Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Misteri Cangkir Retak

8 Maret 2021   09:30 Diperbarui: 8 Maret 2021   10:12 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Misteri Cangkir Retak
Tri Budhi Sastrio

Memang banyak yang aneh di dunia ini.
Manusia tidak terkecuali, sarat misteri. 

Kalau seandainya ada orang usil dan iseng memberi julukan padaku sebagai orang paling serba ingin tahu, aku takkan pernah menolaknya. Mengapa? Bukan karena aku senang dengan julukan  nyentrik  seperti itu tetapi karena itu kenyataannya. Sejak anak-anak sifat ingin serba tahu seperti  itu sudah tampak nyata. Ayahku sendiri, dalam suatu kesempatan, waktu aku telah menginjak dewasa, pernah mengatakan  padaku tentang hal itu.    

"Santo," katanya ketika itu, "sejak engkau mulai  mengerti  dan   bisa   berbicara,  ayah kewalahan   menerima   pertanyaan-pertanyaanmu."

Aku menunduk sambil tersenyum malu ketika itu.

"Dan bukan itu saja," kata ayah kemudian melanjutkan sambil  bibirnya tersenyum. "Pertanyaan yang kau lontarkan kadang terlalu rinci sampai-sampai  Ayah tidak  mungkin menjawabnya.  Sangat  sering, kalau tidak  boleh  dikatakan  semua,  pertanyaanmu  selalu  melewati batas yang  ditentukan  oleh adat   ketimuran. Contoh paling gamblang adalah pertanyaanmu ketika ibumu hamil adikmu yang nomer dua. Ketika itu engkau bertanya: `Ayah mengapa perut ibu  bisa  besar seperti itu?' Aku  masih  ingat  dengan  jelas bagaimana aku melengak mendapat pertanyaan  seperti  itu  dari  anak  seusiamu  meskipun pertanyaan  itu kujawab juga. Di dalam perut ibum ada adikmu."

"Ada adikku tanyamu seperti tidak mempercayai keterangan Ayah. Gaya bertanyamu juga tidak jauh berbeda orang dewasa, membuat ayah mau tidak mau terpaksa tertawa geli meskipun cuma di dalam hati.

          "Tetapi dari mana adikku masuk ke sana?" tanyamu menggelikan.

          "Untuk pertanyaan yang ini Ayah tidak bisa tertawa geli. Bagaimana mungkin sempat tertawa geli kalau pertanyaan konyol  semacam  itu  diajukan oleh anak kecil? Matamu yang bersinar terang menatap menunggu jawaban. Ayah sungguh-sungguh bingung waktu itu. Matamu terus  mendesak, menunggu jawaban  tetapi mulut dan pikiran Ayah belum menemukan  jawaban  yang  tepat. Akhirnya,  setelah  beberapa  saat  bingung,  Ayah menjawab seperti ini."

"Bagaimana kalau pertanyaanmu dijawab setelah engkau besar nanti?"

Sebenarnya malu sekali terpaksa menjawab seperti  itu padamu  tetapi  Ayah tidak melihat jawaban lain yang  lebih tepat.  Sedangkan dirimu, jelas sekali tidak puas, tetapi bisa menahan diri untuk tidak bertanya lebih jauh, seperti paham kesulitan Ayah. Sifatmu yang lain juga tidak habis-habisnya membuat Ayah heran."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun