Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (16): Pendekar Ingusan

24 Juni 2024   07:15 Diperbarui: 24 Juni 2024   07:19 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Ki Geni yang dijuluki Pendekar Kidal, tak peduli suara celaan yang akan beredar liar di luar sana. Dengan hidung mengucurkan darah, wajahnya tampak semakin beringas, menahan murka yang telah mencapai puncak ubun-ubun.

Tidak ada lagi erangan yang tersisa, Ki Gong dan gurunya kembali mengeroyok bocah kecil itu. Dengan cepat Ki Gong membacokkan goloknya sekuat tenaga. Bunyi benturan senjata terdengar begitu nyaring. Bunga api putih memercik. Tubuhnya terhuyung mundur. Dengan langkah ragu ia memperbaiki posisi,  tak mengira sama sekali bocah itu berani menangkis senjatanya hanya dengan menggunakan tongkat kayu.

Namun, yang lebih mengejutkan bagi Ki Gong, selain tenaga dalam yang dimilikinya sanggup diimbangi oleh seorang anak ingusan, ternyata tangan kanannya telah bengkok, tulang sikunya bergeser lepas dari persendian. Ia memaksakan membetulkan tangan, terdengar bunyi tulang yang patah di dalamnya. Goloknya kemudian terlepas dari genggaman, karena jari-jarinya telah lumpuh. Matanya terbelalak, berharap semua itu tak nyata. Berharap hana mimpi. Diiringi raungan tak jelas, yang terdengar hingga ke seluruh penghuni kampung, ia roboh tak sadarkan diri. Setelah itu hening.

Pendekar Kidal, masih menahan darah yang mengucur, menjejakkan kaki kiri ke tanah sambil matanya melotot ke arah  lawannya. "Bangsat kecil, bersiaplah kau aku rajang!" bentaknya dan langsung menerjang hebat.

Sebuah serangan maut yang dilakukan dengan dua cakar tangan mengarah ke perut Japa Dananjaya. Jika terkena serangan itu, pasti isi perut kecil itu akan terburai keluar.

Tanpa diduga sedikit pun oleh Ki Geni, tubuh Japa dengan ringan terbang ke atas, hingga lolos dari serangan, lalu tubuh kecil itu meluncur turun dengan gesit seraya mengirim tendangan kilat.

Sialnya, Ki Geni berhasil menangkap kaki itu, dan hendak membanting. "Mampus kau bangsat ingusan!" makinya senang,

Tapi sekali lagi tanpa diduga, bocah itu dengan lincah memutar tubuh sambil mengirim tendangan dengan kakinya yang lain. Serangan itu tepat mengenai wajah Ki Geni dengan telak.

"Aah..!" erang Pendekar Kidal terhuyung-huyung mundur. Mulutnya yang kini dipenuhi darah akibat beberapa giginya rontok, tak dapat ditutup dengan sempurna. Bibirnya pecah. Ada bekas tanah di kaki yang pindah menempel di bagian wajahnya.

"Sudahlah, wahai pendekar!" kata seorang kakek tua yang entah dari mana tiba-tiba berdiri di samping Japa, "Jangan kau paksakan untuk bertarung lagi! Lihatlah keadaanmu!"

Dengan menyemburkan ludah bercampur darah, Ki Geni membentak marah, "Jangan coba cari penyakit kakek tua!"

"Napasmu terdengar jelas betapa kamu sudah terengah-engah, nyaris kehabisan nafas. Ketahuilah, anak ini sekalipun masih ingusan, tapi aku yakin dia sanggup melayani keroyokan lima orang pendekar sekelasmu!"

Di dalam hati Ki Geni percaya ucapan itu. Ia sudah melihat bukti bagaimana muridnya dibuat terkapar pingsan. "Persetan!"

"Kamu masih belum kapok dan masih penasaran? Ya sudah terserah!"

"Siapa dia, Eyang?" tanya Japa Dananjaya.

Eyang Dhara berpaling kepada Japa, lalu menjawab tenang sambil tersenyum, "Dia sama Ki Gong dulu yang pernah mengintai kita sampai tengah malam, tapi kemudian memilih mengambil langka seribu, kabur begitu saja!"

Kecut juga hati Ki Geni mendengar itu. Ia baru sadar bahwa kakek itu adalah Eyang Dhara, guru si bocah ingusan. Jika muridnya saja sudah demikian hebat, apalagi gurunya.

Awalnya tadi, Japa mendapat perintah dari Eyang Dhara yang telah membeli sekarung beras, untuk membagikannya kepada warga kampung miskin yang berada di sekitar wilayah pinggir hutan. Eyang Dhara juga melakukan hal yang sama di kampung sebelah.

Kebetulan saat tiba di lokasi, Japa melihat Ki Gong Wojo dan Ki Geni Pendekar Kidal, sedang melakukan pungutan liar kepada warga. Kedua penjahat itu sudah lama melakukan pemerasan kepada rakyat kecil, dengan dalih sebagai iuran keamanan.

Begitu melihat Japa, mata Ki Gong melihat sekeliling, takut jika ada kakek sakti di sekitar situ. "Aman," gumamnya setelah yakin bahwa bocah itu benar-benar sendirian.

"Apanya yang aman?" tanya Ki Geni.

"Guru, anak itulah yang dulu pernah aku ceritakan!" Ki Gong kemudian menggunakan goloknya menunjuk ke arah Japa.

"Ha..ha..ha," tawa Ki Geni meledak, "Anak ingusan itu? Kau pasti bercanda?"

