Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Sayangi Aku, Papa

18 Maret 2021   17:17 Diperbarui: 18 Maret 2021   18:01 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixels.com/featured/mother-son-bike-ride-vickie-wade.html

Sayangi Aku, Papa
Tri Budhi Sastrio

Ada yang rindu mama, ada yang rindu papa.
Keduanya paling utama bagi anak-anak belia. 

Hari sudah sore. Langit di barat semburat memerah. Sedangkan angin bertiup sepoi, seakan memberi selamat jalan pada sang siang, untuk pergi diganti sang malam.

Seorang anak kecil kelihatan duduk sendirian di taman. Taman yang semakin lama semakin jelek dan tidak terurus memang sudah lama kehilangan pengunjung.

Bangku semen yang diduduki anak kecil itu sudah retak dan pecah di sana-sini. Manilik dari usia bangku-bangku semen di taman itu, patut depertanyakan, mengapa dalan usia yang relatif muda seperti itu, bangku-bangku semen itu sudah retak dan pecah tidak karuan? Apakah waktu merencanakan dulu memang dibuat seperti itu? Cepat retak dan cepat pecah?

Kalau jawabnya "Ya", tentu saja tidak ada masalah kecuali satu hal, yaitu kepala si Perencana harus dicuci dengan deterjen yang kuat daya kerjanya. Sedangkan kalau jawabnya "Tidak", maka kepala Bagian Pengawasan Kualitas perusahaan pengelola taman itu harus diseret ke meja hijau, karena dia digolongkan sebagai pegawai yang korup dan tak becus. Tidak diragukan lagi, pegawai itu pasti menerima uang suap dari pihak kontraktor untuk menutup mata dan hatinya terhadap keadaan bangunan yang sebenarnya.

Cuma sayangnya, di jaman sekarang ini, seandainya ada orang yang mencoba-coba berpikiran seperti di atas, kemudian mencoba menyelidiki dan menyelesaikan secara tuntas, akan tidak cuma berhadapan dengan tembok tetapi juga dengan palu logam besar yang sewaktu-waktu siap untuk menghantam dan meretakkan kepala yang usil itu.

Tangan anak kecil itu sekali-sekali mengusap mukanya. Matanya yang bening semakin lama semakin buram. Lapisan air mata mulai menyaput mata kecil itu.

"Engkau tidak cinta padaku, papa...," gumamnya lirih beberapa saat kemudian.

Tidak ada yang mendengarnya. Bahkan anak itu sendiri, diragukan mendengar gumamannya sendiri. Sekali lagi dia mengangkat tangannya yang mungil, mengusap mata. Pandangannya sejenak terang lagi.

Sementara itu, di ruangan sebuah rumah. Seorang wanita cantik, duduk dengan tenang, menyulam sehelai saputangan. Tangan yang putih lentik bergerak dengan lincah ke sana ke mari tetapi ... Jelas ini terasa aneh, di pipinya mengalir berbutir-butir air bening. Ya, wanita cantik itu menangis. Entah apa yang disedihkannya, mungkin cuma dia sendiri yang tahu.

Didahului dengan tarikan nafas panjang, wanita cantik itu berhenti menyulam, tampaknya sudah selesai. Matanya yang bersaput lapisan bening menatap ke arah pintu.

"Dia pasti ke taman itu lagi," gumamnya lirih. "Kasihan engkau Manggara! Kasihan ...," Tangan kanannya sedikit bergetar, ini terlihat dari ujung jarum yang dipegangnya. "Seandainya aku bisa, aku ingin berubah menjadi seorang laki-laki dan menjadi papamu tetapi ini tidak mungkin, Manggara! Benar-benar tidak mungkin!"

Siapa sebenarnya wanita itu? Kemudian, siapa yang dipanggil dengan nama Manggara itu? Samakah nama ini dengan nama anak kecil yang duduk di taman tidak terurus sendirian itu? Kalau ya apa hubungan antara wanita cantik dengan anak kecil itu? ibu dan anak? Juga, mungkin ini justru yang paling penting, siapa laki-laki yang dipanggil papa oleh anak kecil itu? Samakah laki-laki ini dengan laki-laki yang dikeluhkan wanita cantik itu?

Wanita cantik itu perlahan-lahan meletakkan benang dan saputangannya.

"Aku harus menjemput dan mengajaknya pulang ..." Suaranya tetap lirih sambil bangkit dari duduknya.

Di bangku taman, anak kecil itu tetap dengan sikapnya. Tidak bergeming dan tidak memperdulikan nyamuk yang mendengung sekeliling kepala. Senja memang belum hilang seluruhnya tetapi sinar merah di langit barat sana benar-benar sudah sangat redup, hampir-hampir tidak tertangkap maknanya lagi.

