku tahu kamu belum tentu datang!" Suara lelaki tua itu kadang terdengar jelas, tapi lebih sering hanya seperti keluhan, yang ditujukan untuk dirinya sendiri.
Dengan rasa penasaran aku menyimak ucapannya dengan lebih seksama.
"Aku mau memberitahumu segala sesuatu tentang masa depanmu!"
Aku sama sekali tidak percaya ada manusia yang bisa tahu segalanya, apalagi tentang masa depan, batinku. Berarti orang itu memang gila.
"Di awal kehidupan, saat kabut menyelimuti alam, terdengar suara pena yang sedang digoreskan!"
Aneh. aku ingat seperti pernah membaca mengenai hal itu. Pena adalah salah satu makhluk yang diciptakan pertama kali di alam semesta ini.
"Hiduplah di saat ini! Jangan hidup di dalam kabut masa depan!"
Kabut masa depan? Ya, barangkali sumber dari semua permasalahanku adalah lantaran aku hidup di dalam kabut.
"Menulislah, agar kamu bermanfaat bagi banyak umat manusia!"
Saat mendengar lelaki tua dengan pakaian lusuh mengucapkan itu, terasa ada gejolak di dalam hatiku. Kata-katanya itu bukan sekedar ucapan yang tak bermakna, yang terlontar dari mulut orang gila, tapi itu adalah pengingat dari hampir semua ilmuwan besar.
"Menulislah, maka kamu akan abadi!" pungkasnya seolah memang ditujukan kepadaku.
Aku merasa disadarkan akan sebuah potensi yang dulu pernah ada dalam diriku. Menulis. Ya, dulu, lama sekali, aku pernah menghasilkan tulisan yang dimuat di sebuah majalah terkenal. Aku merasa jiwaku terangkat ke tingkat yang lebih tinggi.
Orang aneh itu kemudian mengungkapkan, bahwa perjalanan hidup seorang penulis bukanlah jalan mudah, tetapi sebuah jalan yang dimaksudkan untuk membagi terang ke dunia, melalui pena yang digoreskan, yang dilandasi kasih sayang.
Cahaya mentari pagi yang mengintip dari rerimbunan, menerobos pintu langgar dan membuyarkan mimpiku. Ah, rupanya aku bermimpi.
Pada saat itu, aku sadar bahwa masa depan tidak ditentukan. Terserah aku untuk membuat setiap pilihan berarti, untuk menanamkan tindakan dengan kekuatan impianku.
Cahaya pagi dengan lembut hadir, menyibak kabut yang enggan menyingkir. Ia beringsut laksana siput di antara hijau dedaunan. Mengusir kabut tipis, menjalar merayapi rerimbunan di kaki bukit.
Aku turun ke sungai. Mencuci muka, lalu duduk terpaku di atas batu, di bawah pohon Trembesi yang tumbuh tinggi besar di sisi sungai. Beberapa akarnya tampak menjurai ke dalam air. Barangkali sudah ratusan tahun ia menghuni puncak bukit itu. Air sungai itu begitu jernih, hingga bebatuan di dasarnya pun terlihat jelas. Air yang sepanjang perjalanannya telah banyak menolong manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Berdamai dengan masa depan membuat hatiku mampu bergetar menyaksikan keindahan alam. Hatiku menjadi peka untuk mencerap nikmatnya kehidupan. Penderitaan yang selama ini kualami tergilas oleh rasa syukur yang tumpah ruah.
Jadi, ketika akhirnya aku meninggalkan bukit itu dan memulai tahap selanjutnya dari perjalananku, aku merasakan harapan dan keberanian untuk membawaku melewati saat-saat tergelap sekalipun. Karena aku tahu bahwa, apa pun yang terbentang di depan, kini aku memiliki kekuatan untuk membentuk takdirku sendiri, dan menciptakan masa depan yang benar-benar layak bagi kehidupan.
Ya Allah, hamba selama ini buta terhadap karuniaMu! Tak urung butiran bening membasahi mata, sebagai reaksi atas ketakjuban akan bukti-bukti kebesaran Tuhan yang kutemukan.
Angin bertiup lembut, disambut ceria kicau burung. Kupu-kupu dan capung berayun-ayun di pucuk kembang, di antara ilalang yang melambai-lambai riang. Sedap wangi bunga memikat sekawanan lebah. Bunyi cegukan arus sungai melengkapi simponi alam itu. Semua laksana dirancang untuk diriku, khusus untuk menyambutku kembali hidup. Sebuah perayaan yang meriah.
Mentari mendermakan kehangatannya lewat cela-cela kerabat awan yang berarak pelan. Berbaur menghiasi langit. Semburat sinarnya laksana kipas raksasa, memperagakan pemandangan hebat ke seluruh penjuru jagad. Saat itu adalah pagi satu Muharam yang terindah dalam hidupku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H