Akhirnya perjalanan mereka hari itu tidak dapat berlanjut, sebab surya telah merangkak pergi, meninggalkan sisa semburat kemerahan pada gumpalan awan. Udara puncak jauh lebih dingin dibanding di pinggiran hutan tadi, ditambah kabut tipis telah turun menyelimuti sekeliling, sehingga kesunyian terasa semakin mencekam.
Setelah menemukan tempat untuk istirahat, menyalahkan api unggun, baru mereka bisa menikmati bekal yang telah disiapkan sore tadi.
Baru sekali menyuapkan nasi dengan lauk potongan ayam bakar, mereka saling memperhatikan satu sama lain, lalu keduanya tertawa yang tampak ditahan agar makanan tidak tersembur keluar. Lucu juga menyaksikan adegan menggigit daging ayam yang ternyata sangat alot. Beberapa kali gagal, sehingga terpaksa hanya menelan daging alot dan nasi begitu saja.
"Ini pasti ayam pendekar, jadi otot-ototnya kebal dari gigitan!" celetuk Japa yang disambut Eyang Dhara tertawa lebar.
Begitulah, walaupun kakek tua itu sangat bangga dengan muridnya, yang baru saja terbukti mampu mengalahkan dua pendekar tua, tapi tidak sedikitpun ia menyinggungnya dalam percakapan. Seolah-olah itu kejadian sepele yang dibiarkan berlalu seperti angin.
"Hidup itu perjalanan!" kata Eyang, "Kamu tahu apa maksudnya, Japa?"
"Perjalanan seperti yang selama ini kita lakukan!"
Eyang Dhara diam menatap wajah mungil di depannya, memberi kesempatan muridnya itu untuk memikirkan jawaban yang lebih tepat.
"Perjalanan menuju kematian!"
Setelah beberapa saat berlalu, Eyang Dhara akhirnya menguraikan maksud ucapannya. "Jawabanmu tidak salah. Tapi yang eyang maksud sebenarnya adalah perjalanan menuju pengenalan diri sendiri!"
Selalu seperti itu, diawali pertanyaan sederhana tapi kemudian mengarah pada uraian filosofi yang butuh perenungan yang serius dan mendalam.