Lamunan baru terusik kala suara halus memanggil.

"Manggara ...!"

Anak kecil itu menoleh perlahan.

Seulas senyum tipis muncul di sudut-sudut bibir anak kecil itu, yang ternyata memang benar bernama Manggara. Lengkapnya Asdi Manggara.

"Oh mama..." katanya pelan sambil bangkit dari duduknya. "Mama mencari Manggara, ya?"

Wanita itu menggeleng perlahan sambil mendakat dan mengusap lembut kepala anaknya.

"Tidak, Manggara. Mama tidak usah mencari kamu karena mama tahu kamu pasti berada di sini."

Anak kecil itu menyusupkan semakin dalam kepalanya ke mamanya. Kelembutan dan kehangatan mamanya adalah pengganti segala-galanya bagi dirinya.

"Ma...." Panggilnya lirih sesaat kemudian. "Hari Natal sudah dekat ..."

Manggara tidak bisa meneruskan kata-katanya, karena wanita cantik itu memeluk anaknya semakin erat. Butir-butir bening di pelupuk matanya kembali mengembang. Dia tahu apa arti ini semua. Dia tahu apa kelanjutan kalimat anaknya. Sudah ratusan kali Manggara berkata seperti ini dan sudah ratusan kali pula terpaksa cuma bisa menangis.

"Engkau tidak usah lanjutkan kata-katamu, anakku. Mama sudah tahu."

Menggara diam. Mamanya diam. Taman itu juga diam.

"Papa berjanji akan pulang sebelum hari Natal," kata Manggara setelah beberapa lama keadaan hening, sedangkan pelukan dari mamanya semakin mengendur. "Tetapi tahun yang lalu, papa bohong. Papa tidak muncul. Apa papa tidak sayang pada Manggara, ma?"

Tidak ada suara tangis yang meluncur ke luar dari mulut wanita itu tetapi aliran butir-butir bening yang menggelincir di pipinya justru mengatakan lebih dari itu. Betapa trehyuh hati wanita itu, sulit di lukiskan. Mungkin cuma para wanita yang pernah menjadi mama, pernah ditinggal pergi suami tercinta dan pernah mendapat pertanyaan seperti itu dari anaknya saja, yang bisa melukiskan dengan tepat.

"Papa selalu sayang padamu, Manggara, seperti mama juga selalu sayang padamu," jawab wanita cantik itu dengan susah payah, menahan tangisnya. Dia tahu, menangis di depan anaknya cuma membuat persoalan semakin rumit tetapi apa dayanya kecuali bersedih dan menangis?

"Papa tidak datang tahun yang lalu bukan karena tidak sayang pada Manggara," lanjutnya. "tetapi karena dia masih sangat sibuk. Persoalannya belum beres, nak."

"Persoalan macam apa sih, ma?" tanya Mangara lagi. "Kata teman-teman Manggara kalau hari Natal dan tahun baru semua pekerjaan diliburkan tetapi papa kok tidak libur. Ma, aku ingin di gendong papa lagi, ma...."

"Papa pasti juga ingin mengendongmu, nak. Oh ya, nyamuk semakin banyak di sini, ayo kita pulang saja. Mama paling tidak tahan digigit nyamuk. Gatal dan panas rasanya.

"Manggara juga tidak senang digigit nyamuk. Nyamuk itu nakal-nakal ya, ma."

Wanita cantik itu mengangguk sambil menggandeng tangan anaknya. Keduanya melangkah meninggalkan taman yang semakin gelap.

"Besok Manggara harus sekolah. Tidak ada PR?"

"Tidak ada ma."

"Oh ya, tadi sore Sonny mencari Manggara. Katanya, Manggara mau diajak main sepak bola. Manggapa pandai main sepakbola, ya?"

"Pandai, ma. Tiga hari yang lalu Manggara kan bermain sepakbola di lapangan. Mama tahu, berapa gol yang berhasil Manggara masukkan?"

"Hmm, berapa ya?" kata wanita cantik itu, yang mulai pulih kegembiraan dan kelincahannya. "Seandainya mama tahu cara bermain Manggara mungkin mama bisa menebak berapa gol yang berhasil Manggara masukkan."

"Lima gol, lho ma. Penjaga gawangnya sampai berkali-kali mendelik pada Manggara."

"Oh ya?"

"Ya ma. Mungkin dia kesal karena berkali-kali gawangnya Manggara jebolkan."

"Kalau sudah besar nanti, Manggara jadi pemain sepak bola. Boleh, ma?"

"Mengapa tidak boleh, asal sekolahnya tidak terbengkalai. Manggara terus pintar di sekolah sekaligus pintar dalam bermain sepak bola.

"Jangan khawatir, Ma!" kata Manggara mantap. Anak kecil yang satu ini entah mengapa ternyata bisa bersikap persis seperti anak yang sudah dewasa saja.

Tanpa terasa akhirnya mereka sampai juga di rumah.

"Sekarang Manggara harus cuci tangan dan kaki kemudian belajar."

"Baik, ma," jawab Manggara sambil berlari-lari kecil.

Wanita itu menatap anaknya dengan pandangan bangga. Kebanggaan seorang ibu, melihat putranya tumbuh sehat dan cerdas. Ibu mana yang tidak akan bangga melihat anaknya tumbuh sehat dan cerdas seperti itu?

Hanya saja kembali banyangan suaminya muncul di benaknya. Bayangan kenangan masa lalu yang indah. Pergi tamasya setiap akhir pekan, pergi berlibur ke tempat jauh kalau mendapat cuti, pergi menghadiri misa gereja, kemudian yah, merayakan Natal bersama di rumah. Betapa menyenangkan itu semua!

Cuma sekarang, dia masih kurang sabar menunggu. Suaminya pasti akan kembali tetapi jelas tidak sekarang. Surat yang siang tadi datang membuat dia semakin tidak tahan untuk berjumpa. Oh, Tuhan, kuatkanlah aku....

"Ma, aku sudah cuci tangan dan kaki!" suara anaknya memutuskan lamunannya.

"Hmm, bagus. Sekarang belajar."

"Baik Ma!"

Seperti yang sudah menjadi kebiasaan selama ini, Manggara selalu belajar dalam kamarnya. Kembali wanita muda itu merenung, asyik bermain-main dengan kenangan masa silamnya.

Tanpa terasa waktu terus berlalu dengan cepat. Wanita itu baru tersentak dari lamunannya ketika lonceng dinding berdentang sembilan kali.

"Ah, sudah jam sembilan," gumamnya pada dirinya.

Wanita itu bangkit dari duduknya, melangkah ke arah kamar anaknya. Perlahan-lahan di bukanya pintu, menjenguk ke dalam. Mangara tertidur dengan buku di tangan. Wanita itu masuk, dengan mata berbinar sayu. Manggara adalah satu-satunya kebanggaan dan satu-satunya penguat bagi dirinya dalam masa-masa penantian ini. Betapa sepi dan sunyi hatinya selama ini dan hampir-hampir tidak tertahankan lagi. Masih delapan bulan lagi. Ya, baru delapan bulan lagi dia akan melihat laki-laki yang mengisi seluruh relung hatinya muncul dan berdiri di hadapannya. Delapan bulan memang tidak lama tetapi untuk sebuah hati yang rindu, delapan bulan hampir sama dengan seabad.

Wanita itu melangkah mendekat, menjangkau selimut, dengan lembut menggelar selimut ke tubuh anaknya.

"Engkau sangat rindu pada papamu, begitu juga dengan mama, nak!" gumam wanita muda itu. "Sabarlah nak, papa pasti akan kembali."

Memang aneh, kalau dia dan anaknya, yang sebenarnya bisa menjenguk laki-laki yang mereka cintai, tetapi hal itu justru tidak dilakukan. Bukan karena dia tidak suka tetapi karena begitulah permintaan suaminya. Suaminya tidak ingin anak mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi atau lebih tepatnya belum waktunya bagi Manggara tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Setelah sekali lagi menatap wajah anaknya yang tidur dengan damai, wanita itu keluar, menutup pintu perlahan-lahan. Memeriksa jendela-jendela dan pintu-pintu, sudah terkunci atau belum, kemudian masuk ke kamar tidurnya.

Betapa bahagianya kalau laki-laki yang dicintainya itu tiba-tiba muncul di ruangan ini, mendekapnya dengan kokoh dan hangat. Ah, hampir gila rasanya menahan keinginan yang menyesakkan dada itu.

Di bawah bantalnya, sepucuk surat yang diterima tadi siang, tergolek sunyi. Sekali lagi diraihnya surat itu dan membacanya. Bagi dirinya dengan keadaan yang sekarang ini, membaca tulisan tangan suaminya, adalah penyejuk satu-satunya yang bisa didapatkan.

Tulisan tangan itu tetap tidak berubah. Indah dan kokoh, mencerminkan watak tulisannya.

Untuk Titis, sayangku, dan Manggara, anakku.

Masih delapan bulan lagi harus kujalani hukuman ini. Waktu yang panjang untukku, dan mungkin juga unttukmu, istriku tetapi itulah, semua manusia harus menanggung semua perbuatannya. Bagaimana dengan keadaanmu, Titis? Juga keadaan Manggara? Aku tidak tahu dengan pasti tetapi aku yakin, Tuhan akan selalu melindungi kalian berdua.