"Tapi dia dilindungi kakek yang sangat sakti!"

"Biar aku yang akan menghadapi kakeknya!"

 Ki Gong melotot sambil mengancam, "Hei bocah ingusan, kali ini kau menyerah atau pilih mampus?"

Lalu yang terjadi adalah sebaliknya. Satu per satu warga yang tadinya bersembunyi mulai berani keluar. Bibir mereka terangkat dengan senyum sembunyi-sembunyi, lega karena pertarungan itu akhirnya dimenangkan si bocah kecil.

Sambil berusaha meredam amarah, Pendekar Kidal mencoba mengatur pernafasan, sambil merapalkan mantra guna menghentikan pendarahan. Napasnya masih tersengal, diiringi keluhan dan diikuti dengan langkah kaki yang diseret paksa, ia mencoba membopong muridnya yang terkapar pingsan di antara tumpukan sampah dedaunan.

Memalukan sekaligus menyedihkan, bahwa ia dan muridnya yang telah lama malang melintang di dunia persilatan, bisa dikalahkan oleh seorang bocah kecil, yang berjuluk Pendekar Ingusan.

***

Kakek tua sakti dan muridnya itu kembali melanjutkan perjalanan. Mereka telah sampai di Gunung Pucangan, wilayah Jombang bagian utara. Pucangan disebut sebagai singkatan dari pucuk kayangan, sebuah lokasi tempat orang-orang berilmu saling bertukar dan berbagi pengetahuan.

Akhirnya perjalanan mereka hari itu tidak dapat berlanjut, sebab surya telah merangkak pergi, meninggalkan sisa semburat kemerahan pada gumpalan awan. Udara puncak jauh lebih dingin dibanding di pinggiran hutan tadi, ditambah kabut tipis telah turun menyelimuti sekeliling, sehingga kesunyian terasa semakin mencekam.

Setelah menemukan tempat untuk istirahat, menyalahkan api unggun, baru mereka bisa menikmati bekal yang telah disiapkan sore tadi.

Baru sekali menyuapkan nasi dengan lauk potongan ayam bakar, mereka saling memperhatikan satu sama lain, lalu keduanya tertawa yang tampak ditahan agar makanan tidak tersembur keluar. Lucu juga menyaksikan adegan menggigit daging ayam yang ternyata sangat alot. Beberapa kali gagal, sehingga terpaksa hanya menelan daging alot dan nasi begitu saja.

"Ini pasti ayam pendekar, jadi otot-ototnya kebal dari gigitan!" celetuk Japa yang disambut Eyang Dhara tertawa lebar.

Begitulah, walaupun kakek tua itu sangat bangga dengan muridnya, yang baru saja terbukti mampu mengalahkan dua pendekar tua, tapi tidak sedikitpun ia menyinggungnya dalam percakapan. Seolah-olah itu kejadian sepele yang dibiarkan berlalu seperti angin.

"Hidup itu perjalanan!" kata Eyang, "Kamu tahu apa maksudnya, Japa?"

"Perjalanan seperti yang selama ini kita lakukan!"

Eyang Dhara diam menatap wajah mungil di depannya, memberi kesempatan muridnya itu untuk memikirkan jawaban yang lebih tepat.

"Perjalanan menuju kematian!"

Setelah beberapa saat berlalu, Eyang Dhara akhirnya menguraikan maksud ucapannya. "Jawabanmu tidak salah. Tapi yang eyang maksud sebenarnya adalah perjalanan menuju pengenalan diri sendiri!"

Selalu seperti itu, diawali pertanyaan sederhana tapi kemudian mengarah pada uraian filosofi yang butuh perenungan yang serius dan mendalam.

Perjalanan dalam kehidupan ini merupakan proses perjuangan untuk mengenali diri sendiri. Mengenal diri sendiri adalah salah satu kegiatan yang sangat penting, sebab itu merupakan kunci untuk mengenal Allah, Tuhan semesta alam.

Pengetahuan yang paling mendasar adalah ketika seseorang bisa menjawab pertanyaan 'Siapa aku?', 'Dari mana aku datang?', dan 'Ke mana aku akan pergi?' Hal itu dilakukan dengan tujuan agar timbul kesadaran bahwa tanpa Allah maka tidak ada sesuatu yang lain. Hanya ada Allah. Sebuah kesadaran yang membuat manusia akan senantiasa berusaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya.

Selanjutnya adalah muhasabah diri, yakni tindakan mengoreksi dan merenungi kembali perbuatan yang telah dilakukan. Setelah itu timbul pengakuan dalam diri bahwa kita sejatinya lemah dan tak berdaya. Segala daya hanya milik Allah semata.

Yang terjadi berikutnya adalah bersyukur, sebab memahami bahwa segala sesuatu yang dimiliki berasal dari Allah, sehingga tidak akan meremehkan sekecil apa pun anugerah yang telah dinikmati.

Baik dan buruk perjalanan hidup adalah sebuah pilihan, sesuai kecenderungan sifat dasar manusia. Setiap perbuatan akan menjadi sebuah sebab yang pasti akan muncul di waktu mendatang.

"Jalani kehidupan yang positif, agar timbunan karma ke depan juga jadi lebih baik! Jika timbunan karma itu buruk, maka hasilnya adalah penderitaan!" pungkas Eyang Dhara. "Apa kamu paham, Japa?"

"Maaf, saya belum paham eyang!"

"Tidak apa-apa. Masih banyak waktu untuk bisa memahaminya!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun