Tinggal jauh dari orang-orang yang dicintainya, Kakek Wonokerto, Paman Gede, dan tinggal di sebuah kamar seukuran dua kali dua meter, bukan masalah berat bagi pemuda yang tengah dipenuhi cita-cita besar.
Ia sadar, dapat diterima sebagai tantara Majapahit adalah impiannya sejak kecil. Alih-alih merasakan beratnya berbagai latihan, sepertinya tubuhnya memang sudah mengalami ketidaknormalan akibat tempaan Kakek Wonokerto yang jauh lebih berat dari semua latihan itu.
Ia bahkan nyaris tak dapat tertidur gara-gara merindukan latihan-latihan esok hari. Sejak pertama kali memasuki kamarnya, yang berisi dua orang, ia sudah menjadikan tempat itu sebagai ruang meditasi.
Gajah Mada bermeditasi, memunggungi Nyono, teman sekamar yang sudah terlelap pulas.
"Maaf kalau aku mengganggumu," ucap Nyono setengah berbisik, "Tapi jika kamu lapar, makanlah bekalku. Santai saja!"
Kondisi perut Gajah Mada memang tak bisa diajak kompromi lagi, sampai suara keroncongan perutnya terdengar oleh teman sekamar.
Ketukan pelan terasa di belakang punggung, jemari besar dan agak kasar. "Ini akan berakhir tragis jika kamu tak makan sekarang juga!" Nyono tak tega. Hampir tengah malam dan Gajah Mada masih betah dengan posisinya sejak sore tadi.
Nyono bangkit dan membuka sebungkus nasi lengkap dengan lauk ikan asin bakar, "Aku juga lapar. Untungnya aku sore tadi membeli nasi!"
Sempurna sekali, sepertinya kelaparan membuat Gajah Mada membuyarkan meditasinya. Jujur, ia juga ingin makan. Aroma ikan itu begitu mengundang air liur, hingga daging ikan itu terasa nikmat di lidahnya. Diam-diam mulutnya bergerak mengunyah.
"Ayo kita makan!" paksa Nyono, "Gak usah sungkan. Aku merasa seperti sudah lama mengenalmu."
"Benarkah?"