Sampai sejauh ini masihkah engkau tetap percaya dan tidak menyalahkan diriku? Kalau ya, mungkin aku pantas menyebut diriku laki-laki paling beruntung dalam dunia ini. Kalau tidak pun aku tetap akan mencintai dan menghormati dirimu. Empat tahun delapan bulan dalam penjara, entah mengapa justru menguak seluruh mata hatiku.

Mungkin aku memang tidak menjadi lebih bijaksana tetapi satu hal sudah pasti, aku tidak akan pernah melakukan hal itu lagi. Membunuh seseorang, apapun alasannya adalah tidak pantas dilakukan oleh siapa saja. Manusia tidak berhak menghabisi nyawa sesamanya.

Titis, tetapi kalau aku ingat akan Sabda Tuhan sendiri, yang mengatakan bahwa tanpa perkenan dari diri-Nya, tak ada satu kekuatan pun dalam dunia yang mampu membinasakan seseorang mungkin tanganku, oleh Dia cuma dijadikan semacam sarana saja untuk memanggil salah seorang ciptaanNya, karena dipandang telah cukup mendarma baktikan kehadirannya di dunia ini.

Mungkin memang begitu, Titis, meskipun satu hal perlu engkau ingat, bahwa semua ini kukatakan bukan karena aku ingin membela diri tetapi karena kesadaran semacam itu tiba-tiba saja muncul di benakku.

Ah, sebentar lagi Natal akan tiba. Kita sekali lagi pula akan merayakan di tempat yang berbeda. Semakin dekat dengan hari Natal semakin sering aku menangis dalam hati. Manggara tentu semakin gencar menanyakan tentang diriku. Membayangkan bagaimana engkau harus menjawab semua pertanyaan itu, yah ... aku berjanji tidak akan pernah mengulangi kembali kekhilafan yang sekarang ini. Aku berjanji Titis. Tidak akan kuciptakan peluang buruk seperti ini lagi.

Sebenarnya masih banyak yang ingin kutulis tetapi hatiku sesak dengan kerinduan. Aku tidak mampu melanjutkan lebih jauh legi. Rinduku untukmu dan untuk Manggara. Aku rindu dan cinta pada kalian berdua.                                                              

Dari aku, Baskoro.

Wanita muda yang ternyata bernama Titis itu menghela nafas panjang berkali-kali. Surat suaminya menandakan kekalutan pikiran laki-laki itu. Tidakkah ini karena terlalu banyak yang hendak dikemukakan tetapi terlalu sedikit kemampuan untuk mengekspresikan? Terbayang di matanya, bagaimana semua itu terjadi.

Manggara masih kecil waktu itu. Dia tidur di pangkuannya. Sedangkan di sebelahnya, suaminya mengemudikan mobil dengan kencang persis seperti orang yang dikejar setan. Tiga kali dia mengingatkan suaminya agar lebih memelankan mobil tetapi jangankan digubris, malah mobil terasa berlari semakin kencang.

Kemudian, yah ... semuanya tentu telah tersurat di atas sana, sebuah sepeda motor tiba-tiba saja nyelonong ke jalan. Tubrukan tidak terhindarkan.

Empat orang menjadi korban sekaligus. Semuanya mati. Ayah, ibu, dan dua anaknya. Sepeda motor yang mereka tumpangi saja bentuknya tidak karuan lagi. Terseret hampir sejauh lima belas meter. Dia menjerit histeris waktu itu kemudian tidak sadarkan diri.

Ketika dia bangun, yang pertama-tama dipanggilnya adalah nama anaknya. Seorang suster mendatanginya, dengan lembut suster itu menerangkan. Manggara selamat, begitu juga suaminya.

Manggara berada di kamar anak-anak, sedangkan suaminya, setengah jam yang lalu berangkat ke kantor polisi.

Sejak itu, mulailah dia seorang diri. Atas permintaan suaminya, Manggara yang masih kecil tidak diberitahu apa-apa. Begitu juga setelah suaminya dijatuhi hukuman tujuh tahun potong tahanan, dia diminta dengan sangat agar tidak membawa Mangara ke penjara dan ini memang dikerjakan. Dia terlalu cinta dan penurut pada suaminya.

Wanita itu kembali menghela nafas panjang.

"Masih delapan bulan lagi...." gumamnya.

Sedangkan di kamar satunya lagi, Manggara dalam tidurnya menggigau.

"Papa, sayangi aku pa .... Aku ingin digendong...."

Malam merangkak semakin dalam. Tak ada yang terdengar kecuali keheningan. Di penjara sana juga begitu. Ah ... (R-SDA-18033021-087853451949)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun