Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (13): Ikrar Pendekar Besar

21 Juni 2024   07:36 Diperbarui: 21 Juni 2024   08:24 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Tri Handoyo

Situasi aman tentu saja akan membuat kerajaan bisa lebih fokus untuk melakukan pembangunan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat. Berbagai pemberontakan yang sebelumnya sering terjadi jelas menjadi penghambat utama kemajuan.

Majapahit memiliki lambang negara berupa matahari, 'Surya Maapahit', sebagai simbol semangat baru untuk terus berbenah. Benderanya berwarna merah dan putih, 'Getih Getah', yang berarti darah yang berwarnah merah dan getah yang berwarna putih, melambangkan nasionalisme sejati. Karma Bhumi, lambang kecintaan pada bumi pertiwi. Pusat ibu kotanya adalah Trowulan (Mojokerto). Pelabuhan Internasionalnya adalah Gresik.

Dalam catatan perjalanan pendeta Itali bernama Mattiussi, yang lebih dikenal dengan sebutan Odoric of Pordenone, seorang pendeta Ordo Fransiskan yang menjalankan misi Katolik di Asia Tengah, menceritakan bahwa pada tahun 1318 ia tengah berkunjung ke Majapahit. Kisah tersebut dia jelaskan di dalam bukunya yang diberi judul 'Travels of Friar Odoric of Pordenone'.

Ia berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia. Mattiussi terus melanjutkan perjalanan hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga mencapai Sumatera, dan akhirnya menginjakkan kaki di Pulau Jawa.

Melalui jalur sungai, perjalanan dari Surabaya hingga ke Mojokerto, ia banyak singgah di beberapa tempat. Ia sebutkan banyak hal dalam catatannya di antaranya bahwa di pulau Jawa hasil bumi seperti beras dan palawija begitu melimpah. Terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah lainnya. Perdagangan sangat ramai dan maju.

Digambarkan pula bahwa istana raja Jawa begitu mewah dan megah, mengagumkan karena penuh bersepuh logam mulia. Anak tangga dan interior istana dilapisi dengan perak dan emas, begitu juga dengan pilar-pilar penopang atap.

Raja Jawa disebut berkuasa atas tujuh raja lainnya. Kekaisaran Mongol pernah berulang kali mencoba menaklukan Jawa, akan tetapi selalu berakhir dengan kegagalan. Kerajaan Jawa yang disebutkan dalam catatan itu tak lain adalah Kerajaan Majapahit.

***

Untuk mengatasi segala kekacauan yang terjadi, serta demi kemajuan kerajaan menapak ke puncak yang tertinggi, dibutuhkan seorang pemimpin yang bersikap cerdas, tegas dan amanah. Kemelut hebat di dalam kerajaan Majapahit kembali terjadi pada tahun 1331, yang akhirnya mengantarkan Gajah Mada menaiki puncak tangga karir yang sempurna.

Sadeng dan Keta bergejolak. Saat itu mereka berniat memisahkan diri dari kerajaan Majapahit dan tengah melakukan persiapan serius untuk mencapai cita-citanya. Mereka berniat mendirikan kerajaan yang nantinya mampu menggulingkan Ratu Tribhuana. Diantaranya adalah melakukan perekrutan besar-besaran terhadap warga masyarakat untuk dididik keprajuritan. Mereka mendirikan tempat pusat latihan perang di tengah hutan Alas Larang. Tujuannya jelas, yakni demi memperkuat angkatan bersenjata, yang nantinya bakal dibenturkan dengan kekuatan bala tantara Majapahit.

Ketika itu Patih Mangkubumi Arya Tadah sedang menderita sakit keras. Oleh karena dia tidak sanggup untuk mengemban tugas menumpas pemberontakan, maka ia kemudian mengirim utusan untuk menghadap Sang Ratu Tribhuana Wijayatunggadewi, menyampaikan niatnya mengundurkan diri sebagai patih mangkubumi, akan tetapi permintaannya tidak dikabulkan.

Di samping itu, Arya Tadah juga mengusulkan kepada Ratu agar memberikan tugas kepada Gajah Mada. Tentu saja ini membuat beberapa kaum bangsawan merasa sakit hati. Diantara mereka adalah Menteri Ra Kembar. Dia yang merasa berdarah biru, lebih senior, lebih perkasa dan lebih pandai, sempat memprotes penunjukan tugas itu. Kemudian karena protesnya tidak mendapat tanggapan maka kedengkiannya kepada Gajah Mada semakin memuncak.

Akhirnya, Patih Arya Tadah memanggil Gajah Mada untuk datang menghadap ke purinya, untuk berbicara empat mata. "Saya meminta kamu untuk bersedia menggantikan posisi saya, menjadi patih!" kata sang patih.

"Mohon maaf, Tuan Patih. Saya belum bisa berpikir mengenai itu. Saya masih fokus untuk menyelesaikan urusan Sadeng. Setelah urusan ini selesai, barangkali saya baru bisa mempertimbangkannya!" jawab Gajah Mada penuh hormat.

"Dalam segala kesulitan yang nanti akan kamu hadapi, saya akan selalu berada di pihakmu, Mada!" sahut Arya Tadah tegas, "Bahkan seandainya nanti kamu dianggap melanggar aturan negara, saya akan tetap berada dipihakmu. Ini janji saya!"

Walaupun usia Gajah Mada terbilang muda untuk menggantikan posisi sebagai patih mangkubumi, namun tidak seorang pun yang meragukan kemampuan, pengabdian dan kesetiaannya terhadap bangsa dan negara. Dimulai dari tindakan heroiknya menyelamatkan sang raja dari kejaran para pengikut pemberontak Ra Kuti, kemudian membalikkan keadaan dan mengembalikan sang raja ke singgasananya, sudah cukup sebagai bukti bahwa ia orang yang sangat cakap.

Atas kepemimpinan Gajah Mada pula, persaingan politik perebutan tahta antara dua putri kedaton bisa diredam, sehingga pergantian kekuasaan setelah mangkatnya Sri Jayanegara bisa berlangsung mulus. Nyaris tanpa menimbulkan konflik yang berarti.

Gajah Mada berpendapat bahwa sebisa mungkin perang dengan Keta-Sadeng diselesaikan secara psikologis dengan melakukan adu domba antar kekuatan internal musuh tersebut. Bahkan kalau perlu melakukan penculikan terhadap para pemimpin yang menjadi penggerak perang. Tujuan utama dari strategi itu adalah menyelesaikan konflik Keta-Sadeng dengan biaya sekecil-kecilnya dan menghindari banyaknya korban jiwa.

Dilihat dari kekuatan gelar pasukan, kekuatan Keta-Sadeng bukanlah apa-apa dibanding dengan kekuatan Majapahit. Namun, dibalik kekuatan fisik pasukan yang belum sebanding itu, Keta-Sadeng juga dilindungi oleh kesatria yang sakti mandraguna. Ksatria itu adalah mantan pelindung Wijaya, raja Majapahit pertama, yang bernama Wirota Wiragati. Ia terkenal dengan kesaktiannya memiliki ajian sirep dan ajian panglimunan, yaitu kekuatan untuk mendatangkan kabut yang bisa menyulitkan dan mengelabui daya penglihatan pasukan mana pun. Beberapa pendekar di belakangnya itu dulunya adalah pasukan setia Nambi, dan sebagian lagi pendukung setia Ra Kuti.

Sebelum pasukan Gajah Mada berangkat ke Sadeng, Menteri Ra Kembar beserta pasukannya berangkat mendahului. Mendengar hal ini Gajah Mada marah dan mengirim beberapa orang sebagai perwakilan untuk menemui Ra Kembar.

"Saya utusan Patih Gajah Mada," seru salah satu dari utusan tersebut, "Mengapa Tuan akan menyerang Sadeng tanpa menunggu perintah dan tidak bersama-sama pasukan yang lain?"

Ra Kembar lalu berdiri di atas pohon yang rebah dan menunjukkan sikap menantang siapapun untuk berkelahi. Dengan senjata cambuknya ia mengayunkan ancaman ke setiap utusan itu, sehingga mereka bersembunyi menyelamatkan diri di balik pepohonan. Kehebatan cambuk Ra Kembar memang sanggup menggetarkan mental lawan-lawannya. Lecutan cambuk itu bisa membuat pohon yang tersambar akan terbelah menjadi dua.

