Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertemuan Sakral

17 Mei 2024   06:06 Diperbarui: 11 Juni 2024   20:22 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo


Oleh: Tri Handoyo

Belum banyak wisatawan yang datang berkunjung. Mungkin karena masih terlalu pagi. Jadi masih sepi. Segumpal awan hitam tampak menaungi puncak.

Aku sandarkan sepeda kesayangan di sebuah pohon di samping joglo. Berharap ada pengunjung datang, agar aku bisa minta tolong difotokan. Sudah setengah tahun aku selalu mendokumentasikan perjalananku bersepeda ke berbagai tempat wisata.

Jarum waktu sudah mendekati pukul sepuluh, saat itu baru hanya ada sebuah mobil yang memasuki area parkir. Mobil itu berisi dua orang. Seorang gadis turun, dan langsung berjalan menuju joglo. Di dalam mobil tampak seorang lelaki setengah baya. Ia mematikan mesin, beberapa saat tampak mengatur sandaran tempat duduk, dan kemudian merebahkan tubuhnya.

'Ke lokasi wisata hanya untuk tidur?' batinku heran.

"Pagi. Dari mana, Mas?" sapa gadis yang baru datang sambil tersenyum ramah.

Alhamdulillah. Tidak rugi aku tadi memilih tempat ini untuk istirahat. "Dari Jombang. Mbak dari mana?"

"Saya orang sini!"

"Asli sini?"

Lalu jawabnya dengan tatapan mata berbinar, "Iya. Perkampungan di dekat jalan masuk tadi!"

Aneh! Orang kampung sini kok datang bawa mobil? Aku mencoba menemukan apa alasan yang kira-kira masuk akal. Tapi tidak berhasil. Mungkin sambil mau manaskan mesin mobil. Bisa jadi.

"Liburan?" Ia tampak tidak serius bertanya.

"Olah raga, Mbak. Iya sih sekalian liburan, refreshing!" Aku perhatikan gadis desa itu sangat menarik. Kulitnya bersih. Wajahnya tanpa riasan, cantik alami. Rambutnya yang panjang hanya diikat biasa. Pakaiannya yang dipadu dengan celana selutut sudah tampak modern. Barangkali dia sering ke kota, sehingga bisa berpenampilan layaknya gadis kuliahan yang sedang tamasya.

Sambil mencari bahan pertanyaan, aku berlagak membersihkan tanah liat yang menempel di alas sepatu. Aha! "Mbak hanya berdua sama bapak?"

Ia tersenyum kecil. Dengan lesung pipit yang manis. "He..he.., dia suami saya!"

"Suami? Eh maaf!" Kepalaku seperti terjeduk kayu tiang joglo. Ada sedikit cemburu. "Soalnya aku pikir mbak masih sangat muda. Gak nyangka sudah menikah. Malah tadi aku pikir masih SMA!"

"Masak? Saya sudah selesai kuliah lho!"

"Benarkah?" Gadis itu mengaku dari kampung terdekat, mengaku sudah menikah, dan kini mengaku sudah selesai kuliah. 'Kamu pikir bisa dengan mudah membohongiku. Kamu belum tahu sedang berhadapan dengan siapa! Aku detektif kampung. He..he..' "Sarjana apa?"

"Sastra Inggris!"

'Hm, makananku! Akan aku bongkar kedokmu!' "So I'm completely sure that you can speak English well?" sahutku.

"Not well enough!" jawabnya merendah, "Here I don't have partner to make conversation in English, so I am afraid that my skill will be decrease by the day!"

Wow! Pengucapan dan intonasinya cukup meyakinkan, dan sangat percaya diri. Itu membuatku semakin terpesona. Aku pernah mengajar kelas conversation Bahasa Inggris beberapa tahun. Jadi aku berani menyimpulkan bahwa dia memang layak mengaku sebagai seorang sarjana Sastra Inggris.

Aku pun terus memancingnya dengan masih berbicahara dalam Bahasa Inggris. "Suamimu kok gak turun?" selidikku.

"Mungkin capek! Dia suka tiduran di mobil!"

'Capek? Baru datang kok sudah capek?' Aku jadi berpikir jangan-jangan capek karena kegiatan semalam. 'Capek kenapa hayo?' Ah, itu pertanyaan konyol. Tapi perempuan itu kelihatan masih segar. "Maaf, punya anak berapa?"

"Belum punya. Kami baru menikah kok! Begitu selesai wisuda, dua minggu kemudian kami menikah!" tuturnya begitu tenang dan natural. Tidak seperti umumnya orang Indonesia yang berbicara bahasa asing. Menunjukkan bahwa ia memang benar-benar menguasai bahasa internasional itu dengan baik.

Dia pasti anak seorang kepala desa, yang mejadi kembang desa dan menjadi incaran banyak pemuda. 'Tapi kenapa suaminya tampak jauh lebih tua? pikirku usil, 'Pasti dia dijodohkan. Makanya menikah cepat-cepat!'

"Sudah berapa lama kamu di sini?" Ia mengajukan pertanyaan balik masih tetap dalam bahasa Inggris.

"Barusan. Paling selisih satu jam dengan kamu! Oh iya, aku jadi ingat sekarang. Tadinya aku nunggu ada orang, soalnya mau minta tolong diambilkan foto!"

"Mari aku bantu!"

Aku mengeluarkan ponsel dari saku dan mengangsurkan kepadanya. "Sebentar!" Aku mengambil sepeda dan mulai berpose dengan sepedaku.

"Tapi di sini viewnya kurang bagus, Mas!" Dia lalu melihat sebuah tempat dan menunjuk ke arah itu, "Nah di situ backgroundnya bagus!"

Aku pun menurutinya dengan senang hati. Tidak ada jalan setapak. Aku harus jinjing sepeda melewati beberapa tanaman perdu, kemudian berdiri membelakangi sebuah jurang, lengkap dengan pemandangan awan tipis berarak di langit biru. Betul sekali. Aku sepakat dengannya. Latar belakang yang indah.

"Agak mundur!"

"Okay..!" Aku mundur melewati sebuah pohon paling pinggir.

"Mundur lagi!"

"Wei, ini sudah di pinggir jurang tahu!"

"Ha..ha..! Sebentar! Saya boleh atur 'aperture'nya?" Ia lalu mengutak-atik mencari aplikasi kamera.

"Ha? Aperture, apa itu?"

"Ini untuk mengatur berapa banyak cahaya yang masuk. Jadi akan menentukan hasil fotonya terang atau gelap, selain itu juga mengatur backgroundnya blur atau fokus!"

Aku hanya melongo mendengar uraiannya. Rupanya dia juga ahli soal kamera handphone dan soal fotografi.

"Kamu tahu, ini kameranya sudah lima puluh megapixel, pakai teknologi pixel binning 4 in 1, jadi detil foto cukup baik, dan reproduksi warnanya menyerupai aslinya!"

"Hmm, oh iya!" Ya Allah! Aku jadi merasa dungu di hadapannya. Selama ini aku hanya tinggal klik foto saja beres.

Alhamdulillah tidak ada pengunjung lain. Mudah-mudahan begini sampai nanti, biar aku bisa terus ngobrol berduaan dengan gadis manis. Eh.., dengan istri orang. "Kamu gak apa-apa? Maksudku gak enak sama suamimu!"

"Gak apa-apa! Suamiku baik kok!"

Aku mengambil nafas Panjang. Lega. "Tumben kok sepi ya, apa memang biasanya seperti ini?"

"Soalnya bukan hari libur!"

"Lho bukannya sekarang hari minggu?"

"Ha..ha.. Sekarang Senin, Kang mas!"

Aku suka cara dia memanggilku 'Kang mas'. Unik. "Aku pikir Minggu!" Hawa sejuk pegunungan benar-benar telah menyegarkan pikiran dan jiwaku, sehingga betah lama-lama di tempat itu dan berharap jam berhenti berputar.

"Ha..ha..!" tawanya renyah. Deretan giginya tampak indah. Sungguh memesona.

Entah tertawa untuk apa. Aku tidak peduli. Mungkin menertawakan tentang aku yang tidak ingat tentang hari.

"Mas mau menginap di sini?

"Nggaklah. Gak bawa bekal apa-apa. Cuma sarung buat shalat. Sore nanti pulang! Perjalanan butuh waktu sekitar lima jam! Tadi pagi berangkat selepas subuh, sampai sini hampir jam setengah  sepuluh! Kalau nanti pulang jam satu, sampai rumah paling magrib!"

Tidak terasa waktu telah melewati duhur. Tiba-tiba terdengar suara mesin mobil dihidupkan. Kami berdua mengalihkan pandangan ke mobil yang bergerak perlahan.

"Maaf, Mas. Saya harus pergi duluan!" Ia bergegas berjalan cepat ke arah mobil, tanpa menoleh lagi.

"Terima kasih banyak!" teriakku dari keajuhan.

Ia menghilang di balik pepohonan. Tidak lama kemudian tampak mobil meluncur meninggalkan lokasi parkir.

Aku patah hati. Tanpa melihat, aku mendengar deru mesin mobil menjauh dan akhirnya lenyap ditelan sepi.

Aku berjalan dengan gontai menuntun sepeda menuju musholah. Di tempat itu aku melihat orang yang baru selesai shalat. Seorang bapak yang tadi aku lihat di pintu masuk dan meminta aku membayar tiket.

"Mas sepedaan dari Jombang ya?"

"Iya! Memang sengaja pingin olah raga!" 'Makanya tega sekali tadi bapak minta bayar tiket sepuluh ribu sama orang yang sadar bahwa menjaga kesehatan itu penting. Sepuluh ribu untuk sebuah tempat yang begini sunyi sepi! Itu setara dengan harga dua gelas es kelapa muda!'

"Kok sendirian? Kalau hari Minggu banyak rombongan yang sepedaan ke sini!"

"Enaknya kalau sendirian itu, Pak, mau pelan mau cepat bebas. Mau berhenti sewaktu-waktu dan di mana saja terserah!" jawabku agak ketus. "Maaf, Pak, tadi ada mobil kok sepertinya tidak ditarik tiket masuk?" tanyaku dengan memperbaiki nada. Agak lembut sebagai permintaan maaf atas keketusanku tadi. 'Kok saya ditarik?'

"Dia itu orang Surabaya yang menikah dengan warga sini. Sebulan sekali, setiap hari Senin, selalu ke sini. Paling cuma tiduran sebentar, terus pergi lagi! Kasihan! Makanya tidak saya minta bayar tiket!"

Setiap bulan? Setiap hari Senin? Pertanyaan yang hampir aku lontarkan, tapi batal karena bapak itu kemudian melanjutkan ceritanya.

"Dan itu sudah berjalan selama kurang lebih tujuh belas tahun! Bayangkan! Siapa orang yang sanggup melakukan hal seperti itu? Memang mertuanya orang sini, tapi ia jarang mampir ke mertuanya, tapi selalu mampir ke kuburan istrinya!"

Sialan! Semakin menumpuk rasa penasaran dalam benakku. "Kuburan istrinya?"

Bapak itu menampakkan wajah prihatin. "Iya. Sekitar tujuh belas tahun yang lalu istrinya meninggal di sini. Mereka pengantin muda. Baru menikah dan belum punya anak!"

"Meninggal tujuh belas tahun yang lalu? Karena sakit?"

"Meninggal karena terperosok ke dalam jurang. Gara-gara mau difoto sama suaminya! Mungkin itu yang membuat suaminya merasa bersalah!"

Saat itu seakan-akan ada aliran listrik yang membuat segumpal daging di balik dadaku berhenti berdetak. Shock berat.

Saat menulis cerita pertemuan sakral ini, layar laptop tiba-tiba gelap. Aku lupa tidak memperhatikan ikon batereinya. Mungkin habis. Tapi biasanya ada peringatan lebih dulu sebelum padam. Setelah aku charge, menghidupkannya lagi, ternyata batereinya masih dua puluh lima persen. Tidak seharusnya mendadak padam.

Ada lagi yang aneh. Kenapa halaman word jadi kosong? Aku periksa angka halaman masih ada. Jumlah kata juga masih ada. Kenapa bisa kosong? Rupanya halaman kosong itu spasi, melompat sampai tiga halaman. Artinya tombol spasi ditekan berulang kali sampai sebanyak tiga halaman. Sesuatu yang mustahil terjadi.

Aku sadar. Barangkali dia tidak mau kisahnya aku tulis. Oleh karena itu aku berhenti sampai di sini. Tanpa bisa menyebutkan nama dan lokasinya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun