Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (9): Penempahan Jiwa Raga

14 Juni 2024   19:58 Diperbarui: 16 Juni 2024   11:01 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Tri Handoyo

Setelah dipandang cukup matang, Kakek Wonokerto menganjurkan kepada Gajah Mada untuk bekerja membantu pamannya, Ki Gede Sidowayah, di Songgoriti, Malang.

Kakek Wonokerto sengaja ingin membuat Gajah Mada agar memiliki wawasan yang luas. Dengan bekerja ikut Paman Gede Sidowayah, yang ahli membuat senjata, diharapkan anak muda itu akan sering bergaul dengan para prajurit dan para pendekar yang biasa memesan senjata di tempat itu.

Ki Wonokerto melihat adanya potensi yang luar biasa pada diri Gajah Mada. "Kamu harus tetap ingat satu hal!"

"Apa itu, Kek?"

"Tolong ingat baik-baik, jangan pernah bersikap sombong!"

Suara itu entah kenapa begitu menghujam dalam lubuk sanubari Gajah Mada, diikuti bunyi dengung dan cahaya yang mengitari kepalanya.

"Saya akan selalu ingat pesan Kakek!"

Orang tua itu tersenyum pasi. "Jaga diri baik-baik!" Lalu ia berpamitan dan pulang kembali ke kampung halamannya.

Gajah Mada seorang remaja yang rajin bekerja dan tak mengenal lelah, sehingga ia dengan cepat disukai banyak orang. Ia juga tidak segan-segan bertanya tentang hal-hal seputar kerajaan. Minatnya terhadap pengetahuan mengenai pemerintahan begitu jelas tergambar. Dari seringnya bergaul dengan prajurit-prajurit kerajaan, ia banyak belajar tentang tata krama dan tutur bahasa yang digunakan kaum prajurit terpelajar.

Ketika di Bedander kehidupannya banyak diisi dengan kegiatan berlatih silat dan mengencangkan ikat pinggang, kini di Songgoriti kehidupannya banyak diisi dengan bekerja keras.

Dari para prajurit yang datang ke tempat itu, ia mendengar bagaimana hancurnya kerajaan Singhasari yang pada waktu itu tentu masih jelas puing-puingnya. Dia juga mendengar cerita bahwa kekuasaan Jayakatwang di tanah Kediri telah runtuh karena serangan tentara Mongol, dan kabar gencar tentang munculnya kerajaan baru yang memperoleh kemenangan atas jerih payah dan kecerdikan pemimpinnya.

Majapahit, itulah kerajaan yang kini menjadi harapan baru bagi rakyat, yang sedang berjalan terseok-seok karena pemberontakan. Kerajaan itu kini tengah giat-giatnya melakukan perbaikan dan pembangunan.

Keadaan hancur lebur dan munculnya kerajaan baru mengisi kepala pemuda Gajah Mada, yang lantas menyulut panggilan hidup yang luar biasa. Saat itulah cita-cita dirangkai setinggi langit.

***

Pemberontakan Ranggalawe dan pembangkangan Lembu Sora memberi pelajaran kepada Jayanegara untuk melakukan pembersihan terhadap pasukan yang dianggap tidak loyal. Prajurit yang sudah teracuni oleh kepentingan politik dianggap bisa membahayakan keadaan negara. Seiring dengan itu dilakukan pula perekrutan tantara besar-besaran demi memperkuat pertahanan.

Kabar mengenai itu sampai juga kepada Gajah Mada. Ia segera menyampaikan kepada pamannya mengenai keinginannya untuk menjadi prajurit dan mengabdi di Majapahit. Ki Gede Sidowayah sangat mendukung dan menyarankan agar dia lebih dulu ke Bedander untuk mohon doa restu kepada Kakek Wonokerto. Nenek Wuri sudah meninggal beberapa bulan sebelumnya.

Gajah Mada akhirnya berangkat menuju Bedander. Jalur yang ditempuh mengambil jalan pintas lewat Batu Malang (diantara Gunung Butak dan Gunung Arjuna) terus lurus menuju Bedander, Jombang. Setelah mendapat restu dari Kakek Wonokerto, selanjutnya ia pergi menuju Trowulan, Majapahit, yang berjarak sekitar 30 kilometer dari Bedander.

Kebanyakan di antara mereka yang melamar sebagai prajurit adalah keluarga dari kasta ksatria. Mereka diantar sendiri oleh sanak familinya yang juga bagian dari prajurit maupun kerabat keraton Majapahit. Kunci yang paling penting adalah siapa yang membawa. Ini bagian dari seleksi ketat, mengingat terjadinya pemberontakan yang belakangan terjadi.

Sebagai anak keturunan kasta Sudra, Gajah Mada hanya bisa mengandalkan kemampuan bela diri dan kecerdasannya. Dengan melewati berbagai ujian yang dirasakannya berat, dia akhirnya berhasil diterima sebagai prajurit Majapahit.

***

Tinggal jauh dari orang-orang yang dicintainya, Kakek Wonokerto, Paman Gede, dan tinggal di sebuah kamar seukuran dua kali dua meter, bukan masalah berat bagi pemuda yang tengah dipenuhi cita-cita besar.

Ia sadar, dapat diterima sebagai tantara Majapahit adalah impiannya sejak kecil. Alih-alih merasakan beratnya berbagai latihan, sepertinya tubuhnya memang sudah mengalami ketidaknormalan akibat tempaan Kakek Wonokerto yang jauh lebih berat dari semua latihan itu.

Ia bahkan nyaris tak dapat tertidur gara-gara merindukan latihan-latihan esok hari. Sejak pertama kali memasuki kamarnya, yang berisi dua orang, ia sudah menjadikan tempat itu sebagai ruang meditasi.

Gajah Mada bermeditasi, memunggungi Nyono, teman sekamar yang sudah terlelap pulas.

"Maaf kalau aku mengganggumu," ucap Nyono setengah berbisik, "Tapi jika kamu lapar, makanlah bekalku. Santai saja!"

Kondisi perut Gajah Mada memang tak bisa diajak kompromi lagi, sampai suara keroncongan perutnya terdengar oleh teman sekamar.

Ketukan pelan terasa di belakang punggung, jemari besar dan agak kasar. "Ini akan berakhir tragis jika kamu tak makan sekarang juga!" Nyono tak tega. Hampir tengah malam dan Gajah Mada masih betah dengan posisinya sejak sore tadi.

Nyono bangkit dan membuka sebungkus nasi lengkap dengan lauk ikan asin bakar, "Aku juga lapar. Untungnya aku sore tadi membeli nasi!"

Sempurna sekali, sepertinya kelaparan membuat Gajah Mada membuyarkan meditasinya. Jujur, ia juga ingin makan. Aroma ikan itu begitu mengundang air liur, hingga daging ikan itu terasa nikmat di lidahnya. Diam-diam mulutnya bergerak mengunyah.

"Ayo kita makan!" paksa Nyono, "Gak usah sungkan. Aku merasa seperti sudah lama mengenalmu."

"Benarkah?"

"Iya!"

Mereka berdua kemudian makan besama, dari alas daun pisang yang sama.

***

Dibawah gemblengan gurunya Ki Hanuraga, ia banyak ditempah mengenai ilmu keprajuritan. Hidup disiplin sebagai seorang prajurit mungkin hal baru baginya, tetapi gemar belajar dan kerja keras adalah nafas hidupnya sejak kecil. Itulah kenapa ia selalu tampak menonjol di antara prajurit-prajurit lainnya.

Seringkali di saat semua orang istirahat kelelahan, Gajah Mada masih tampak berlatih menghafal jurus-jurus baru. Lengan bajunya tergulung dan ikat pinggangnya dikencangkan, lalu mulai mengulang-ulang semua gerakan. Memang berkat belajar keras, gerakan-gerakannya menjadi semakin gesit dan bertenaga.

Ki Hanuraga pun selalu bersemangat memberi petunjuk-petunjuk yang selalu didengar dan dipatuhi oleh pemuda Mada itu dengan penuh perhatian. Sekalipun ia telah mempelajari jurus itu lebih dari setengah tahun, namun hanya beberapa belas jurus yang mampu dilakukan dengan baik, karena satu jurus saja mempunyai pecahan demikian banyak dan hebat. Dari penjelasan sang guru, dapat disimpulkan betapa sulit dan rumitnya ilmu Silat Benteng Naga, yang sebetulnya merupakan puncak ilmu tertinggi buat pasukan elit Majapahit.

Sehabis latihan, Ki Hanuraga berkata, "Gerakan yang ke tujuh sampai yang ke sebelas masih kurang sempurna. Untuk jurus satu sampai enam sudah lumayan. Tetapi selebihnya, dari jurus ke dua belas dan berikutnya, masih butuh banyak latihan, sangat jauh untuk dapat disebut lumayan!"

"Baik, Guru!" jawab Gajah Mada dan bersiap untuk mengulang lagi dari awal.

"Kamu tidak istirahat dulu?"

"Tidak, Guru!"

Sambil menggeleng-gelengkan kepala Ki Hanuraga berpesan, "Oh iya, gerak-gerakkanlah jari tanganmu karena gerakan-gerakan itu sangat penting dalam mengecoh lawan dan dapat menyembunyikan maksud arah serangan kita yang sesungguhnya."

Sebagai pemuda desa, yang nama orang tuanya tidak tercatat dalam lembaran sejarah berdirinya Majapahit, betapa pun prestasinya menonjol, tapi tetap saja membuat ia dipandang sebelah mata. Khususnya oleh anak-anak pejabat.

Berbeda dengan pandangan Ki Hanuraga, yang mungkin karena juga terlahir dari kelas rakyat kecil, ia memberi perhatian istimewa kepada Gajah Mada. Lantas ia pula yang selalu membicarakan pemuda hebat itu di depan para panglima.

Sekali lagi, asal usulnya selalu menjadi batu sandungan untuk meningkatkan karir. Keadaan itu selaras pula dengan kondisi Majapahit yang belakangan mulai diisi oleh pejabat-pejabat yang tidak amanah, dan cenderung bermental penjilat dan korup.

Jejak-jejak prestasinya senantiasa terselimuti awan hitam. Semua itu seolah menegaskan bahwa sebagai prajurit yang bukan berasal dari golongan darah ksatria, adalah hal tabu. Beberapa jasa perjuangannya pun diabaikan begitu saja.

Hanya karena cita-cita besarnya, yakni untuk menjadi orang yang bermanfaat besar, maka semangatnya tak pernah surut, justru semakin bergelora seiring waktu. Karier Gajah Mada terus menanjak hingga mulai dari kurir sampai akhirnya menjadi Kepala Pasukan Bhayangkara (Pengawal pasukan Raja).

Bhayangkara, dari bahasa Sansekerta yang berarti "Hebat dan Menakutkan". Istilah itu termaktub dalam dua kata Jawa kuno, yakni Bhaya yang berarti "Berbahaya" atau "Menakutkan", sementara Angkara dari kata "Ahangkara" yang berarti "Aku"' atau "Kami". Maka istilah Bhayangkara dapat diartikan sebagai "Kami yang Menakutkan".

Amanat suci membanjiri dadanya. Pemuda itu kelak di kemudian hari menjadi ahli negara yang maha tangkas dan cerdas. Jiwa dan raga sepenuhnya dipersembahkan untuk membesarkan negara. Kerajaan Majapahit menjadi berjiwa dan bersemangat, dan naik ke tingkat kejayaan di atas dasar persatuan, yang hidup dalam genggaman tangan tokoh yang berasal dari darah rakyat kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun