Wanita itu menggeleng perlahan sambil mendakat dan mengusap lembut kepala anaknya.
"Tidak, Manggara. Mama tidak usah mencari kamu karena mama tahu kamu pasti berada di sini."
Anak kecil itu menyusupkan semakin dalam kepalanya ke mamanya. Kelembutan dan kehangatan mamanya adalah pengganti segala-galanya bagi dirinya.
"Ma...." Panggilnya lirih sesaat kemudian. "Hari Natal sudah dekat ..."
Manggara tidak bisa meneruskan kata-katanya, karena wanita cantik itu memeluk anaknya semakin erat. Butir-butir bening di pelupuk matanya kembali mengembang. Dia tahu apa arti ini semua. Dia tahu apa kelanjutan kalimat anaknya. Sudah ratusan kali Manggara berkata seperti ini dan sudah ratusan kali pula terpaksa cuma bisa menangis.
"Engkau tidak usah lanjutkan kata-katamu, anakku. Mama sudah tahu."
Menggara diam. Mamanya diam. Taman itu juga diam.
"Papa berjanji akan pulang sebelum hari Natal," kata Manggara setelah beberapa lama keadaan hening, sedangkan pelukan dari mamanya semakin mengendur. "Tetapi tahun yang lalu, papa bohong. Papa tidak muncul. Apa papa tidak sayang pada Manggara, ma?"
Tidak ada suara tangis yang meluncur ke luar dari mulut wanita itu tetapi aliran butir-butir bening yang menggelincir di pipinya justru mengatakan lebih dari itu. Betapa trehyuh hati wanita itu, sulit di lukiskan. Mungkin cuma para wanita yang pernah menjadi mama, pernah ditinggal pergi suami tercinta dan pernah mendapat pertanyaan seperti itu dari anaknya saja, yang bisa melukiskan dengan tepat.
"Papa selalu sayang padamu, Manggara, seperti mama juga selalu sayang padamu," jawab wanita cantik itu dengan susah payah, menahan tangisnya. Dia tahu, menangis di depan anaknya cuma membuat persoalan semakin rumit tetapi apa dayanya kecuali bersedih dan menangis?
"Papa tidak datang tahun yang lalu bukan karena tidak sayang pada Manggara," lanjutnya. "tetapi karena dia masih sangat sibuk. Persoalannya belum beres, nak."