"Saya tidak bertanggung jawab kepada siapapun!" teriak Ra Kembar sambil mengayunkan cambuk mautnya, "Dan saya sangat benci dengan orang yang mengepalai kamu sekalian!"

Para utusan itu kemudian meninggalkan Ra Kembar dan melaporkan kepada Gajah Mada. Demi menghindari bentrokan dengan pasukan Ra Kembar, yang nantinya justru akan merugikan pihak Majapahit, Gajah Mada berusaha menahan diri.

Ia teringat pesan terakhir Kakek Wonokerta agar tidak berlaku sombong, tidak bertindak semena-mena, dan tidak mengikuti amarah. Ia berhasil meredam amarahnya. Ia sebelumnya telah menyusupkan beberapa pasukan Bhayangkara sebagai telik sandi ke wilayah Keta dan Sadeng. Mereka adalah orang-orang yang sudah dikenal oleh para pimpinan pemberontak dan dianggap sebagai pihak netral.

Tujuan penyusupan itu adalah untuk menjatuhkan mental dan mengadu domba di antara mereka. Diceritakan oleh penyusup bahwa Keta dan Sadeng telah dikepung dari dua arah oleh pasukan Gajah Mada dan pasukan Ra Kembar.

Tanpa terduga, tiba-tiba datang pasukan Adityawarman dari arah lain yang menyerang Sadeng dengan cepat dan hebat. Adityawarman memiliki sebilah keris ampuh yang bernama 'Sanghyang Tiga Sakti'. Sebelum rasa tercengang dan kebingungan para pemberontak itu usai, mereka telah takluk dan dipaksa menyerah. Di sisi lain pasukan Gajah Mada melucuti banyak rampasan senjata musuh. Akhirnya pemberontakan Sadeng pun bisa dipadamkan dengan gemilang.

Setelah dianggap sukses menuntaskan tugas pemadaman pemberontakan Keta-Sadeng, tentu saja juga atas bantuan Adityawarman, Gajah Mada pun siap untuk didaulat menjadi patih mangkubumi, menggantikan Arya Tadah.

Bulan di atas Towulan memancarkan cahaya cerah. Hawa hangat menggerayangi seluruh pelataran istana, bak sentuhan wedang sekoteng jahe yang menjadi hidangan utama sore itu, yang kehangatannya mengaliri sekujur raga.

Gajah Mada mendapatkan jabatan dan kekuasaan yang luar biasa. Ia merangkap sebagai patih mangkubumi dan juga sebagai panglima perang. Pada saat berpidato penobatannya itu, sambil mengacungkan keris, ia mengucapkan sumpah Amukti Palapa. Sumpah Palapa dalam catatan Kitab Pararaton berbunyi sebagai berikut:

"Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada, Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tajungpura, ring Haru, ring Pahang, ring Dompu, ring Bali, ring Sunda, ring Palembang, ring Tumasek, samana ingsun amukti palapa."

Sumpah itu garis besarnya menegaskan bahwa Gajah Mada akan berpuasa (tidak makan palapa atau rempah-rempah, yang bermakna bersenang-senang dengan kenikmatan dunia), sebelum seluruh Nusantara takhluk di bawah kekuasaan Majapahit. Itulah ikrar sang pendekar besar.

Di dalam rapat di paseban itu, terdengar kata-kata sinis dari Ra Kembar, "Memangnya dia itu siapa! Dia pikir dia itu keturunan ksatria!"

Kemudian disambut gelak tawa ejekan Jabung Trewas dan Lembu peteng.

"Sungguh tidak tahu malu!" imbuh Ra Banyak dan disambut tawa cekikikan oleh yang lain.

Gajah Mada sadar bahwa ada beberapa musuh politik di dalam istana yang menganggap bahwa jabatan patih tidak pantas bagi keturunan rakyat jelata. Masih ada orang-orang terhormat di kalangan istana yang merasa lebih layak dan merasa mampu. Tapi mereka tidak berkutik, karena di samping Gajah Mada mendapat dukungan kuat dari keluarga ratu, dia juga sangat dicintai rakyat Majapahit.

Gajah Mada benar-benar merasa sakit hati atas sikap Ra Kembar dan Ra Banyak, sehingga ia kemudian mengambil langkah melaporkan kejadian pelecehan itu ke ibu ratu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun